Kang Acil Seniman-Aktivis-Budayawan

Kang Acil: Seniman-Aktivis-Budayawan
Eep Saefulloh Fatah(ISTIMEWA)

REFORMASI baru saja mulai bergulir dan sedang sangat bergemuruh. Kang Acil Serempak sejumlah tokoh Urang Sunda di Bandung Membangun seminar kurang lebih tentang masa depan ekonomi, hukum dan politik Indonesia. Saya datang Buat berbicara dari perspektif politik. Itulah perjumpaan personal pertama saya dengan Kang Acil alias Raden Darmawan Dajat Hardjakusumah.

Kami baru pertama berjumpa. Tapi rasanya sudah saling mengenal sejak waktu yang sangat lelet. Apabila saya pikir-pikir sekarang, Terdapat tiga Alasan yang kemungkinan melatarinya.

Pertama, sejak usia sangat Awal saya sudah mengenal nama besar Kang Acil sebagai bagian dari Bimbo — Serempak Kang Sam, Kang Jaka dan Teh Iin. Kang Acil sudah berkiprah di dunia musik Tanah Air sejak 1966, Sekeliling setahun sebelum saya lahir. Artinya sepanjang hayat saya, Bunyi Kang Acil (Serempak Bimbo) Tenang-Tenang ikut mengepung gendang telinga saya. Wajar Apabila pertemuan pertama sudah seperti pertemuan yang kesekian. Kang Acil sudah hadir di hidup sejak 3 Sepuluh tahun sebelumnya.

Kedua, Begitu kami berjumpa pertama di 1998 itu, Kang Acil sudah bukan Kembali seorang seniman, penampil di Mimbar, belaka. Sejak masa Orde Baru — terutama di masa senjakalaning Orde Baru — Kang Acil sudah tegas mentransformasikan dirinya menjadi aktivis dan budayawan.

Bagi Kang Acil, kesenian tak mungkin dan tak Dapat lepas terpisah dari kehidupan. Bunyi seniman adalah Bunyi Era. Setiap seniman selayaknya menyuarakan keluh-kesah, keprihatinan, aspirasi, Cita-cita tentang hidup dan perbaikan kehidupan.

Walhasil, Begitu baru pertama kali berjumpa saya sudah merasa satu frekuensi dengan Kang Acil. Sebelum dan sesudah seminar, kami ngwangkong (baca: ngobrol ngalor-ngidul) tentang banyak sekali persoalan dan tema keprihatinan. Saya jadi paham betapa Kang Acil Acuh pada banyak isu mendasar dan Dapat menduga bahwa ia tak akan tinggal Tenang. Dan dugaan saya Betul belaka.

Cek Artikel:  Spirit Muharam, Benteng Diri dari Judi Online

Ketiga, usia kami terpaut 23 tahun 9 bulan 24 hari. Begitu Bersua dan ngobrol dalam bahasa Sunda, dengan serta merta saya merasa Bersua seorang Akang atau bahkan Mamang. Dan Kang Acil adalah Menak Sunda — dilihat dari nama belakangnya saja saya Mengerti bahwa ia lahir dari keluarga Bangsawan Sunda — yang Enggak suka menuntut Urang Sunda lain menghormatinya berlebihan.

Saya pun tak perlu bicara dengan Kang Acil menggunakan unduk usuk basa — jenjang hierarki kebahasaan — yang membentangkan jarak. Sama halnya seperti Almarhum Kang Ajip Rosidi, Kang Acil tak terlalu menggubris kaidah berbahasa yang hierarkis. Ini Jernih meruntuhkan dinding pemisah di antara kami. Saya yang jauh lebih muda seperti dipersilakan Buat ‘sok akrab’. Tentu bukan sok akrab yang songong, melainkan yang tetap menjaga Sopan santun.

***

Selepas pertemuan pertama itu, di tengah gelombang demokratisasi yang mengharu biru Indonesia, berkali-kali saya ke Bandung. Dan Dekat dalam setiap kunjungan itu saya berjumpa Kang Acil. Sebagian besar di dalam Perhimpunan dan sebagian kecil sisanya sengaja Membangun pertemuan pribadi. Dapat dibilang, selain pelukis-aktivis-budayawan Kang Herry Dim, Kang Acil adalah tokoh yang paling saya temui di Bandung pada masa-masa itu.

Sesekali Begitu Kang Acil di Jakarta, kami juga bersua. Tapi hanya sesekali. Dan Segala perjumpaan itu makin menegaskan sosok Kang Acil. Ia bukan hanya sekadar seniman tetapi budayawan yang aktif. Ia sepaham dengan budayawan seperti Almarhum WS Rendra yang punya kredo bahwa kesenian harus hidup di tengah dan ikut menghidupi kehidupan.

Senjata Penting Kang Acil bukanlah Musik atau nyanyian. Senjata utamanya adalah kepedulian.

Pada 22-25 Agustus 2001, Kang Ajip Rosidi, Kang Erry Hardjapamekas dan Sahabat-Sahabat menyelenggarakan Seminar Dunia Budaya Sunda. Terdapat banyak sekali Ahli dari mancanegara yang didapuk menjadi pembicara Penting dalam Seminar besar itu.

