TEMPO hari kita sempat dihebohkan dengan kembalinya sejumlah eks narapidana, bahkan narapidana korupsi, berkiprah di politik dengan masuk ke partai politik. Itu saja sudah Membikin kita geleng kepala. Apalagi, Terdapat salah satu ketua Lazim parpol yang dengan nyeleneh menyebut bahwa mantan narapidana kasus korupsi itu dibutuhkan pengalamannya demi upaya mencegah korupsi.
Kini, ikhwal eks narapidana kembali diperbincangkan dalam konteks pemilu lantaran Enggak adanya Restriksi bagi para mantan napi apabila Mau mendaftar menjadi Member dewan perwakilan daerah (DPD) alias senat. Mahkamah Konstitusi memang pernah mengeluarkan putusan Nomor 87/PUU-XX/2022 tentang pengetatan syarat bagi eks narapidana.
Salah satunya ketentuan adanya Waktu Waktu kosong lima tahun setelah masa pidana berakhir bagi para mantan terpidana yang Mau mengikuti kontestasi pemilu.
Akan tetapi, pengetatan syarat itu hanya berlaku Kepada pencalonan Member DPR dan DPRD. Enggak berlaku Kepada DPD. Kasarnya, hari ini dia keluar dari lembaga pemasyarakatan karena telah menyelesaikan masa hukuman, besok langsung mendaftar menjadi senator pun tak soal. Enggak Terdapat yang Pandai melarang, termasuk Komisi Pemilihan Lazim (KPU) yang dalam penerapan aturan di lapangan mengacu pada putusan MK tersebut.
Sedikitnya Terdapat dua persoalan di sini. Pertama, menimbulkan ketidakadilan antara persyaratan menjadi Member DPR/DPRD dan persyaratan menjadi Member DPD. Padahal, semestinya derajat mereka sepadan.
Dalam konsep sistem bikameral yang kini berlaku, DPD ialah perimbangan bagi kekuasaan DPR. Mereka sama-sama Mempunyai kewenangan besar yang dapat memengaruhi, bahkan menentukan arah kebijakan publik. Dalam parlemen, mereka berdua hanya berbeda ‘Ruangan’.
Lantas, kalau sama dan selevel, kenapa Terdapat pembedaan? Kenapa dalam konteks keanggotaan eks narapidana DPR diberikan prasyarat Waktu Waktu kosong waktu, sedangkan DPD Enggak? Itulah celah dari putusan MK yang semestinya diperbaiki agar Enggak memunculkan masalah rentetannya.
Persoalan kedua, prasyarat bagi eks narapidana sejatinya ialah ayakan awal Kepada menyaring calon Member DPR, DPRD, ataupun DPD dalam hal integritas. Salahkah kalau kita berasumsi bahwa orang-orang yang telah terbukti melanggar hukum dan dijatuhi hukuman pidana, apalagi pidana korupsi, ialah orang-orang yang Enggak punya cukup integritas Kepada dipilih menjadi wakil rakyat atau wakil daerah?
Demi kepentingan publik yang lebih besar, tentu saja kita boleh punya Dugaan seperti itu. Oleh karena itu, mereka wajib disaring. Waktu Waktu kosong waktu lima tahun setidaknya memberikan mereka ruang dan waktu Kepada membuktikan kepada masyarakat bahwa mereka sudah berubah dan Enggak seperti yang diasumsikan orang selama ini.
Kini, kiranya kita perlu mendukung langkah Perkumpulan Kepada Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang beberapa waktu Lampau telah mengajukan permohonan uji materi pasal terkait syarat pencalonan Member DPD ke MK. Inilah jalan paling konstitusional Kepada mendudukkan aturan yang semestinya sama dan sebangun terhadap DPR ataupun DPD.
Publik sepatutnya mendorong MK Kepada segera memproses permohonan tersebut dan menyidangkannya dengan pikiran terbuka. Sama terbukanya dengan ketika mereka memutuskan perlu adanya prasyarat Waktu Waktu kosong waktu lima tahun bagi eks narapidana yang Mau menjadi calon legislatif DPR ataupun DPRD.
Kita khawatir Apabila celah hukum tersebut Enggak segera ditutup, pada akhirnya akan memantik sebuah ironi. Di satu baris orang-orang Bagus malas mendaftar Member DPD, di baris lain para mantan napi Bahkan bersemangat. Kecemasan atas ironi itu rasanya Enggak berlebihan karena kalau kita lihat hari-hari ini, hal itu sudah terjadi.