Kampanye Kotak Nihil Perlu Diatur Lebih Detil

Kampanye Kotak Kosong Perlu Diatur Lebih Detil
Anggota antusias mengikuti simulasi pemungutan suara dengan satu pasangan calon dalam Pilkada 2024 di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Minggu (15/09).(MI/Usman Iskandar)

Ketua Program Studi Sarjana Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, Mada Sukmajati berpendapat, KOMISI Pemilihan Standar (KPU) memiliki peran penting dalam mengatur detil-detil regulasi agar masyarakat dapat mengampanyekan kotak kosong. KPU mencatat terdapat 38 daerah yang yang hanya memiliki calon tunggal dalam Pilkada serentak 2024.

“Selama ini, KPU tidak mengatur secara eksplisit peraturan mengenai kampanye kotak kosong,” kata dia.

Misalnya, KPU akan mengatur masyarakat yang kemudian berkampanye untuk kotak kosong karena statusnya yang setara dengan calon tunggal. Hal itu perlu dilakukan karena ada prinsip dalam Pemilu yang harus ditegakkan, yaitu kesetaraan kontestasi sehingga perlu diatur regulasi kampanye kotak kosong ini.

Baca juga : Bawaslu Minta KPU Tak Fasilitasi Kotak Nihil

“Ketika masyarakat tidak dilibatkan, ini bisa menjadi sarana bagi resistensi masyarakat terhadap calon yang tunggal yang disodorkan oleh partai-partai politik,” kata dia dalam siaran pers, Senin (23/9).

Cek Artikel:  Hadir di Kampanye Benyamin Davnie, Anggota Tangsel Dapat Kalender dan Tumbler

Dalam sejarah Pilkada di Indonesia, kotak kosong pernah mengalahkan calon tunggal. Mada mengatakan saat itu ada gerakan sosial untuk mengampanyekan kotak kosong sehingga regulasi perlu dibuat untuk mengakomodasi suara masyarakat.

Ia juga memberikan catatan Paslon tunggal dari tahun ke tahun meningkat, yaitu Pilkada tahun 2015 ada tiga calon tunggal, 2017 jadi sembilan calon tunggal, dan 2018 ada 16 calon tunggal, dan 2020 ada 25 daerah calon tunggal.

Baca juga : Komisi II DPR Sepakat Gelar Pilkada Ulang Bila Kotak Nihil Menang

“Bedanya, saat itu Pilkada diadakan secara bukan bergelombang sehingga Pilkada sebelumnya tidak dapat dibandingkan dengan Pilkada 2024 yang digelar serentak,” kata Mada.

Cek Artikel:  KPU Jakarta Selatan Terima 3.290 Kotak Bunyi Pilkada DKI

Mada mengatakan, kita perlu memperhatikan konteks munculnya calon-calon tunggal tersebut. Pertama, indikasi tentang adanya persekongkolan mayoritas partai politik atau dukungan pemodal terhadap paslon tunggal tersebut.

“Daerah ini rentan korupsi politik seperti perizinan pertambangan yang dipermudah dan isu-isu keberlangsungan lingkungan, tata kelola sumber daya pertambangan di daerah itu dan seterusnya,” terang dia.

Baca juga : Pilkada Ulang Diusulkan Maksimal satu Mengertin

Ia juga menyebut, adanya kerawanan mobilisasi Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk memenangkan paslon tersebut. Hal ini rawan terjadi pada daerah dengan calon tunggal yang merupakan petahana.

“Politisasi birokrasi yang seperti ini tidak sejalan dengan semangat reformasi birokrasi di Indonesia sehingga prinsip-prinsip meritokrasi, profesionalisme, tata pengelola pemerintahan yang baik itu dipertaruhkan,” terang dia.

Cek Artikel:  Bawaslu Daerah Ingatkan Kampanye Harus Eksis Surat Pemberitahuan Kepolisian

Calon tunggal dalam Pilkada, lanjut dia, adalah bentuk kegagalan partai politik dalam melakukan fungsi mendasarnya untuk mencalonkan kadernya sendiri dalam Pilkada. Partai politik belum siap sehingga mereka juga tidak mampu menghasilkan alternatif bagi masyarakat.

Ia juga mengkritik proses seleksi calon kepala daerah yang tidak melibatkan masyarakat. Partai politik seolah enggan membuat terobosan dan membuka ruang-ruang bagi partisipasi publik dalam proses nominasinya ini.

Posisi masyarakat untuk mencalonkan diri semakin sulit karena beberapa daerah dikuasai oleh politik dinasti. “Kendali petahana dan politik dinasti di daerah turut menambah penyebab lahirnya calon tunggal,” tutup dia. (N-2)

Mungkin Anda Menyukai