Jangan Remehkan Kasus Bunuh Diri

ADA fenomena mencemaskan, amat mencemaskan, di negeri ini. Bukan cuma terkait dengan masa depan demokrasi, hal mencemaskan itu juga bertautan dengan kelangsungan hidup anak-anak bangsa.

Hidup sebagian rakyat kita sedang dihimpit tekanan, tengah menghadapi ancaman. Saking beratnya tekanan dan ancaman, tidak sedikit dari mereka yang angkat tangan, menyerah, lalu melakukan tindakan yang semestinya tidak dilakukan. Tindakan itu ialah bunuh diri, mengakhiri hidupnya sendiri.

Bunuh diri ialah titik kulminasi dari rasa frustrasi. Mereka yang bunuh diri merasa tidak ada gunanya lagi hidup. Mereka putus harapan, tidak punya lagi asa. Mereka memilih menanggalkan beratnya beban dengan cara yang salah, cara yang dilarang oleh agama.

Itulah yang belakangan memperlihatkan tren kenaikan di negara ini. Berdasarkan data Pusat Informasi Kriminal Nasional Polri, sejak 1 Januari hingga 15 Desember 2023, angka bunuh diri mencapai 1.226 jiwa. Jumlah itu naik dari 902 orang sepanjang 2022. Pada 2021, kasus bunuh diri melibatkan 629 jiwa, dan 2020 sebanyak 640 orang.

Cek Artikel:  Adu Gagasan, Bukan Adu Singkatan

Pusingkatan kasus bunuh diri tahun ini jelas masalah serius, sangat serius. Ia ialah penegasan bahwa ada persoalan luar biasa yang dihadapi rakyat Indonesia.

Betul bahwa banyak penyebab yang melatari seseorang nekat bunuh diri. Unsur lingkungan, keluarga, dan personal yang bermuara pada stres berlebihan dan depresi bisa menjadi pemicu. Latar belakang pelaku bunuh diri juga beragam, mulai anak SD, mahasiswa, ibu-ibu, hingga bapak rumah tangga.

Bunuh diri memang masalah personal, tetapi kenapa seseorang bisa berlaku senekat itu ialah tanggung jawab sosial. Menjadi tugas semua pihak untuk mencegah orang bunuh diri. Keluarga, misalnya, punya kewajiban memastikan seluruh anggotanya bebas dari tekanan apa pun. Lingkungan, umpamanya, pantang abai terhadap masalah yang menimpa orang-orang di sekitarnya.

Cek Artikel:  Petaka Kegagalan Insinyur Negara

Berobat ke psikolog atau ahli jiwa ketika tekanan mental dirasa terlalu berat merupakan kiat agar seseorang mengurungkan niat bunuh diri. Kepedulian teman, kerabat, dan lingkungan ialah vitamin penguat untuk mencegah orang lain mengakhiri hidup.

Bunuh diri juga tanggung jawab negara, apalagi ketika pemicunya terkait dengan persoalan ekonomi, terlilit utang, dan semacamnya. Bukan sedikit anak bangsa yang bunuh diri karena hidup dalam kekurangan yang amat sangat. Seorang ayah di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, amsalnya. Pada November lalu, dia mencoba bunuh diri dengan menusuk perutnya karena tak sanggup lagi membeli beras untuk makan keluarganya.

Unsur ekonomi diduga juga menjadi motif satu keluarga di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Seorang guru SD, sang istri, 1 orang anak meninggal, dan 1 anak lagi harus hidup sebatang kara dalam peristiwa tragis ini. Mereka disebut mengakhiri hidup karena terlilit utang, terhimpit beban ekonomi yang tiada tara beratnya.

Cek Artikel:  Petaka Harga Pangan Nihil Jawaban

Sulit dipahami, di negeri yang katanya sedang menapaki tangga sebagai negara maju ini masih ada rakyat yang hidup teramat papa hingga memilih mati. Sulit dimengerti, ketika negara gencar membangun proyek-mercusuar, ternyata masih ada rakyat yang untuk sekadar hidup normal pun tidak lagi kuasa.

Kita khawatir, banyaknya kasus bunuh diri hanyalah fenomena gunung es. Kita cemas, angka bunuh diri sejatinya lebih banyak lagi. Kita takut, kesulitan hidup yang dihadapi rakyat ternyata jauh lebih parah daripada yang diperkirakan.

Tren kenaikan kasus bunuh diri bukanlah persoalan biasa. Kita juga perlu bertanya, di mana negara ketika rakyatnya makin banyak yang tak sanggup hidup dan memilih mati?

Mungkin Anda Menyukai