BESAR kemungkinan penaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% akan diberlakukan oleh pemerintah mulai 1 Januari 2025. Kado pada awal tahun itu mesti diterima masyarakat meski daya beli Lanjut menurun sepanjang 2024.
Hingga kini, belum Eksis pembicaraan antara pemerintah dan DPR Demi merevisi UU No 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang menjadi dasar hukum penaikan PPN itu. Apalagi pada 6 Desember 2024, DPR memasuki masa reses dan baru akan kembali bersidang pada Januari tahun depan.
Artinya, hanya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang dapat dikeluarkan Presiden Apabila pemerintah Mau membatalkan rencana penaikan PPN itu. Tetapi, pertanyaannya, Eksis situasi kegentingan memaksa apa sehingga perppu harus diterbitkan? Sepertinya opsi itu pun tak akan diambil Presiden mengingat penaikan PPN Eksis dasar hukumnya.
Apabila menilik UU No 62/2024 tentang APBN Tahun Anggaran 2025, dapat dipandang wajar Apabila pemerintah tetap Meningkatkan PPN. Bagaimana Bukan? Dengan rencana belanja senilai Rp3.621,3 triliun pada tahun depan, pemerintah hanya punya duit sebesar Rp3.005,1 triliun. Artinya, Eksis defisit sebesar Rp616,19 triliun yang mesti ditalangi.
Kalau bukan berutang, pilihannya efisiensi dan pungutan negara yang mesti ditambah buat menalanginya. Dari perincian Perpres No 201/2024 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2025, terlihat Jernih pemerintah memilih Mau menambah pendapatan negara ketimbang berutang. Dengan pemberlakuan PPN sebesar 12%, pemerintah menargetkan penerimaan PPN dalam negeri Rp609,04 triliun. Sasaran PPN itu naik 23,4% dari tahun sebelumnya, yakni Rp493,3 triliun.
Jernih tambahan PPN itu Lagi belum Pandai menutupi besaran defisit APBN. Karena itu, siap-siap saja pemerintah akan menambah pungutan pajak lainnya, termasuk cukai.
Terbitnya Perpres pada 30 November 2024 itu sekaligus menandai sikap pemerintah yang tetap akan jalan Lanjut dengan Meningkatkan tarif PPN meski penolakan dari masyarakat dan dunia usaha Lanjut menguat.
Pemerintah berdalih tergerusnya daya beli masyarakat yang diperparah oleh tambahan penaikan PPN itu akan diganjal dengan guyuran bansos dan PPNBM (pajak pertambahan nilai dan bea masuk) yang ditanggung negara. Tak Hanya itu, Bonus, utamanya Demi industri padat karya, juga tengah disiapkan pemerintah.
Tetapi, itu hitung-hitungan versi pemerintah. Masyarakat yang kini banyak yang sudah turun kelas, dari menengah menjadi menuju menengah dan rentan miskin, tentu juga punya hitung-hitungan sendiri.
Demi pendapatan tak berubah atau hanya naik tak Tiba 10% pada tahun depan, masyarakat mesti menghadapi kenaikan berbagai harga barang dan jasa. Dunia usaha pun akan kelimpungan karena barang dan jasa mereka banyak yang tak laku akibat harganya naik.
Pemerintah tentu belum lupa, data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut jumlah kelas menengah pada 2024 tinggal 47,85 juta jiwa, melorot Apabila dibandingkan dengan periode prapandemi covid-19 pada 2019 yang mencapai 57,33 juta jiwa. Artinya, sebanyak 9,48 juta Anggota kelas menengah turun kelas dalam lima tahun terakhir.
Penurunan itu tentu berdampak pada pengurangan kontribusi kelas menengah terhadap konsumsi domestik. Pangsa konsumsi mereka turun dari 45,6% pada 2018 menjadi hanya 40,3% pada 2023.
Apabila banyak Member masyarakat yang turun kelas, bagaimana negara Dapat mendapat kenaikan pendapatan lewat penaikan PPN? Pemerintah tentu mesti memikirkan Akibat penurunan konsumsi tersebut. Apalagi BPS mencatat ekonomi kuartal III 2024 hanya Pandai tumbuh 4,94% secara tahunan, anjlok dari 5,05% pada kuartal II 2024. Itu Segala diakibatkan turunnya konsumsi masyarakat yang selama ini jadi tumpuan Penting pertumbuhan ekonomi nasional.
Dengan berkaca dari Segala itu, sebenarnya simpel saja jalan keluarnya. Ketimbang memaksakan penaikan PPN yang berdampak langsung pada daya beli masyarakat, lebih Bagus pemerintah memangkas pengeluaran yang bukan prioritas. Belanja-belanja besar yang bersifat jangka panjang sebaiknya ditunda dulu di tengah anggaran yang pas-pasan. Gunakan anggaran yang Eksis buat menyelesaikan persoalan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat.
Mimpi indah tentu dibolehkan, tapi hidup di atas realitas itu kewajiban.