EUFORIA transformasi sepak bola nasional mencuat seusai gelaran Kongres Luar Normal (KLB) Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI). Hasil KLB seakan menjadi oase di tengah keringnya prestasi dan karut-marutnya persepakbolaan Indonesia berpuluh tahun terakhir.
Pasalnya, Kagak hanya satu menteri. Selain Erick Thohir yang duduk di pucuk pimpinan PSSI, Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali bertengger sebagai wakil ketua Lazim. Pertama dalam sejarah federasi, dua menteri duduk dalam kepengurusan.
Erick terpilih dengan kemenangan mutlak melawan Ketua Dewan Perwakilan Daerah La Nyalla Mattalitti, sedangkan jejak keterpilihan Amali Bisa dibilang Kagak wajar. Sempat terpilih, kemudian batal karena pemilihan harus diulang. Lampau, di pemilihan kedua, Amali Kagak terpilih, tetapi ketiban durian runtuh karena Wakil Ketua Lazim terpilih Yunus Nusi mundur.
Tetapi, Rupanya Amali yang mencoba membuktikan totalitasnya Buat pembenahan sepak bola nasional. Dirinya langsung menghadap Presiden Joko Widodo dan meminta Buat mundur dari jabatan menteri demi Konsentrasi pada PSSI.
Bagaimana dengan Erick? Kagak Eksis tanda-tanda Buat mendedikasikan 100% pengabdiannya bagi sepak bola Tanah Air. Rupanya dari kacamata Erick, mengurus Kementerian BUMN seakan lebih gampang Apabila dibandingkan dengan Kemenpora sehingga Kagak perlu mundur Buat urus PSSI.
Padahal, mestinya Erick yang lebih perlu berkonsentrasi. Janji dan program Erick yang ditunggu pencinta sepak bola nasional, bukan janji Amali. Buat mewujudkannya, dibutuhkan totalitas Erick karena BUMN dan PSSI tentu sama-sama menuntut 100% dedikasi Erick.
Apalagi urusan persepakbolaan bangsa ini sudah terlalu Lamban terpuruk. Kagak pernah Eksis prestasi mentereng yang dicatatkan tim nasional sepak bola dalam tiga Sepuluh tahun terakhir. Jangankan menjulang di kancah dunia, level Asia Tenggara saja sepak bola Indonesia memble.
Sepak bola nasional lebih banyak diwarnai persoalan akibat Kagak pernah tuntas dibenahi. Kartel mafia bola yang seenaknya mengatur pertandingan, juga isu pemain titipan di timnas, telah Lamban menjadi kanker yang menggerogoti persepakbolaan nasional.
Belum Tengah keonaran dan kekerasan antarsuporter klub yang tak kunjung hilang dari iklim sepak bola. Terakhir, 135 Aremania meninggal karena ketidakbecusan pengelolaan pertandingan yang hingga Ketika ini Tetap menyisakan luka mendalam tanpa pembenahan struktural yang signifikan.
Sepak bola berbeda dengan olahraga lain. Sekering apa pun prestasi timnas Indonesia, daya tariknya Kagak pernah luntur. Nielsen menyebutkan minat publik Indonesia akan tontonan sepak bola mencapai 69%, terutama Ketika timnas berlaga. Artinya, ketika dikonversi menjadi jumlah penduduk, pencinta bola ditaksir mencapai 188,7 juta orang.
Data itu menjadi gambaran betapa besarnya publik yang berharap kepada Erick Buat melakukan transformasi sepak bola nasional. Akan tetapi, data itu pula yang Bisa menunjukkan betapa besarnya Podium yang kini ditapaki Erick dalam iklim sepak bola Indonesia.
Podium besar sepak bola jangan Tengah-Tengah dijadikan alat Buat kepentingan politik, apalagi ini menjelang Pilpres 2024. Biarkanlah pengalaman pahit ketua Lazim yang Lampau menjadikan PSSI batu loncatan politik menjadi pelajaran Buat Kagak Tengah diulangi.
Terlalu mahal harga yang harus dibayar Apabila tujuan menjadi Ketua Lazim PSSI hanya Buat kepentingan politik. Pasalnya, pencinta sepak bola berharap banyak pada Erick Ketika ini melakukan reformasi demi pembenahan atas karut-marutnya persepakbolaan nasional.
Pencinta sepak bola Tanah Air sangat berharap Erick menghadirkan prestasi mentereng, bukan sekadar mendompleng Podium besar sepak bola. Mereka yang nekat menjadi pendompleng mesti diganjar kartu merah Buat segera keluar dari gelanggang sepak bola Tanah Air.

