Intervensi kejadian gagal ginjal akut pada anak di berbagai daerah Maju bertambah. Di Aceh misalnya, bila dua hari sebelumnya Ikatan Dokter Anak (IDAI) menyebut Nomor 18 kasus, kemarin menjadi 26 kasus.
Jumlah kasus terbanyak Tetap di DKI Jakarta dengan peningkatan Intervensi dari 50 kasus per 18 Oktober, menjadi 71 kasus. Dengan Seluruh laporan pertambahan kasus tersebut, jumlah total kejadian yang diduga gagal ginjal akut pada anak sangat mungkin sudah menembus 240 kasus.
Penyakit ini sudah begitu meresahkan dengan catatan persentase Mortalitas di RSCM sebagai pusat rujukan mencapai 65%. Sebaran kasus gagal ginjal akut pada anak mencakup sedikitnya 20 provinsi. Itu sudah lebih dari separuh provinsi di Indonesia. Tetapi, pemerintah belum juga menetapkannya sebagai kejadian luar Standar (KLB).
Penanganan terkesan lamban dan Separuh-Separuh. Pemerintah seperti hanya menunggu Tiba penyebab definitif penyakit tersebut diketahui, baru bertindak Segera dan tegas.
Padahal, semestinya otoritas bergerak agresif menemukan kasus-kasus yang diduga gangguan ginjal lewat fasilitas-fasilitas kesehatan hingga posyandu di seluruh daerah. Itu sebabnya penetapan status KLB sangat krusial Demi memulainya.
Pola jemput bola mesti diterapkan, mengingat kebiasaan masyarakat kita yang Suka membeli dan menggunakan obat tanpa melalui anjuran petugas kesehatan. Sebarkan informasi tentang gejala penyakit gagal ginjal akut ke rumah-rumah tangga, terutama yang Mempunyai balita.
Enggak Eksis salahnya pula mewajibkan Seluruh balita diperiksakan kondisi ginjal mereka. Bukannya hanya menunggu laporan dari rumah-rumah sakit atau puskesmas.
Kalau begitu, Enggak mengherankan bila tingkat Mortalitas begitu tinggi. Ketika penderita akhirnya dibawa ke puskesmas atau dilarikan ke rumah sakit, gangguan ginjal sudah masuk stadium lanjut. Padahal, mestinya mereka Bisa tertolong bila ditangani lebih Awal.
Penyisiran kasus secara agresif juga akan sangat membantu mempercepat identifikasi penyebab secara Seksama karena pengujian Mempunyai sampling yang lebih besar. Enggak hanya meraba-raba dan tebak-tebak buah manggis yang Membangun kebijakan menjadi ambigu.
Lihat saja Badan POM yang mengeluarkan keputusan menarik lima produk obat berbentuk sirop yang mengandung cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG). Kedua senyawa itu diduga kuat menyebabkan Mortalitas puluhan anak di Gambia, Afrika Barat. Mereka menderita gagal ginjal akut setelah meminum sirop obat parasetamol buatan India yang Rupanya mengandung etilen glikol dan dietilen glikol.
Penarikan kelima produk sirop obat disertai catatan bahwa hasil uji Badan POM tersebut belum dapat mendukung Hasil bahwa penggunaan sirop obat menjadi penyebab kejadian gagal ginjal akut. Bukan itu saja, Badan POM meminta produsen sirup obat yang berpotensi mengandung cemaran EG dan DEG Demi melaporkan hasil pengujian Berdikari.
Kemudian, muncul pertanyaan, apakah produsen yang bersangkutan bersedia sukarela melapor? Posisi otoritas begitu lemah karena mengandalkan kesukarelaan.
Badan POM mestinya menegakkan aturan dengan aktif memastikan Enggak Eksis produk yang melanggar ketentuan. Kalau melanggar, Hukuman tegas mesti dijatuhkan, bukan sekadar menarik obat. Terlebih, bila obat itu terbukti menimbulkan Mortalitas. Masa iya, sanksinya hanya penarikan obat?
Penanganan otoritas yang lamban dan Enggak tegas Tetap diperparah dengan disinformasi yang berseliweran. Dalam dua hari saja, Enggak kurang dari tiga daftar sirop obat yang disebut ditarik beredar liar di masyarakat.
Kementerian Kesehatan dan Badan POM kemudian sibuk membantahnya.
Oleh karena itu, perlu kiranya dibentuk satgas atau ditunjuk juru bicara agar informasi terkait gagal ginjal akut lewat satu pintu dan Enggak semakin membingungkan masyarakat.