Karya Mulia Maria Sibylla Merian Kembali ke Amsterdam Setelah Tiga Abad

Karya Agung Maria Sibylla Merian Kembali ke Amsterdam Setelah Tiga Abad
Setelah lebih dari tiga abad, salinan langka edisi pertama dari Maria Sibylla Merian, Metamorfosis Serangga Suriname, kembali ke Amsterdam dan menjadi koleksi Rijksmuseum. (Rijksmuseum)

LEBIH dari tiga abad setelah pelayaran trans-Atlantik yang dilakukan untuk mempelajari kupu-kupu, sebuah salinan langka karya agung naturalis dan seniman ternama Maria Sibylla Merian yang diwarnai dengan tangan kembali ke Amsterdam.

Rijksmuseum, yang memiliki koleksi lebih dari setengah juta buku tentang seni dan sejarah, baru saja mengumumkan keberhasilan mereka dalam memperoleh salinan langka edisi pertama Metamorfosis Serangga Suriname (Metamorphosis Insectorum Surinamensium). Karya ini dianggap sebagai salah satu puncak penerbitan buku abad ke-18, ketika Republik Belanda dikenal sebagai “toko buku dunia.”

Setinggi lebih dari setengah meter dan diilustrasikan dengan 60 lempeng berwarna, buku salinan pertama Metamorfosis mengungkapkan kepada publik tentang transformasi serangga tropis dari telur hingga  dewasa.

Baca juga : Galeri Nasional Indonesia akan Lakukan Penyesuaian Tarif Mulai 1 September 2024

Merian dan putri-putrinya menghasilkan sekitar 200 lembar dari tahun 1705. Tetapi saat ini hanya sekitar 67 lembar yang tersisa dari buku ini, dan hanya sedikit yang memiliki ilustrasi berwarna.

Cek Artikel:  Hamas Konkretkan Tentara Israel Bunuh Enam Tawanan di Gaza

“Ini adalah salah satu buku sejarah alam paling menarik yang pernah ada,” kata Alex Alsemgeest, kurator koleksi perpustakaan Rijksmuseum, kepada Observer. Hal yang juga “sangat luar biasa,” adalah Merian menjalankan seluruh proses produksi buku ini “dengan tangannya sendiri,” mulai dari perjalanannya ke Suriname hingga komersialisasi buku yang dijual kepada pedagang dan ilmuwan di seluruh Eropa.

Dengan ilustrasi yang indah dan detail, “Metamorfosis” adalah perpaduan seni dan ilmu ilmiah. Naskah ini juga mencerminkan sejarah kolonialisme Belanda, di mana Merian mencatat nama-nama lokal tanaman dan serangga. Dimana ia menemukan banyak satwa liar lainnya dengan dibantu oleh penduduk saat masa kolonial. 

Baca juga : Seorang Bocah Pecahkan Guci Berusia 3.500 Pahamn di Museum

Kisah hidup Merian sangat menarik. Di usia 52 tahun dan sebagai seorang janda, ia melakukan perjalanan mandiri ke Suriname pada 1699, didorong rasa ingin tahunya yang mendalam tentang kehidupan serangga.

Cek Artikel:  Netanyahu Tegaskan Serangan ke Hizbullah di Libanon bukan Akhir Cerita

Lahir di Frankfurt, Merian belajar melukis di bengkel ayah tirinya yang seorang seniman, dan terpesona oleh ulat sutera, ngengat, dan kupu-kupu. Ia menikah dengan salah satu murid ayah tirinya, memiliki dua putri. Terhimpit dalam kehidupan yang nyaman di Nuremberg, ia tetap membiakkan dan menggambar ulat serta menerbitkan buku tentang tanaman dan serangga.

Pada masa itu, banyak orang masih percaya serangga muncul secara spontan dari tanah. Meski bukan orang pertama yang menggambarkan siklus hidup serangga, Merian berhasil menyampaikan konsep transformasi serangga berkat bakat artistiknya, yang membuat pengetahuan ini lebih mudah dipahami oleh khalayak luas, jelas Alsemgeest.

Baca juga : TMII dan PosIND Sepakati MoU Pengembangan Museum Prangko

Sejarawan Natalie Zemon Davis menggambarkan Merian sebagai sosok yang “penuh rasa ingin tahu dan semangat” dibandingkan tokoh-tokoh besar lainnya. Merian pernah meninggalkan suaminya untuk bergabung dengan sekte Protestan radikal di Friesland sebelum akhirnya mendirikan bisnis di Amsterdam.

Cek Artikel:  Lonjakan Serangan Lumba-Lumba Kesepian di Jepang, Dipicu Frustrasi dan Perilaku Pertahanan

Di Amsterdam, Merian menemukan kupu-kupu yang hidup di Suriname, sebuah koloni Belanda di pesisir utara Amerika Selatan. Ia pindah ke Suriname bersama putrinya, Dorothea hingga tahun 1975. 

Penemuan kupu-kupu di suriname oleh Merian ini menjadi buku ilmiah yang berisi pengamatan dan dokumentasinya mengenai metamorfosis kupu-kupu, yang menjadikannya sebagai tokoh penting entomologi. 

Naskah Merian menggambarkan keindahan dan kebiadaban dunia alam, serta beberapa binatang merayap yang sangat realistis. Salah satu ilustrasi pertamanya menampilkan kecoa yang merayap di atas nanas mentah, buah yang saat itu dianggap simbol status di Eropa. Dalam ilustrasi lain, seekor tarantula terlihat menyerang burung kolibri. 

Karya Merian awalnya dianggap sebagai fantasi. Alsemgeest menjelaskan bahwa pada abad ke-18, banyak yang meragukannya, dengan mengatakan, “Itulah yang terjadi jika Anda mengirim seorang perempuan ke daerah tropis. Mungkin dia hanya mengarangnya.” Tetapi, penemuan Merian kemudian dikonfirmasi oleh para ilmuwan, menunjukkan betapa hebatnya pengamatannya. (The Guardian/Z-3)

Mungkin Anda Menyukai