Karena Sepak Bola Dianggap Segalanya

KAWAN saya masih saja uring-uringan. Dia geregetan, kesal, dan marah karena menurutnya pemerintah konsisten memperlihatkan ketidakadilan dalam memayungi olahraga di negeri ini.

Kata teman saya itu, dari dulu, pemerintah timpang membagi cintanya. Mereka menyayangi sepak bola lebih dari yang lain. Saking sayangnya, mereka gercep, sat set, acap kali ada masalah dengan sepak bola. Sebaliknya, karena mungkin cintanya tinggal sisa-sisa, mereka tak jarang abai ketika ada persoalan di cabang olahraga lainnya.

Kolega saya itu kemudian menunjukkan bukti terkini. Kata dia, ketika FIFA membatalkan penyelenggaraan Piala Dunia U-20 di Indonesia, semuanya heboh. Presiden hingga menteri bak kebakaran jenggot. Presiden Jokowi bahkan sampai meluangkan waktu untuk memberikan pernyataan resmi pada Kamis (30/3) sore atau sehari setelah FIFA resmi membatalkan perhelatan Piala Dunia U-20 di Indonesia.

Kata Pak Jokowi, seperti halnya masyarakat banyak, dia juga kecewa. Dia juga sedih, tetapi apa pun keputusan FIFA harus dihormati dan mengajak untuk tidak saling menyalahkan. Bijak betul sikap itu.

Ketika di kemudian hari FIFA memberikan hadiah kepada Indonesia tuan rumah Piala Dunia U-17 menggantikan Peru, sambutan pemerintah juga luar biasa. Mereka kompak mendukung PSSI yang ketua umumnya ialah menteri Jokowi, yakni Etho, Erick Thohir. Persiapan dimatangkan.

Cek Artikel:  Kasih untuk Rafah

Tiga menteri, yakni Erick, Menteri PU-Pera Basuki Hadimuljono, dan Menpora Dito Ariotedjo sampai-sampai memberikan atensi khusus pada Jakarta International Stadium (JIS). Mereka satu suara akan perlunya renovasi stadion yang dibangun di era Gubernur Anies Baswedan itu agar sesuai standar FIFA. Mereka tiba-tiba menjadi ahli rumput, ujug-ujug merasa punya kompentensi menentukan standar tidaknya sebuah stadion.

Presiden pun merasa perlu turun langsung. Dia mengecek Stadion Si Jalak Harupat, Kabupaten Bandung, yang selesai direnov dengan biaya Rp155 miliar. Ini bagian dari Rp1,9 triliun yang digelontorkan untuk merenovasi 22 stadion. Pak Jokowi juga melihat seleksi pemain tim U-17.

Jauh sebelum itu, kepedulian pemerintah amat kentara pula dalam Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang. Atas perintah Jokowi, Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) dibentuk di bawah ketua Menko Polhukam Mahfud MD. Sejumlah rekomendasi dihasilkan, meski harus kita katakan penuntasan tragedi itu mengecewakan.

Cek Artikel:  Resah Gongahwah

Bahwa pemerintah peduli pada sepak bola, itulah yang kita inginkan. Sepak bola ialah olahraga rakyat, paling digemari rakyat, tapi prestasinya sudah sangat lama tak mampu memuaskan dahaga rakyat. Pertanyaannya, apakah perhatian yang sama, kepedulian yang setara, juga diberikan untuk olahraga lain, event-event lain? Bolehlah ANOC World Beach Games (AWBG) kita jadikan contoh.

Kejuaraan dunia olahraga pantai itu sedianya dihelat di Bali, 5-12 Agustus 2023. Setidaknya 1.500 atlet dari 130 negara ambil bagian. Jernih, ini bukan ajang ecek-ecek. Merupakan kehormatan besar bagi Indonesia dipercaya sebagai penyelenggara. Akan tetapi, yang terjadi?

Dengan alasan anggaran tak kunjung turun, Komite Olimpiade Indonesia (KOI) sebagai panitia lokal kibarkan bendera putih. Mereka menyerah ketika pergelaran tinggal sebulan lagi. “Bali mundur dari komitmen mereka untuk menyelenggarakan 2023 ANOC World Beach Games,” demikian pernyataan resmi ANOC, Rabu (5/7).

ANOC menilai keputusan itu sebagai sebuah kejutan besar dan kekecewaan yang luar biasa. Karena terlalu mepet waktunya pula, mereka sulit mencari tuan rumah pengganti hingga akhirnya AWBG tahun ini ditiadakan. Bayangkan, gara-gara Indonesia, event besar dunia berantakan. Sungguh memalukan.

Cek Artikel:  Si Orang Toksik

Lebih memalukan lagi, pembatalan itu karena anggaran. Kata KOI, birokrasi tak memungkinkan anggaran cair dalam waktu cepat untuk membiayai kejuaraan. Tetapi, Mas Menteri Dito menyangkal. Dia bilang, pemerintah sudah menyediakan dana meski diakui sempat terjadi perbedaan antara proposal dan hasil reviu hingga akhirnya ketemu Rp446 miliar.

Saya tidak tahu siapa yang salah, siapa yang merasa benar. Yang pasti, keputusan menarik diri sebagai tuan rumah AWBG ialah aib bangsa di mata dunia. Kredibilitas Indonesia di dunia olahraga remuk. ”Tindakan Indonesia tidak dapat diterima. Indonesia mengeluarkan keputusan yang membuat marah publik. Mereka membuat turnamen besar dunia terpaksa dibatalkan,” demikian narasi media Vietnam, The Thao 247.

Begitulah, ketika sepak bola dianggap segalanya dengan rupa-rupa pamrih, olahraga lain, ajang lain, seolah gak penting. Wajar kiranya teman saya uring-uringan.

Mungkin Anda Menyukai