Jurnalis bukan Pemasak Bangkai

PERS dan jurnalis terbukti belum Pandai hidup tenang di Tanah Air. Di Ketika menjelang Republik Indonesia berusia 80 tahun, Lagi Terdapat saja ancaman terhadap kehidupan pers. Bahkan, dalam waktu tiga hari, kantor redaksi Tempo dua kali mendapatkan kiriman bangkai hewan yang berbeda.

Paket pertama dikirim menggunakan jasa kurir yang memakai atribut aplikasi pengiriman barang. Paket itu berupa potongan kepala babi. Adapun paket kedua dilempar ke halaman kantor, berupa hewan tikus yang dicacah-cacah. Kedua paket itu Enggak melampirkan identitas, alamat, ataupun pesan dari pengirim. Hanya di pengiriman pertama, paket ditujukan kepada salah seorang wartawan yang juga host salah satu siniar di media itu.

Berbagai pihak yang berempati mengutuk keras aksi teror terhadap wartawan. Terkhusus dari masyarakat yang percaya bahwa kehidupan demokrasi memerlukan pers bebas. Kalau jurnalis yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers saja diancam, apalagi masyarakat awam.

Cek Artikel:  Menguji Nyali Erick

Selain masyarakat, dukungan juga mengalir dari sejumlah penyelenggara negara. Termasuk Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang memerintahkan Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Polri Komjen Wahyu Widada Buat menyelidiki teror ini. Secara Enggak langsung, pimpinan tertinggi lembaga Polri telah menunjukkan komitmen dengan menunjuk jenderal bintang tiga Buat menangani perkara ini. Tentunya, penunjukan itu akan memberi Dampak gentar terhadap pelaku teror Buat kembali beraksi di satu sisi, dan di sisi lain kepada aparat penyidik agar menangani kasus ini dengan serius.

Ironisnya, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan atau Presidential Communication Office alias PCO Hasan Nasbi Malah melontarkan pernyataan yang menjadi kontroversi karena menyarankan agar bangkai kepala babi yang dikirim itu Buat dimasak saja. Enggak hanya sekali, Hasan dua kali menyarankan agar bangkai tersebut dimasak saja.

Cek Artikel:  Prabowo-Gibran Andalkan Food Estate

Pada Sabtu (22/3), atau sehari kemudian, Hasan mengklarifikasi pernyataannya. Dia berdalih pernyataan itu karena Enggak Mau menyebar ketakutan yang menjadi Sasaran peneror. Akan tetapi, nuansa tersebut menunjukkan bahwa ancaman terhadap pers dan jurnalis ditanggapi dengan candaan. Teror dianggap lelucon.

Seyogianya dia sadar diri kalau sudah menjadi kepala kantor komunikasi kepresidenan. Dengan posisi itu, Hasan tentunya menjadi pembisik Presiden Prabowo Subianto mengenai kejadian dari luar Istana. Selain itu, Hasan juga yang kemudian menjadi pelantang Bunyi Buat menginformasikan kebijakan dari Istana ke publik. Ia Pandai dibilang sebagai gambaran dari Istana. Padahal, Presiden Prabowo tentunya Enggak mungkin memberikan saran yang sama. Apalagi Tiba memberikan pernyataan yang Enggak patut dan tanpa empati.

Ancaman terhadap jurnalis adalah Konkret. Sepanjang sejarah Republik, jurnalis sudah diterpa berbagai ancaman. Mulai dari verbal hingga yang menyebabkan hilangnya nyawa. Di era 1997-2010, Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) mencatat Terdapat sembilan rekan jurnalis yang tewas karena menjalankan tugas jurnalistik. Dan, tanpa perlu diajari oleh Hasan Nasbi, jurnalis Enggak akan kalah oleh teror. Apalagi bila teror dimaksudkan Buat memengaruhi prinsip jurnalistik dalam menjaga kesucian fakta.

Cek Artikel:  Angin Politik Goyang Beringin

Jurnalis akan Lanjut menjadi pengawas dari tiga pilar demokrasi lainnya, Ialah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Makanya, bagi masyarakat sipil, pers dipandang sebagai simbol demokrasi. Adapun bagi yang terganggu karena diawasi, Memperhatikan jurnalis sebagai pemasak bangkai.

Konstitusi menandaskan bahwa setiap Anggota negara berhak Buat bebas dari rasa takut, bebas dari ancaman, bebas dari segala bentuk pembungkaman. Kewajiban negara ialah memastikan bahwa Seluruh hak itu terpenuhi, bukan malah membuatnya sebagai bahan candaan yang sama sekali Enggak Menggemaskan.

 

Mungkin Anda Menyukai