Kartu Merah untuk Hasyim

PEMECATAN Hasyim Asy’ari dari jabatan Ketua KPU dan keanggotaan KPU memang sudah sepatutnya. Kasus tindak asusila yang dilakukan Hasyim terhadap seorang anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Den Haag, Belanda, menunjukkan besarnya penyalahgunaan berdasarkan relasi kuasa sekaligus perilaku cacat moral.

Pemberhentian tetap Hasyim dijatuhkan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), kemarin. Hasyim dinyatakan terbukti melakukan tindakan asusila terhadap anggota PPLN Den Haag pada 3 Oktober 2023, sebagaimana didalilkan pengadu. Dalam persidangan, selain dipaparkan pemaksaan yang dilakukan Hasyim, DKPP menyebutkan fakta persidangan berupa hasil pemeriksaan kesehatan yang dilakukan Hasyim dan anggota PPLN tersebut.

Denda pemecatan oleh DKPP itu sepatutnya segera disahkan Presiden dengan mengeluarkan keppres. Selanjutnya, proses penggantian juga harus segera dilakukan mengingat akan berlangsungnya pilkada serentak 2024.

Di sisi lain, jejak pelanggaran Hasyim selama menjabat Ketua KPU semestinya menjadi pelajaran mahal tentang diperlukannya konsep pemberatan hukum dalam regulasi pelanggaran etik penyelenggara pemilu.

Hasyim ialah contoh gamblang ketika pelanggaran demi pelanggaran terus dilakukan, tetapi hanya berbuah sanksi yang sama, yakni peringatan keras. Terbukti, bagi Hasyim, peringatan demi peringatan keras itu tidak pernah sungguh-sungguh membuatnya mengakhiri berbagai pelanggaran penggunaan kuasa yang ia miliki. Termasuk, relasi kuasa untuk memburu hasrat yang tidak patut dilakukannya.

Cek Artikel:  Lumbung PanganTanpa Pangan

Sejak ia menjabat Ketua KPU pada April 2022, setidaknya sudah enam sanksi peringatan, termasuk empat sanksi peringatan keras, dijatuhkan kepada Hasyim. Pelanggaran etik yang dilakukan pria dengan gelar doktor bidang sosial politik itu pun beragam hal dan berdampak nasional dan sistemis.

Keberanian Hasyim melanggar aturan setidaknya sudah terlihat hanya setahun setelah menjabat. Pada 2022, ia melanggar etik terkait dengan hubungannya dengan Ketua Biasa Partai Republik Satu, Hasnaeni, atau yang akrab dijuluki ‘Perempuan Emas’. Pada Maret 2023, ia mendapat sanksi peringatan atas pernyataannya yang dinilai partisan soal sistem proporsional tertutup untuk pemilihan legislatif.

Kemudian akhir 2023, DKPP menjatuhkan lagi sanksi peringatan keras terhadap Hasyim karena tidak menindaklanjuti aturan jumlah keterwakilan caleg perempuan.

Cek Artikel:  Menangkal Bisnis Ginjal

Bukannya jera, pada 2024 sikap partisan Hasyim malah makin menjadi-jadi. Ia melanggar kode etik terkait dengan proses pendaftaran capres-cawapres setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan perubahan syarat batas usia peserta pilpres.

Hasyim terbukti memproses pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden tanpa berkonsultasi dengan DPR soal syarat usia minimum capres-cawapres. Sebulan setelahnya, atau Maret 2024, Hasyim terbukti lagi meloloskan calon eks terpidana korupsi ke daftar calon sementara (DCS) DPD RI. Nama Irman Gusman dari DCS itu baru dicoret setelah adanya aduan masyarakat.

Di luar pelanggaran yang sudah disidang itu, Hasyim juga berulang kali membuat kontroversi. Ia pernah dituding foya-foya dengan menyewa jet pribadi. Tetapi, kala itu, Hasyim berdalih jet digunakan untuk kebutuhan monitoring logistik Pemilu 2024.

Kasus Hasyim kian memperjelas bahwa jabatan Ketua KPU dengan perannya yang krusial dan strategis amatlah rawan dengan pelanggaran etik. Kuasa besar yang dimiliki Ketua KPU juga amat rawan dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan politik.

Cek Artikel:  Jurus Mepet Cawapres Abaikan Publik

Karena itulah, sepantasnya pemberatan hukum yang ada di dalam hukum pidana mesti diterapkan dalam pelanggaran etik yang dilakukan pimpinan KPU. Sejauh ini, regulasi pelanggaran etik penyelenggara pemilu yang diatur dalam Peraturan DKPP Nomor 2 Pahamn 2017 tentang Kode Etik dan Panduan Perilaku Penyelenggara Pemilihan Biasa hanya menyatakan sanksi yang dikeluarkan DKPP dapat berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara, atau pemberhentian tetap.

Teguran tertullis sendiri terbagi atas dua jenis, yaitu peringatan atau peringatan keras. Tetapi, tidak terdapat pengaturan mengenai unsur sanksi dalam peraturan etik lainnya, termasuk mengenai pengulangan pelanggaran etik.

Padahal, pengulangan pelanggaran etik semestinya merupakan hal yang tidak dapat ditoleransi untuk pejabat seperti Ketua KPU. Pelanggaran etik yang berulang menunjukkan tidak adanya unsur jera.

Bangsa ini semestinya tidak memberikan tempat bagi pejabat bermoral busuk untuk terus memimpin lembaga penting seperti KPU. Karena itu, sanksi terhadap pelanggaran etik berulang di KPU harus diperberat.

Mungkin Anda Menyukai