Kampus Indonesia sebagai Melting Pot Akademik Dunia, Mungkinkah

SAMPAI saat ini tidak ada satu pun kampus di Indonesia yang masuk jajaran 100 kampus terbaik dunia. Lima kampus terbaik di Indonesia, yaitu Universitas Indonesia (UI), Universitas Gajah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Airlangga (Unair), dan Institut Pertanian Bogor (IPB), bertengger di urutan antara 206 sampai 426 dalam QS World University Ranking. 

Bandingkan dengan kampus di negara tetangga. Singapura memiliki NUS dengan ranking 8 dan NTU di nomor 15. Malaysia memiliki Universiti Malaya di ranking 60 dan UKM pada nomor 136. Kampus-kampus di Australia sudah jauh lebih baik tentunya.

Pelbagai upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi terus dilakukan. Tetapi, usaha-usaha mencapai predikat world class university sekarang terdengar hanya sebagai jargon dan slogan semata. 

Baca juga : Cerminan Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia: Mendialogkan Pemikiran Fransiskan dengan Perspektif Sufi Yunus Emre

Tentu ada banyak masalah dan penyebab. Opini-opini telah mengupas kenapa usaha internasionalisasi selama ini belum membuahkan hasil. Persoalan birokratisasi kampus, gaji dosen yang tak layak, ketiadaan kemerdekaan akademik, serta ketidakcukupan dana riset dan pendidikan sudah dibahas dan didiskusikan. 

Tulisan ini tidak ingin mengulang apa yang sudah dibahas. Tetapi, rasanya dari diskusi dan opini sebelumnya ada hal yang dilupakan terkait dengan upaya kita memperbaiki mutu perguruan tinggi: persoalan paradigma.

Menurut hemat penulis, salah satu masalah utama kenapa kampus-kampus kita tertinggal dari negara lain ialah karena kesalahan paradigma pendidikan yang diterapkan. Selama ini kampus kita tidak didesain menjadi melting pot bagi talenta akademik terbaik dari seluruh dunia. Paradigma pendidikan kita masih sangat tertutup, seperti katak dalam tempurung. Apabila closed-mentality itu tidak diperbaiki, sulit rasanya kita bisa mewujudkan kampus unggulan dunia.  

Baca juga : Nihil WNI Terdampak Kerusuhan di Inggris

 

Strategi mengirim mahasiswa (outbond approach)

Salah satu upaya yang ditempuh untuk memperbaiki kualitas dosen dan pendidik di kampus-kampus di Indonesia ialah dengan menyekolahkan mereka di dalam negeri atau di kampus-kampus di seluruh dunia. Dengan menyekolahkan para dosen di luar negeri, wawasan dosen dan jaringan kampus kita menjadi terbuka. 

Baca juga : Kecakapan Tata Kelola di Balik Sukses Haji

Cek Artikel:  Tasyrih Kongres Bahasa Indonesia KBI XII

LPDP dengan dana abadi yang cukup banyak, sekitar 139,11 triliun, telah memberikan beasiswa kepada lebih dari 45 ribu mahasiswa sejak 2010. Puluhan ribu mahasiswa kuliah di kampus-kampus di seluruh dunia, terutama di kampus Barat. 

Selain secara independen dikelola sendiri, LPDP juga bekerja sama dengan beberapa kementerian untuk mengimplementasikan program beasiswa ke luar negeri. Sebagai contoh, Kementerian Keyakinan memiliki program BIB (beasiswa Indonesia bangkit) dan MOSMA (MORA overseas student mobility awards). Kementerian Pendidikan memiliki program BUDI (beasiswa unggulan dosen Indonesia) dan IIMSA (Indonesian internasional student mobility awards). 

Tujuan program itu tentu sangat baik. Selain mencetak kualitas sumber daya manusia yang unggul karena ditempa di kampus top, program itu juga digunakan untuk memperkuat jaringan riset dan pendidikan. 

Baca juga : Perlukah Moderasi Variasia Dikembangkan sebagai Budaya Keilmuan?

Tetapi, program tersebut sebenarnya memiliki kekurangan. Pertama, mengirim orang ke luar negeri sangat mahal. Sebagai contoh, untuk satu orang mahasiswa magister di Amerika, negara harus membiayai sekitar Rp2 miliar sampai kuliahnya selesai. Jumlahnya bisa bervariasi, tergantung jumlah biaya kuliah dan biaya hidup di kota yang berbeda. Dekat semua uang itu dibuang di negeri orang. Maksudnya, secara tidak langsung kita memperkaya negara lain. 

Kedua, program itu juga tentu sangat menguntungkan kampus tujuan. Kampus di luar negeri biasanya akan membebankan biaya kuliah yang jauh lebih mahal kepada mahasiswa asing. Mereka juga diuntungkan karena memiliki jumlah mahasiswa asing yang beragam, sesuatu yang krusial dalam penentuan ranking kampus dunia. Dekat tak ada manfaat langsung pada lembaga mitra di Indonesia selain dari peningkatan kualitas SDM mahasiswa bersangkutan. 

Ketiga, program tersebut secara tidak langsung menjadi semacam feeder bagi kampus-kampus di Barat untuk bertahan di tengah krisis mahasiswa asing di negara mereka. Inggris Raya, sebagai contoh, mengalami krisis menurunnya mahasiswa asing sejak Brexit. Mahasiswa dari negara Asia seperti Tiongkok dan Indonesia menyelamatkan mereka dari jurang krisis itu.

 

Strategi mendatangkan profesor (inboud approach)

Saya tidak ingin pembaca mengambil kesimpulan bahwa program pengiriman mahasiswa ke luar negeri tidak perlu. Program itu harus dilanjutkan. Saya sendiri merupakan produk program tersebut. Tetapi, sebaiknya program itu disertai dengan program lain yang selama ini kurang dilirik. 

