JIKA aku harus mati,
kamu harus hidup
untuk menceritakan kisahku,
menjual barang-barangku,
membeli sehelai kain
dan beberapa tali,
(membuatnya putih dengan ekor panjang)
sehingga seorang anak, di suatu tempat di Gaza
sambil menatap mata surga menunggu ayahnya
yang pergi dalam kobaran api
dan tidak mengucapkan selamat tinggal kepada siapa pun, bahkan kepada dirinya sendiri,
pun tidak melihat layang-layang, layang-layang yang kau buat,
terbang di atas dan berpikir sejenak ada malaikat
yang membawa kembali cinta
Kalau aku harus mati
biarlah membawa harapan
biarlah menjadi dongeng.
Sajak Kalau Saya Harus Wafat (If I Must Die) ini ditulis Refaat Alareer, penyair Palestina yang gugur beserta enam anggota keluarganya karena bom Israel, tujuh bulan lalu. Saya tidak tahan lagi untuk menuliskan kembali soal Palestina. Itu, terutama setelah mata saya tertumbuk pada penggalan sabda Mahluk Mulia Muhammad SAW. Kata Nabi, “Man la yarham, la yurham.” Definisinya, ‘siapa yang tidak bisa menyayangi, tidak akan mungkin disayangi’, terutama oleh Sang Maha Penyayang, Tuhan.
Saya ingin selalu disayangi dan dicintai-Nya. Karena itu, saya ingin menyayangi dan mencintai manusia, terutama manusia di Gaza dan Rafah, Palestina. Di tempat itu, rasa sayang dan cinta sudah habis direnggut secara keji oleh Zionis Israel.
Maka, saya hendak menumpahkan empati kepada mereka. Persis seperti yang pernah diungkapkan penyair sufi dari Persia Gial, Sa’di Asy-Syirazi, yang mengatakan, “Kalau kamu tidak merasakan apa yang orang lain derita, tak pantas kamu menyebut diri manusia.”
Di Gaza, dan kini di Rafah, segala derita bertumpuk. Sekalian cerita pilu menggunung seperti tidak ada lagi yang tersisa untuk kita kisahkan. Dari layar kaca, media sosial, dan seluruh saluran apa pun, dunia sudah menyaksikan bayi-bayi yang terputus leher kehilangan kepala.
Sekalian yang di kolong langit melihat bagaimana wajah-wajah belia bergeletakan tertutup hamburan otak dan usus. Kurang gamblang apa dunia menyaksikan jasad-jasad kaum ibu tanpa nyawa, bertahan mendekap anak terkasih, demi sayang yang kekal meski nyawa harus terputus dengan raga.
Tetapi, semua itu tidak mengendurkan seinci pun niat jahat Israel memusnahkan Rafah setelah membantai penduduk Gaza. Di sebuah akun Instagram, saya menyaksikan seorang anak di bawah lima tahun, sendirian, berkaus Real Madrid, berjalan keluar dari tenda menghampiri seorang pengambil video tanpa bisa berkata apa-apa. Parasnya datar. Sang pengambil gambar lalu memberikan nampan berisi makanan kepada anak itu.
Mata saya berkaca-kaca melihat adegan nyata itu. Kantong mata saya mengembang, lalu air mata menetes saat melihat anak itu, tetap dalam diam, berjalan kembali ke tenda yang sepi sembari meletakkan nampan berisi makanan itu di dalam tenda. Beberapa detik kemudian, ia lalu melongok lagi sembari melambaikan tangan dan membuat gerakan kiss bye sebagai tanda terima kasih karena sudah diberi makanan.
Seusai serangan biadab Israel ke Rafah, laman Instagram Al-Jazeera juga memuat video seorang perempuan Palestina yang tengah menangis meluapkan kesedihan dan kemarahannya. Perempuan itu kehilangan anggota keluarga, terutama paman, yang melindungi keluarganya sehari-hari.
“Ketika perang ini akan berakhir? Di mana negara-negara Arab? Di mana para muslim di negara-negara yang mengaku muslim? Di mana Arab Saudi? Di mana semua negara?” teriaknya, parau. Ia melanjutkan, “Perempuan tua dan anak-anak perempuan, apa yang mereka lakukan hingga pantas menerima ini?”
Banjir air mata jutaan manusia hingga sebagian tak lagi tersisa air mata, semua itu bukan nestapa yang baru terjadi kemarin sore di Gaza. Pas belaka pandangan cendekiawan dunia terkemuka dari Palestina, Edward Said, yang mengatakan ihwal penderitaan di Gaza, “Merekalah orang-orang paling sedih dan tidak berdaya. Makhluk yang dibantah keberadaannya. Makhluk asing yang tidak diterima.”
Bagi warga Gaza, dan kini Rafah, kekejian tersebut sudah serupa repetisi dengan lonjakan kebengisan dan intensitas yang kian bertambah dan terus bertambah. Dalam sambutan pembukaan setelah Dewan Keamanan PBB gagal membuat gencatan senjata selama konflik 2021 karena diveto Amerika Perkumpulan, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres bahkan menggambarkan, “Kalau ada neraka di bumi ini, itu adalah kehidupan anak-anak di Gaza.”
Toh dunia tetap saja tidak menunjukkan gerakan berarti. Bahkan, sikap diam para pemimpin Barat seolah memberi restu atas kebengisan Israel yang telah menghabisi lebih dari 36.280 nyawa orang Palestina. Saya sepakat dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan yang berseru, “Para kepala negara dan pemerintahan Eropa, Anda telah terlibat dalam vampirisme Israel karena sikap diam Anda.”
Kini, saat cinta dan sayang direnggut di Rafah dengan ribuan bom menggempur tenda-tenda yang tipis, jutaan manusia berteriak dan bergerak. Di Universitas Harvard, MIT, Colombia University, para belia cerdik pandai mengarak bendera merah, hijau, putih, hitam dengan penuh keberanian. Di berbagai belahan dunia, rasa cinta untuk Rafah terus bersemi. Gerakan, suara, dan doa-doa mereka menembus langit, membelah samudra, menyelusup ke ruang-ruang berdinding tebal.
Juga, gerakan Boikot, Divestasi, dan Hukuman (BDS) terhadap segala hal berkaitan dengan kepentingan Israel, terus merambat menumbuhkan harapan dan kekuatan bagi Rafah, juga Gaza. Gerakan-gerakan itu tidak peduli dengan cicitan dan nyinyiran sebagian mereka yang senang melihat manusia terpanggang. Mereka yang tak punya cinta itu menyatakan bahwa boikot tak punya banyak dampak. Tapi, itu tidak mengapa. Gelombang cinta serta sayang untuk Rafah dan Gaza, pelan tapi pasti, akan menggulung mereka yang nirempati.