PEMILU ialah bentuk pengejawantahan hak rakyat dalam sebuah negara demokrasi Demi turut serta dalam kehidupan politik dan pemerintahan. Pemilu, termasuk di dalamnya pemilihan kepala daerah (pilkada), ialah kesempatan Demi mewujudkan Maksud demos dan kartos atau pemerintahan rakyat. Pemilu merupakan pintu masuk bagi jalannya pemerintahan yang akan memimpin selama kurun waktu tertentu. Salah satu fungsi pemilu ialah memberikan legitimasi kepada yang terpilih Demi berkuasa dalam membangun kebijakan yang terbaik bagi rakyat.
Di sisi lain, pemilu merupakan ajang koreksi terhadap kekuasaan. Rakyat Mempunyai legitimasi Demi pada akhirnya melakukan kontrol pada jalannya kekuasaan. Cerminan kontrol itu salah satunya ialah ‘menghukum’ penguasa dengan Enggak memilihnya Tengah karena dianggap gagal (Wojtasik, 2013: 31).
Dengan demikian, itulah saatnya bagi rakyat Demi berpartisipasi menggunakan hak demokratik mereka, dalam hal ini hak pilih mereka, secara hati-hati dan rasional karena pilkada merupakan kesempatan besar Demi memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada mereka yang layak guna menyempurnakan Penyelenggaraan amanat penderitaan rakyat yang belum selesai.
Pilihan Terdapat di tangan rakyat
Dengan sudut pandang itu, adalah sebuah kesia-siaan Apabila dalam momen pilkada rakyat Enggak memanfaatkan sebagai momentum Demi menguubah segalanya menjadi lebih Berkualitas. Rakyat harus memanfaatkan waktu Demi menelaah siapa sebenarnya para kandidat dengan saksama Demi pada akhirnya menjatuhkan pilihan rasional mereka.
Di sini diperlukan setidaknya beberapa hal. Pertama, membuka akses informasi yang luas bagi rakyat Demi mengetahui kandidat dan Berbagai Ragam alternatif kebijakannya. Dari terbukanya akses itu, diharapkan rakyat dapat memahami mana pilihan yang terbaik, yang dari situ mereka akan menjadi pemilih yang cerdas dengan memberikan hak demokratik mereka kepada kandidat yang Betul. Dengan demikian, pemberian akses yang seluas-luasnya merupakan salah satu kunci bagi penguatan pilihan rakyat agar dapat berperan sebagai pemilih yang cerdas dan demokratik.
Menurut Institute for Democracy and Electoral Assitence (IDEA) dalam kajiannya berjudul International Obligations for Eelctions, Guidelines for Absah Frameworks (2014: 48), persoalan transparansi dan hak mendapatkan informasi menjadi salah satu poin Krusial dalam Penyelenggaraan pemilu yang demokratis.
Kedua, hal yang Enggak kalah pentingnya ialah pemilu harus didesain sebagai momentum pendidikan politik bagi rakyat. Dengan adanya kontestasi politik yang kompetitif serta berkualitas, pada dasarnya rakyat akan teredukasi dengan Berkualitas. Di sini pemilu pada akhirnya harus merupakan ‘ajang pertempuran’ bagi alternatif pilihan kebijakan Demi rakyat. Bukan pilihan-pilihan yang sejatinya sama saja tanpa Maksud. Pilkada merupakan momen memberikan kesempatan kepada rakyat Demi Mempunyai pilihan alternatif program atau figur-figur calon pemimpin yang terbaik bagi mereka sebagai jembatan emas kehidupan yang lebih Berkualitas.
