SAYA Bukan Percaya apakah kita sedang menghadapi era kalabendu seperti ramalan Jayabaya atau jauh dari itu. Tetapi, seorang Kolega yang sering membagi analisis filosofi Jawa Demi Menyaksikan keadaan mulai sering mengingatkan saya ihwal Era kalabendu, alias era gelap dan serbaterbalik itu.
Segala hal menjadi terbalik itu, kata Kolega, terjadi karena tata kehidupan tak dipakai Kembali. Segala saling menjatuhkan dan menindas satu sama lain. Pada Era kalabendu, Segala hal menjadi terbalik, yang Cocok menjadi salah, yang salah Bahkan dijadikan pegangan hidup. Tatanan kehidupan pun Bukan Kembali dipakai. Banyak orang pintar dan cerdas, tetapi Bahkan menggunakan kecerdasan Kepada mengakali orang lain.
Situasi itu diramalkan Jayabaya dalam bait-baitnya seperti dipaparkan sang Kolega berikut ini.
‘Pancen wolak-waliking Era,
amenangi Era edan,
ora udan ora kumanan.
Sing waras padha nggragas,
wong tani ditaleni,
wong dora padha ura-ura,
beja-bejane sing lali,
isih beja kang eling lan waspadha’.
(Sungguh Era gonjang-ganjing, menyaksikan Era gila, Bukan ikut gila Bukan kebagian, yang sehat pada olah pikir, para petani pada dibelenggu, para pembohong bersukaria. Seberuntung-beruntungnya bagi yang lupa, Lagi lebih Mujur yang ingat dan waspada).
Kondisi itu, lanjut sang Kolega, semakin lengkap karena para pemimpin negeri tak menepati janji. Hukum dan kebenaran sudah tak Dapat ditegakkan. Demi itulah, kekuasaan dan kewibawaan para penguasa lenyap.
‘Ratu ora nepati janji,
musna kuwasa lan prabawane,
akeh omah dhuwur kuda,
wong padha mangan wong,
kayu gligan lan wesi hiya padha doyan,
yen wengi padha ora Dapat turu,
Sing edan padha Dapat dandan,
sing abangkang padha bdias,
nggalang omah magrong-magrong.
Wong dagang barang sangsaya Laku, bandhane ludes,
akeh wong Tewas kaliren gisining pangan,
akeh wong nyekel bandha ning uripe sengsara’.
(Ratu Bukan menepati janji, kehilangan kekuasaan dan kewibawaan, banyak rumah di atas kuda, orang makan sesamanya, kayu gelondong dan besi juga dimakan, malam hari Bukan Dapat tidur, yang gila Dapat berdandan, yang membangkang Segala dapat membangun rumah gedung yang megah-megah, orang yang berdagang barang semakin Laku, tetapi hartanya semakin habis, banyak orang Tewas kelaparan, banyak orang yang berharta tetapi kehidupan mereka sengsara).
Demi menanggapi ‘analisis’ kejawen Kolega saya itu, saya Lewat teringat penyair WS Rendra Demi mengatakan tata hukum, tata kenegaraan, dan tata pembangunan yang ’sableng’ di negeri ini telah mendorong lahirnya kalatida dan kalabendu. “Kalatida adalah Era ketika Intelek sehat diremehkan, perbedaan Cocok dan salah, Berkualitas dan Jelek, adil dan Bukan adil, Bukan digubris,” kata Rendra dalam pidato penerimaan penganugerahan gelar doktor honoris causa (HC) dalam bidang kebudayaaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, 17 tahun Lewat.
Ketika itu, Rendra menyampaikan pidato berjudul Megatruh Kambuh: Renungan Seorang Penyair dalam Menanggapi Kalabendu. Kata Mas Willy, panggilan akrab Rendra: “Kalabendu adalah Era yang mantap stabilitasnya, tetapi alat stabilitas itu adalah penindasan. Ketidakadilan malah didewakan. Penyair Ronggowarsito sudah mengingatkan bahwa bangsa Indonesia harus bersikap waspada menghadapi kalatida dan kalabendu.”
Rendra juga mengingatkan akan datangnya Era kalasuba Serempak ratu adil. Kalasuba adalah Era stabilitas dan kemakmuran. Tetapi, Rendra agak berbeda sikap dalam mengantisipasi datangnya era itu.
Kata dia, “Kalasuba Niscaya akan tiba karena dalam setiap chaos secara built in Eksis potensi Kepada Konsisten dan teratur. Tetapi, kestabilan itu belum tentu Berkualitas Kepada kelangsungan kedaulatan rakyat dan Insan yang menjadi unsur Krusial Kepada emansipasi kehidupan secara jasmani, rohani, sosial, intelektual, dan budaya.”
Dua isyarat dan peringatan itu mirip. Kendati amat susah Kepada menghubungkan ‘isyarat’ dan ‘tanda-tanda’ dengan Langkah berpikir ilmiah, setiap peringatan tetap Krusial Kepada direnungkan, dievaluasi, bahkan dijadikan rujukan eksekusi. Dua isyarat itu, Berkualitas dari sang Kolega maupun dari budayawan Rendra (almarhum), Dapat jadi panduan agar kita Bukan terpeleset, apalagi Terperosok dan tersungkur, menghadapi datangnya era yang membingungkan ini.
Siapa yang menyangka bahwa kesepakatan perdagangan bebas yang diserukan secara gegap gempita lewat WTO tiga Dasa warsa Lewat itu kini nyaris lenyap terbalik dalam kurun sekejap oleh ‘tiupan peluit’ seorang Donald Trump? Segala seperti tiba-tiba. Tetapi, ‘isyarat’ dan tanda-tanda sudah berkali-kali disampaikan.
Mungkin karena Berbagai Macam-macam ‘isyarat’ tentang bakal datangnya dunia yang jungkir balik itu kurang ilmiah, orang menganggapnya itu peringatan dari orang ngelindur. Tetapi, sebagaimana pernah diisyaratkan Jayabaya, sak beja-bejane wong sing lali, isih beja wong sing eling lan waspada: seberuntung-beruntungnya orang yang lupa, tetap Mujur orang yang terjaga dan waspada.

