
JAKSA Akbar Sanitiar Burhanuddin menerbitkan memorandum berisi arahan kepada jajarannya. Bunyi memo tersebut, yakni meminta para jaksa Kepada menunda pemeriksaan perkara dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan calon presiden (capres), calon wakil presiden (cawapres), calon legislatif (caleg), maupun calon kepala daerah (cakada) (Media Indonesia, 21/8).
Jaksa Akbar tak Ingin lembaganya dijadikan alat dan diseret-seret dalam kepentingan politik pragmatis yang menjatuhkan muruah institusinya serta mengganggu proses demokratisasi yang sudah berjalan. Menurut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mohammad Mahfud MD, arahan yang akan berlaku 5-6 bulan itu semata-mata Kepada mencegah praktik kriminalisasi, atau saling jegal di antara calon peserta pemilu. Kagak sedikit calon yang gagal terpilih akibat fitnah dan kriminalisasi.
Tetapi, sikap sebaliknya ditempuh KPK. KPK akan tetap memproses hukum dugaan kasus korupsi yang menyangkut capres, cawapres, dan caleg sesuai dengan amanat undang-undang. Menurut Ketua KPK Firli Bahuri, KPK akan menjamin kepastian hukum dan keadilan Asal Mula menunda keadilan adalah ketidakadilan.
Mengganggu
Sikap dan komitmen KPK ini secara normatif sejatinya bagus dan tak salah. Tetapi, Kalau dipandang lebih substantif, hal tersebut berpotensi menihilisasi praktik demokrasi Kalau pengusutan kasus korupsi terkesan tendensius. KPK mengirim surat pemanggilan pada Senin (4/9/2023), terhadap Ketua Standar Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar alias Cak Imin, terkait dengan penyidikan perkara dugaan pengadaan sistem Perlindungan tenaga kerja Indonesia di Kementerian Ketenagakerjaan.
Terdapat yang mengatakan upaya pemanggilan Muhaimin beraroma politis. Mengingat Cak Imin dipanggil KPK hanya beberapa hari setelah deklarasi Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (Amin) (2/9) sebagai bakal capres dan cawapres. Akan tetapi, menurut KPK, surat pemanggilan sesungguhnya sudah dilayangkan sejak 31 Agustus 2023, sebelum deklarasi.
Menurut Mahfud MD, pemanggilan itu merupakan hal yang Normal di dalam kerja KPK. Bahkan, ia meyakini pemanggilan itu tak menjadikan Cak Imin tersangka. Tetapi, tak kalah logisnya apa yang disampaikan Ahli hukum tata negara Zainal Arifin Mochtar Kalau memang hanya pemeriksaan Normal, kenapa Cak Imin tak diperiksa dari 11 tahun Lewat (Kompas TV, 5/9).
Sejatinya, publik seratus persen mendukung bahwa penegakan hukum terhadap kasus korupsi apalagi yang melibatkan elite harus dijalankan tanpa toleransi sedikit pun. Tetapi, akan menodai prinsip penegakan hukum itu sendiri Kalau pemeriksaan kasus korupsi Kagak murni karena komitmen menegakkan hukum, menciptakan pemerintahan yang Rapi. Sebaliknya, lebih dibayang-bayangi intensi politik.
Apalagi di musim politik seperti sekarang. Kagak Terdapat yang menjamin bahwa rivalitas politik dengan seluruh manuvernya, Kagak terjun di ‘ruang bebas’. Di tengah kultur politik pragmatisme, rendahnya loyalitas elite terhadap prinsip kontestasi yang adil dan sehat, serta lemahnya konformitas hukum terhadap keadilan publik, hukum pun Bisa dengan mudah dikooptasi sebagai alat tawar politik.
Sudah menjadi rahasia Standar, para politikus yang berkontestasi kerap memperalat hukum Kepada menegasi Musuh politiknya. Tujuannya, Bisa membangun Gambaran atau stigma Jelek terhadap Musuh politik, memenjarakan Musuh politik. Termasuk juga Kepada memperkaya diri dan memperluas kekuasaan (Jackson & Amunsen, 2022).
Kepada itu, wajar Kalau perlakuan terhadap para politikus terkait kasus korupsi memicu sensitivitas penilaian publik yang tinggi. Misalnya, hasil survei Indikator Politik Indonesia (20-24 Juni 2023) menunjukkan 50% percaya bahwa kasus korupsi proyek base transceiver station (BTS) 4G Kementerian Komunikasi dan Informatika murni terkait hukum. Tetapi, Terdapat 36,3% responden yang juga percaya bahwasanya kasus yang tengah ditangani Kejaksaan Akbar (Kejagung) tersebut bermuatan politik.
Artinya, sebulat-bulatnya publik Menurunkan percaya pada institusi hukum dalam menangani sebuah kasus, tetap saja Lagi Terdapat yang Menurunkan skeptis terhadap proses hukum itu, karena nuansa kepentingan politik. Ketidakpercayaan ini Bisa lahir dari kepentingan mengendalikan rivalitas politik, hingga upaya Kepada melokalisasi kasus korupsi agar Kagak terungkap seutuhnya di tengah publik.
Gambaran institusi hukum
Bobot ketidakpercayaan publik terhadap penanganan kasus korupsi kian menguat, manakala Gambaran dan kepercayaan publik terhadap institusi penegakan hukum juga rendah. Apalagi, Kalau institusi hukum Malah menjadi bagian dari kerja jejaring lintas kepentingan yang secara quid pro quo Mempunyai kepentingan membekingi kontinuitas praktik korupsi demi melestarikan distribusi keuntungan korupsi. Ini senapas dengan tesis bahwa korupsi sejatinya hidup dalam jaringan yang memperkuat reproduksi korupsi itu sendiri (Indriati, 2014).
Sudah Betul pernyataan Mahfud MD di atas terkait memo Jaksa Akbar bahwa penundaan pemeriksaan perkara dugaan tindak pidana korupsi antara lain yang melibatkan capres, cawapres semata-mata Kepada mencegah persaingan kotor, saling jegal, antarpolitikus dalam kontestasi pilpres.
Semangat tersebut sejatinya tinggal diwujudkan dalam perilaku yang konkret dan konsisten. Institusi hukum mestinya harus mengubur dalam-dalam berbagai intensi atau kepentingan individu, Golongan, politis, Ketika bekerja memberantas korupsi. Bagaimanapun institusi hukum ialah fondasi bagi terciptanya proses politik dan demokrasi yang sehat, dengan Kagak membiarkan dirinya didikte kepentingan pragmatis.
Yang Malah itu akan kian melemahkan integritasnya di dalam pemberantasan korupsi secara Rasional dan Mekanisme hukum yang Terdapat.
Hanya dengan begitu, Pilpres 2024 dapat dipastikan akan berjalan dalam kerangka fatsun, Kebiasaan, dan aturan hukum yang tegak dan adil.
Dalam formula tanggung jawab berdemokrasi, Seluruh elemen bangsa, pemerintah, masyarakat termasuk institusi hukum punya obligasi moral, Kepada menjaga dan merawat kualitas bangunan demokrasi bangsa ini, agar Mempunyai sendi-sendi kebebasan dan budaya partisipatif yang sehat lewat proses perhelatan pemilu maupun pilpres yang cerdas dan elegan di mata publik.