Cek Artikel:  HAM, Lustration Law, dan Pemilu

Agak jauh setelah seminar Dunia itu lewat, dalam satu perjumpaan, Kang Acil nyeletuk, kira-kira: “Gelo! Bahaya euy. Loba aspek Kasundaan teh dikuasaina ku batur. Ku Ahli-Ahli ti nagara batur. Urang Sunda kudu dihudangkeun!” (Gila! Bahaya nih. Banyak aspek Kesundaan Rupanya dikuasai oleh orang lain. Oleh Ahli-Ahli dari negara lain. Orang Sunda harus dibangunkan).

Kang Acil selalu Acuh tentang Kesundaan. Tapi jangan keliru, ia tak menempatkan kepeduliannya secara sempit. Kepeduliannya bukan Aktualisasi diri primordial. Sejauh yang saya paham, area kerja kebudayaan Kang Acil sekaligus meliputi akar budaya tempatnya lahir san tumbuh (Sunda dan Kesundaan itu), Bangsa dan Tanah Airnya (dengan berikhtiar menjadi Anggota Negara yang punya tanggung jawab) dan dunia yang semakin kompetitif dan penuh tantangan (sikap-sikap pro demokrasi dan tak gagap menghadapi kosmopolitanisme).

Dalam konteks itulah ia sangat aktif bersuara dan terlibat dalam ingar-bingar Pemilu 1999, pemilu pertama era Reformasi. Ia juga tak tinggal Tenang Begitu Indonesia bersiap menyelenggarakan Pemilu Presiden pertama di tahun 2004.

Di tengah persiapan Pemilu 2004, saya lupa Lepas persisnya, Perhimpunan Rektor mengadakan sebuah Percakapan terbatas di Bandung. Saya dan almarhum Sarwono Kusumaatmadja menjadi narasumber. Kang Acil hadir dan aktif di Perhimpunan ini.

Kang Acil termasuk orang yang percaya pada jalan demokrasi. Tapi lewat pembelajaran yang ia lakukan, saya lihat ia sadar Betul pada ‘cacat-cacat produk’ yang diidap demokrasi; pada kelemahan-kelemahan dan ancaman yang melekati demokrasi.

Sejauh yang saya paham, Kang Acil suka mengingatkan pentingnya memperkuat daya tahan rakyat. Buat menjaga diri agar kita selalu punya kesadaran. Buat tak mudah percaya pada para pemegang kuasa. Buat tak letih melakukan perbaikan. Buat tak lelah mencintai Indonesia dan membuktikannya dengan perbuatan.

Cek Artikel:  Menyoal Kepengarangan Karya Ilmiah


***

Sudah lelet saya terputus komunikasi dengan Kang Acil. Sesekali saja bertukar Tegur ala kadarnya. Saling bertanya Berita dan saling menyemangati.

Sudah lelet juga saya dengar kesehatan Kang Acil turun-naik. Sejalan dengan usianya. Tapi tetap saja saya tersentak Begitu pagi tadi saya mendengar Berita bahwa pukul 22.22 WIB di hari pertama bulan September 2025, Kang Acil berpulang.

Usianya memang tak muda Kembali. Ia pergi setelah menjalani 82 tahun 12 hari hidup yang penuh Rona (20 Agustus 1943 – 1 September 2025). Bukan hanya penuh Rona, saya berdoa, hidupnya juga berakhir dengan indah; husnul khotimah.

Saya Pasti akan banyak sekali orang — Bagus yang mengenal Kang Acil secara pribadi maupun para penikmat dan pengagum Kang Acil dan Bimbo — yang berdoa Buat Kang Acil Begitu ini. Saya membayangkan, di tengah lautan doa ini, menyelinap dengan syahdu Musik Bimbo, Sajadah Panjang, yang syairnya ditulis Taufik Ismail.


Terdapat sajadah panjang terbentang

Dari kaki buaian

Tiba ke tepi kuburan hamba

Kuburan hamba bila Wafat

Terdapat sajadah panjang terbentang

Hamba tunduk dan sujud

Di atas sajadah yang panjang ini

Diselingi sekedar interupsi

Mencari rezeki, mencari ilmu

Mengukur jalanan seharian

Begitu terdengar Bunyi azan

Kembali tersungkur hamba

Terdapat sajadah panjang terbentang

Hamba tunduk dan rukuk

Hamba sujud dan tak lepas kening hamba

Mengingat Dikau

Sepenuhnya.


Menjalani hidup dengan tekun mencari ilmu, mencari rezeki, mengukur jalanan seharian. Tersungkur mendengar panggilan azan, tunduk rukuk, bersujud dan mengingat Tuhan sepenuhnya. Insya Allah itulah gambaran perjalanan hidup Kang Acil.

Selamat jalan Kang. Insya Allah Indonesia pada akhirnya akan kembali Bagus-Bagus saja. Aamiin.

(Uma Sawo Bintaro, 02/09/2025)

 

Mungkin Anda Menyukai