Cek Artikel:  Mencoblos dengan Nurani

Program yang saya maksud ialah program mendatangkan dosen asing atau dosen Indonesia yang berkiprah di luar untuk kembali mengajar di Indonesia. 

Buat memudahkan pembaca, mari kita membuat sebuah ilustrasi singkat: 

Dari hitungan ekonomi, kita bisa melihat program mendatangkan profesor dari luar negeri dengan kualitas bagus jauh lebih ekonomis. Bayangkan, dengan asumsi setiap mahasiswa mendapat tunjangan biaya hidup sebesar US$2.000 per bulan, beasiswa untuk 20 mahasiswa S-2 di Amerika per bulan kurang lebih US$40 ribu, setara dengan Rp660 juta.

Dalam hitungan saya, total biaya (SPP, biaya hidup, asuransi, dan lain-lain) yang dikeluarkan pemerintah untuk 20 mahasiswa selama setahun kurang lebih US$840 ribu, setara dengan Rp13 miliar lebih. 

Sekarang bayangkan skenario lain: seorang dosen sekelas associate professor atau full profesor diminta mengajar di kampus di Indonesia. Katakanlah dia minta gaji US$10 ribu per bulan (hitungan yang sangat mahal) karena rekam jejak akademiknya yang baik dan karena ia dari lulusan kampus ternama.  Berdasar pengalaman kami di Universitas Islam Global Indonesia (UIII), kisaran gaji US$3-5 ribu sudah sangat menarik karena biaya hidup di Indonesia yang jauh lebih murah.

Dosen tersebut akan mengajar setidaknya dua kali seminggu untuk dua kelas berbeda. Tiap-tiap kelas berjumlah 30 orang. Maksudnya, ia mengajar 60 orang dalam sebulan selama delapan kali. Dalam sebulan, ia mengajar 60 orang mahasiswa. Kalau dihitung per kepala dari biaya gaji (Rp165 juta) yang dibayarkan kepadanya, ia dibayar sebesar Rp2.750.000/mahasiswa yang diajarnya. Terlihat sangat murah jika dibandingkan dengan 60 orang mahasiswa itu harus belajar di US. 

Dari simulasi di atas, untuk setiap 20 mahasiswa Indonesia yang dikirim ke Amerika, pemerintah Indonesia bisa merekrut tujuh profesor top yang bisa mengajar setidaknya sebanyak 420 mahasiswa. Apabila gaji profesor itu berada di kisaran US$5.000, dana itu bisa dipakai untuk 14 profesor yang bisa mengajar setidaknya sebanyak 840 mahasiswa!

 Bayangkan berapa yang harus dibayar jika 840 mahasiswa itu kuliah di Amerika?

Cek Artikel:  Meraba Visi Program Kesehatan Capres

Bukan hanya itu, 14 orang profesor itu akan memproduksi jurnal bermutu, riset unggulan, kolaborasi akademik, dan lain sebagainya. Kampus Indonesia bisa dengan cepat meroket. 

Juga harus dicatat bahwa sebagian uang yang dibayarkan kepada profesor itu akan dibuang kembali di Indonesia untuk kepentingan menyewa rumah, membeli kebutuhan harian, asuransi, dan lain-sebagainya.

Bukan tidak mustahil karena banyak profesor bermutu di kampus Indonesia itu dalam waktu tidak lama banyak mahasiswa asing yang belajar di Indonesia dengan biaya mereka sendiri.

Pendekatan itulah yang dipakai Singapura, Australia, Malaysia, dan banyak negara lain. Mereka lebih memilih mendatangkan profesor berkualitas ke kampus mereka daripada mengirim banyak mahasiswa ke luar. Ketika profesor bagus sudah dimiliki, kampus tempatnya mengajar akan menjadi magnet bagi mahasiswa dari berbagai negara. Kampus-kampus di Indonesia, jika itu diterapkan, akan menjadi melting pot talenta akademik terbaik dari seluruh dunia. 

Dengan strategi itu, saya yakin kampus di Indonesia bisa tumbuh dengan cepat. Kombinasi mengirim mahasiswa terbaik dan mendatangkan profesor terbaik ialah salah satu kunci meningkatkan mutu pendidikan. 

Bukan semua kampus di Indonesia bisa menerapkan model itu tentunya. Dalam bayangan saya, jika lima kampus di Indonesia bisa memulai proyek percontohan dengan membuka kelas bahasa Inggris dan mendatangkan dosen bagus dari luar negeri, hasilnya akan cukup menjanjikan. Setidaknya pengalaman kami selama tiga tahun di UIII Depok menunjukkan hal itu. 

Tentu ada pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk menunjang program itu jika dilaksanakan. Sistem kepegawaian di kampus harus disesuaikan, sistem visa pelajar harus diperbaiki. Birokratisasi kampus harus dikurangi. Yang juga harus dibenahi ialah standar penyetaraan jabatan akademik dan penggajian. Selama ini, anehnya, para pengajar yang sudah lama berkiprah di luar negeri, jabatan akademik mereka tidak diakui ketika pindah ke Indonesia. Padahal mereka mengajar di kampus-kampus dengan mutu yang jauh lebih baik.  

Saya ingin mengakhiri tulisan pendek ini dengan menekankan kembali bahwa strategi komprehensif ini (mengirim mahasiswa keluar dan mendatangkan profesor top ke dalam negeri) ialah salah satu jalan yang jitu dan efisien untuk mimpi internasionalisasi dan peningkatan mutu pendidikan tinggi kita. Wallahualam.

Mungkin Anda Menyukai