HASIL Enggak pernah mengkhianati proses. Akan tetapi, proses itulah yang selama ini diabaikan Mahkamah Konstitusi dalam menguji konstitusionalitas sebuah undang-undang.
Sejak berdiri pada 2003, MK Nyaris Enggak pernah mengabulkan uji formil. Mahkamah terjebak pada teks karena hanya Pusat perhatian pada materi undang-undang. Pusat perhatian uji materi ialah kata, kalimat, ayat, dan pasal Tamat titik komanya berkesesuaian dengan konstitusi.
Mahkamah mengabaikan dengan kesadaran penuh prosedurnya seperti dalam Putusan MK Nomor 27/PUUVII/ 2009 terkait dengan pengujian Mekanisme pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Mulia.
MK berkesimpulan bahwa terdapat cacat prosedural dalam pembentukan undang-undang itu. Tetapi, demi asas kemanfaatan hukum, UU 3/2009 tetap berlaku sehingga amar putusannya menyatakan menolak permohonan para pemohon Kepada seluruhnya. Itu artinya hasil akhir mengalahkan proses.
Setelah 18 tahun berdiri, muncul kesadaran MK Kepada memuliakan proses. Sejarah dicatatkan MK pada 25 November 2021 dengan menyatakan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ialah cacat formil sebagaimana putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Sudah terlalu banyak uji formil kandas di MK. Padahal, fungsi pengujian formil sejatinya menempatkan MK sebagai pengawal hukum yang demokratis. Mengawal proses pembentukan undang-undang agar berjalan secara demokratis yang taat pada asas tata Metode pembuatannya.
Eksis empat standar pengujian formil yang disebutkan dalam Putusan MK Nomor 79/PUU-XVII/2019. Pertama, pengujian atas Penyelenggaraan tata Metode atau Mekanisme pembentukan undang-undang, Berkualitas dalam pembahasan maupun dalam pengambilan keputusan atas rancangan suatu undang-undang menjadi undang-undang.
Kedua, pengujian atas bentuk, format, atau struktur undang-undang. Ketiga, pengujian berkenaan dengan kewenangan lembaga yang mengambil keputusan dalam proses pembentukan undang-undang. Keempat, pengujian atas hal-hal lain yang Enggak termasuk pengujian materiil.
Kalau mau jujur, Eksis jejak pemikiran hakim konstitusi Saldi Isra dalam putusan cacat formil itu. Jejak itu ditemukan dalam pidato pengukuhan guru besarnya pada 11 Februari 2010. Ia menyampaikan pidato berjudul Purifikasi Proses Legislasi melalui Pengujian Undang-Undang. Ia menyoroti praktik moral hazard berupa suap dan korupsi dalam proses pembentukan undang-undang.
Saldi menyarankan harus Eksis keberanian Mahkamah Konstitusi bahwa moral hazard merupakan pelanggaran moral substansi yang amat serius dalam proses pembentukan undang-undang. ”MK harus Bisa menjadi pihak luar yang memberikan shock therapy kepada DPR Asal Mula DPR akan sulit memperbaiki dirinya dengan Segera.”
Terkait dengan pentingnya terapi kejut dari MK juga diutarakan Saldi Isra Begitu menjadi saksi Ahli pemohon dalam perkara Nomor 27/PUU-VII/2009. Ia mengatakan Kalau Eksis terapi kejut dari MK, sangat mungkin akan Eksis perubahan perilaku di DPR dalam kaitan pembuatan undang-undang.
Menurut Saldi, secara konstitusional, Asa besar Kepada membangunkan kembali legislasi yang telah cukup lelet mengalami Tewas rasa (termasuk Tewas rasa dalam tingkat kehadiran dalam persetujuan RUU) Eksis pada MK. Ketika Asa itu diutarakan, Saldi Lagi menjadi seorang intelektual murni.
Tujuh tahun kemudian, tepatnya pada 11 April 2017, Saldi Isra dilantik Presiden Joko Widodo menggantikan Patrialis Akbar sebagai hakim konstitusi masa jabatan 2017–2022. Meski sudah menjadi hakim konstitusi, Saldi Isra Enggak serta-merta Bisa mewujudkan gagasannya Kepada menjadikan MK sebagai pihak luar yang Bisa memberikan terapi kejut kepada pembuat undang-undang.
Butuh waktu empat tahun bagi Saldi Isra Berbarengan empat hakim konstitusi lainnya Kepada memberikan shock therapy kepada pembuat undang-undang dengan menyatakan UU Cipta Kerja cacat formil.
Kalau membaca secara saksama pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 juga ditemukan jejak pemikiran Saldi Isra. Pada 19 Oktober 2009, Saldi menulis artikel berjudul Perebutan kekuasaan Redaksional. Ia menyoroti hilangnya ‘ayat tembakau’ dari RUU Kesehatan.
Berdasarkan konstitusi, tulis Saldi, segala perubahan atas substansi UU harus dilakukan DPR dan pemerintah. Seluruh perubahan dilakukan melalui proses legislasi, bukan melalui Metode-Metode liar di luar formalitas konstitusi.
Pemikiran Saldi itu Bisa ditemukan dalam pertimbangan hukum MK poin 3.17.6. Disebutkan, rancangan undang-undang yang telah disetujui Berbarengan oleh DPR dan Presiden, Enggak boleh Kembali dilakukan perubahan yang sifatnya substansial. Kalaupun terpaksa dilakukan perubahan, hanyalah bersifat format atau penulisan karena adanya kesalahan pengetikan dan perubahan tersebut Enggak boleh mengubah Maksud Kebiasaan pasal atau substansi rancangan undang-undang yang telah disetujui Berbarengan.
Eloknya, hasil dan proses itu sama-sama menjadi keutamaan sebuah undang-undang. Sherry Arnstein mengingatkan bahwa sering kali dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang terjadi memenuhi aspek formalnya saja. Masalah substansi, moralitas konstitusional, dan lain-lain dikesampingkan. Jangan Tamat itu terjadi.