Melalui pilkada, masyarakat diharapkan akan sadar tentang setidaknya kondisi yang terjadi. Apakah misalnya memang Daerah mereka telah cukup makmur dan berkeadilan atau Tetap jauh dari itu Sekalian. Adanya kampanye dalam pemilu sedikit banyak tentu saja menginformasikan tentang hal-hal apa yang sudah Berkualitas atau Tetap menjadi problem di Daerah mereka. Hal itu dapat memicu sikap Acuh dengan situasi dan perkembangan di Daerah mereka. Dengan atmosfer seperti itu, Cita-cita akan munculnya pilihan yang cerdas akan lebih terbuka lebar sehingga para kandidat yang hanya Dapat Berbicara-kata, tetapi Enggak bekerja, buat mereka Enggak Tengah terpilih.
Ketiga, kesadaran politik dari masyarakat itu sendiri Demi tetap pada pilihan yang Rasional dan rasional. Sudah sepatutnya pemilih Menyantap pilkada sebagai momentum yang Krusial yang akan terkait dengan nasib diri dan keluarga mereka dalam berbagai aspek kehidupan. Masyarakat harus Mempunyai kesadaran yang kuat akan hal itu agar Enggak Maju-menerus menjadi korban manipulasi politik, termasuk politik Dana, atau pencitraan dengan berbagai Ragam bentuknya. Pemilih harus cerdas dan bertanggung jawab atas pilihan mereka. Eksperimentasi pilkada yang sudah berkali-kali diharapkan akan membawa banyak pelajaran bagi mereka.
Kesalahan memilih seorang pemimpin dapat berdampak fatal hingga beberapa tahun ke depan. Sebaliknya, ketepatan dalam memilih memimpin Dapat memudahkan sebagian beban hidup pada masa-masa datang. Pilkada ialah ajang membuka halaman baru Demi kehidupan yang lebih Berkualitas sebagai seorang Member masyarakat. Rakyat harus sadar bahwa mereka sejatinya ialah penentu akhir dari cerita sebuah Penyelenggaraan pilkada yang akan akhirnya menentukan nasib diri mereka.
Oleh karenanya, para aktor politik, termasuk parpol, harus menjadikan pilkada sebagai ajang kontestasi yang berkaitan erat dengan peningkatan kualitas pemahaman politik, demokrasi, dan kualitas kehidupan rakyat. Bukan dengan Bahkan menyia-nyiakan momen tersebut dengan menjadikannya sekadar sebagai pemenuhan hasrat berkuasa atau sekadar sebagai implementasi ‘politik kartel’ dan model kampanye yang bersifat ‘sosialisasi satu arah’ yang Enggak mencerahkan dan bahkan penuh kecurangan. Sebuah situasi yang Bahkan dapat meluaskan sikap skeptis terhadap praktik politik pada masa yang akan datang.
Kehadiran kotak Hampa
Salah satu bentuk penyia-nyian demokrasi dalam pilkada yang Maju terulang, dan karenanya perlu diantisipasi, ialah hadirnya fenomena kotak Hampa. Di sini bahkan masyarakat sudah diamputasi sejak Awal hak demokrasi mereka, terutama Demi mendapatkan alternatif pemimpin atau kebijakan. Demokrasi yang sejatinya memberikan Kesempatan besar bagi rakyat mendapatkan keragaman pilihan Bahkan dibajak oleh segelintir elite Demi dimampatkan pada pilihan-pilihan monolitik tanpa Maksud.
Kehadiran kotak Hampa itu sendiri disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, rendahnya militansi parpol berkontestasi dalam momen elektoral di wilayahnya juga memberikan andil. Militansi itu erat kaitannya dengan kaderisasi yang Sebaiknya melahirkan kader-kader ideologis yang rela berjibaku. Itu termasuk dalam rangka meluaskan dukungan dengan memperkenalkan diri dan partai beserta manifesto politik mereka secara intens ke seluruh pelosok Daerah kerja mereka. Ketidakberhasilan mencetak kader yang Ahli dan Terkenal menyebabkan pada akhirnya partai Enggak Mempunyai kepercayaan diri Demi memajukan kader mereka sendiri.
