SEBAGAI seorang kepala negara dan kepala pemerintahan, manakah yang Sepatutnya lebih didengar, Bunyi rakyat atau Bunyi relawan yang notabene ialah pendukung setianya ketika dahulu ia terpilih jadi presiden? Dalam teori atau rujukan mana pun tentang demokrasi, jawabannya Jernih: Bunyi rakyat yang harus didengar.
Selama jabatan sebagai presiden Tetap melekat, selama itu pula ia harus menjalankan tugasnya sebagai pengayom seluruh rakyat. Sungguh Bukan elok bila Presiden hanya mengayomi atau mendengar Bunyi pendukungnya. Apalagi kalau itu dipertontonkan tanpa malu-malu di hadapan seluruh rakyat.
Sayangnya, tindakan yang kian menjauh dari etika politik semacam itulah yang kini semakin kerap kita saksikan dilakukan oleh Presiden Joko Widodo. Demi Ingin ikut menentukan pengganti dirinya dalam percaturan Pemilihan Presiden 2024 mendatang, Presiden tak Tengah sekadar menghimpun dukungan dari partai politik koalisi pemerintah. Kini bahkan ia tak segan-segan menggalang relawan Kepada tujuan politik tersebut.
Kehadiran Presiden dalam kegiatan bertajuk Musyawarah Rakyat (Musra) yang, katanya, diinisiasi para relawan Jokowi, ialah bukti betapa hasrat dia Kepada terlibat dalam urusan Pemilihan Presiden 2024 sudah terlampau besar. Ia seakan Bukan Dapat menahan hasrat itu Tiba rela menanggalkan etika politik yang Sepatutnya Lalu ia pegang Kokoh.
Keterlibatan atau cawe-cawe Presiden tak Dapat Tengah ditutup-tutupi. Di acara Musra tersebut, Jokowi bahkan siap menjadi pembisik politik para relawan. Di hadapan relawan dan pendukungnya, ia mengaku akan memberikan bisikan kepada parpol-parpol terkait calon presiden yang direkomendasikan relawan, selanjutnya ia juga akan membisiki relawan perihal hasil bisikannya kepada parpol.
Kembali ke pertanyaan awal, patutkah Presiden menjadi tukang bisik hanya Kepada kepentingan sekelompok relawan? Bukankah sebaliknya, bisikan dari seluruh rakyatlah yang semestinya dia dengar dan akomodasi? Kalau ia hanya menjadi pembisik bagi relawan, sesungguhnya ia sedang mendegradasikan posisinya sebagai kepala negara.
Jokowi sepertinya juga lupa, dengan kedudukannya sebagai presiden, ia punya segenap sumber daya dan kekuatan negara. Kekuatan itu Sepatutnya dimaksimalkan Kepada menyelesaikan kompleksitas permasalahan bangsa yang Tiba hari ini, harus diakui, Tetap menggunung. Mulai isu-isu kerakyatan, ekonomi, hukum, hingga persoalan ketidakadilan sosial yang Tetap dirasakan sebagian masyarakat Indonesia.
Pendeknya, pekerjaan rumah Jokowi dalam kapasitasnya sebagai presiden yang masa jabatannya tinggal Sekeliling 1,5 tahun Tengah, Tetap sangat banyak. Harus Pusat perhatian Kepada Dapat menyelesaikannya. Tetapi, yang terjadi Malah sebaliknya, ia kerap menggunakan kekuatan dan sumber daya negara Kepada memobilisasi orang, menggalang koalisi demi tujuan politik Golongan, bukan Kepada menyelesaikan persoalan bangsa.
Kalau itu Lalu-menerus dilakukan, kiranya Bukan salah pendapat yang menyebut apa yang dilakukan Presiden itu sudah mengarah pada abuse of power. Tindakan seperti itu amat berpotensi merusak sistem ketatanegaraan sekaligus memundurkan demokrasi.