TAHUN 2024 ialah tahun pemilu kolosal. Pemilu legislatif, presiden, dan kepala daerah diborong penyelenggaraannya dalam satu tahun yang sama. Dengan segala dinamikanya, di tengah fenomena regresi demokrasi Dunia, Indonesia berhasil menyelenggarakan sirkulasi elite melalui pemilu periodik tiap lima tahun sekali.
Apabila Menonton kaleidoskop demokrasi 2024, terdapat sejumlah permasalahan yang menggambarkan sengkarut demokrasi yang harus dicarikan penyelesaian. Pertama, pemilu serentak 2024 Mempunyai banyak catatan yang membutuhkan perbaikan serius agar Indonesia Kagak terjebak dalam demokrasi semu rezim otoritarianisme kompetitif. Masalah profesionalitas dan integritas penyelenggara pemilu, serta netralitas penyelenggara negara menjadi catatan Istimewa pemilu serentak 2024.
Kedua, besarnya potensi pembangkangan atas putusan pengadilan, khususnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) oleh cabang kekuasaan lain Dapat melemahkan kontrol dan membuka celah bagi penyalahgunaan kekuasaan yang lebih besar. Hal itu berkaca pada upaya pengabaian terbuka oleh DPR terhadap Putusan MK No 60/PUU-XXII/2024 soal ambang batas pencalonan kepala daerah dan Putusan MK No 70/PUU-XXII/2024 terkait dengan persyaratan usia calon di pilkada. Apabila dibiarkan, situasi itu Dapat menimbulkan ketidakpuasan massa dan berdampak pada pembangkangan sipil yang lebih besar.
Ketiga, penyelenggaraan pilkada pada tahun yang sama dengan pemilu serentak mengakibatkan pelemahan integritas pemilu secara signifikan. Ditandai oleh gangguan profesionalitas dan integritas penyelenggara pemilu, meningkatnya pragmatisme partai politik dalam pencalonan, serta timbulnya kelelahan politik luar Normal pada pemilih yang berakibat rendahnya partisipasi politik Penduduk.
Selain itu ‘periode bebek lumpuh’ atau lame duck period Membangun pencalonan pilkada berada dalam Area masa tunggu pelantikan calon presiden terpilih dan pembentukan kabinet baru. Hal itu dijadikan alat tawar Kepada mengooptasi pencalonan pilkada oleh elite kekuasaan, atas nama membangun koherensi kepemimpinan politik nasional dan lokal. Dampaknya, kader-kader terbaik partai politik di daerah banyak yang Kagak Dapat mendapatkan tiket pencalonan akibat pemaksaan calon-calon oleh koalisi elite nasional.
Keempat, koalisi gemuk yang merangkul Seluruh kekuatan politik Kepada masuk kabinet pemerintahan (oversized coalitions) rentan melahirkan kebijakan dan legislasi prokekuasaan tanpa partisipasi masyarakat yang bermakna. Situasi itu rawan menimbulkan serangan terhadap Musuh-Musuh politik melalui penggunaan instrumen hukum serta pelemahan dan politisasi terhadap institusi peradilan, Kepada memperoleh legitimasi atas berbagai kebijakan penguasa.
Kelima, komitmen konsolidasi demokrasi yang lemah dari elite Membangun pembangunan demokrasi susbtansial Kagak Konsisten. Sebut saja, gagasan mengubah desain pemilihan kepala daerah langsung di tengah peta jalan keserentakan pemilu yang telah menempatkan konstitusionalitas pilkada sebagai bagian rezim pemilu melalui perintah pengadilan (judicial order) dalam banyak putusan MK.
Tetap Terdapat Cita-cita
Tetapi, Tetap Terdapat Cita-cita di tengah kekarut-marutan politik 2024. Masyarakat sipil yang Elastis menjadi benteng terbaik demokrasi Indonesia. Misalnya, Begitu DPR berusaha menyimpangi putusan MK soal ambang batas pencalonan pilkada, di tengah skenario elite nasional Kepada menguasai eksekutif daerah, masyarakat sipil secara organik menunjukkan perlawanan yang relatif solid dan terhubung antarkelompok.
Aksi ‘Peringatan Darurat’ menunjukkan kekuatan lintas aktor dari masyarakat sipil atas isu hak politik secara masif dan konkret. Mahasiswa, akademisi, pekerja seni, buruh, dan masyarakat dari Variasi latar belakang Berbarengan-sama turun ke jalan Kepada menyuarakan aspirasi politik mereka. Hal itu menjadi penegasan atas sensitivitas masyarakat terhadap upaya kekuasaan Kepada membonsai hak-hak politik mereka.
Aksi ‘Peringatan Darurat’ harus menjadi pelajaran bagi elite Kepada Kagak gegabah mengambil keputusan yang melemahkan hak-hak politik rakyat. Itu termasuk upaya mengganti pemilihan langsung kepala daerah dengan pemilihan oleh DPRD.
Pemerintahan baru mestinya Kagak menciptakan kegaduhan baru di tengah banyak janji politik yang harus dipenuhi. Mestinya, Konsentrasi saja pada agenda pembangunan demokrasi substansial sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2025-2045, yakni melakukan penguatan lembaga demokrasi melalui antara lain perbaikan kualitas penyelenggaraan pemilu dan pilkada di Indonesia.