Kedua, Pusat perhatian partai yang tampak lebih mengutamakan soal konsolidasi, Berkualitas internal partai maupun eksternal dalam rangka membangun jaringan politik dan kedekatan dengan berbagai pihak, telah menyebabkan upaya membangun agenda, program, atau manifesto partai Demi pembangunan daerah menjadi terabaikan. Partai akhirnya lebih sekadar menjadi sebagai mesin politik yang siap Guna dalam momen pemilu. Sementara itu, kegiatan yang bersifat membangun ide-ide besar atau visi tentang akan ke mana sebuah daerah dan pemerintahannya ke depan menjadi sekadar pembicaraan.
Akibatnya, partai-partai menjadi miskin ide, narasi, dan konsep. Dengan situasi ‘kemiskinan’ itu, partai menjadi rabun atas berbagai persoalan yang Terdapat. Juga kurang bergairah memperjuangkan sesuatu yang dianggap ideal berdasarkan paradigma dan idealisme yang diyakini mereka. Sulit rasanya Apabila sebuah partai mau berkontestasi dengan Radikal Apabila idealisme tentang mau kebmana perkembangan sebuah Daerah itu Enggak dimiliki. Akibatnya, Apabila Terdapat kandidat yang Normal-Normal saja, tetapi Terkenal, partai pun cenderung mudah saja Demi mendukungnya.
Ketiga, pilkada yang semakin mahal juga menyebabkan kendala tersendiri yang akhirnya turut membatasi kemunculan seorang kandidat Demi berkontestasi. Spesifik bagi calon-calon perseorangan, hal itu menyebabkan mereka Betul-Betul harus berpikir ulang, apalagi kondisi masyarakat yang juga semakin pragmatis dan permisif terhadap money politics yang menyebabkan kontestasi menjadi semakin mahal.
Sementara itu, bagi partai-partai, Dalih itu menjadi pendorong mereka berpikir ulang Demi berkontestasi, apalagi Kesempatan kemenangan Tetap belum cukup besar. Ketimbang memperjuangkan sesuatu yang mahal dengan hasil belum yang Terang, mereka tergoda Demi ikut gerbang besar yang memungkinkan mereka mendapat ciptaran kekuasaan dengan biaya relatif rendah.
Keempat, hal lainnya secara Rasional memang Terdapat kandidat kepala daerah yang berprestasi dan demikian Terkenal. Karena itu, secara logis Enggak saja sulit dilawan, tetapi Dapat jadi partai merasa memang Enggak Terdapat pengganti yang sama mumpuninya Demi melanjutkan program-program yang sudah sangat Berkualitas.
Kelima, Elemen kepentingan koalisi partai-partai di level nasional akhirnya juga turut berperan. Kalkulasi politik koalisi yang diejawantahkan pada bentuk perintah kepada kader mematuhi kesepakatan koalisi, berpotensi turut berperan dalam menentukan arah dukungan. Hal yang pada kasus-kasus tertentu menciptakan sebuah koalisi gemuk di belakang seorang kandidat calon kepala daerah saja.
Fenomena kotak Hampa sejatinya merupakan hal yang Enggak membanggakan dari sisi demokrasi. Bahkan, itu dipandang sebagai sesuatu kemunduran Apabila sebuah negara sudah menyatakan diri sebagai negara demokrasi. Di situlah masyarakat diharapkan dapat menjadi pemilih yang cerdas. Pemilih yang dapat mengedepankan rasionalitas dan nurani dalam menilai, apakah pilihan kandidat yang diusung oleh sebuah koalisi besar partai memang sejalan dengan aspirasi dan kepentingan mereka.
Mudah-mudahan pada masa-masa datang, ketika lingkungan politik bangsa semakin sehat, fenomena kotak Hampa sebagai bentuk penyia-nyian demokrasi akan semakin memudar dan kedaulatan rakyat akan semakin kukuh Tengah berkibar.