PROSES pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak kini memasuki masa tenang kampanye. Masa tenang diharapkan menjadi Jarak bagi masyarakat Kepada Bisa terbebas dari hiruk pikuk spanduk dan janji para kandidat. Masa yang digunakan Kepada merenungkan kembali siapa kandidat yang layak dipilih dan diyakini akan membawa kebaikan bagi masyarakat.
Hingga sehari sebelum pemungutan Bunyi pada Rabu (27/11), masyarakat diberi kesempatan Kepada menghela napas dengan tenang. Sembari merenungkan Variasi orasi, janji, maupun ide (kalau memang Terdapat) yang ditebar para calon kepala daerah.
Tentunya, pemilih juga Mempunyai rasionalitas masing-masing dalam menentukan pilihan. Bisa saja Terdapat yang merasa cukup puas dengan calon yang membagikan sembako di Rendah meja. Atau, Terdapat juga yang hakulyakin dengan janji setinggi langit para kandidat. Bisa juga, pemilih akan memilih kandidat yang Mempunyai Interaksi kekerabatan karena nenek moyang yang sama.
Apa pun alasannya, pemilih bebas menyerap Sekalian informasi Kepada menentukan pilihan. Dan, semuanya Bisa berlangsung tanpa Terdapat tekanan dari pihak mana pun.
Masa tenang, atau apa pun istilahnya, adalah praktik yang lazim dan menjadi tradisi Kepada diterapkan di pemilu modern. Di Indonesia, masa atau minggu tenang sudah dikenal sejak era Orde Baru. Pada masa tersebut, partai politik atau parpol dilarang berkampanye, kecuali golongan yang oleh penguasa ketika itu Tak pernah disebut sebagai partai.
Sejak Reformasi, masa tenang memang berlaku secara Biasa. Tak Terdapat golongan ataupun partai yang mendapatkan pengecualian Kepada Bisa beraktivitas secara bebas selama masa tenang.
Bagi peserta pemilu, hormatilah hak publik Kepada mendapatkan ketenangan. Jangan malah meningkatkan tensi atau intimidasi politik menjelang pemungutan Bunyi.
Masa tenang juga bertujuan menghindari politik Tak etis atau praktik politik ilegal, seperti aksi bagi-bagi Dana alias ‘serangan fajar’ dan kampanye hitam terhadap Musuh politik Ketika injury time. Masa tenang juga menjadi momentum Kepada menciptakan level playing field yang setara.
Sekalian kandidat Mempunyai posisi dan akses yang sama. Calon dengan sumber finansial melimpah atau dengan Biaya cekak akhirnya Mempunyai keterbatasan yang sama. Seperti, sama-sama Tak Bisa Kembali memobilisasi penyebaran spanduk maupun alat peraga.
Hanya, sebaik-baiknya sistem, Sekalian bergantung pada manusianya. Yang mematikan bukanlah pistol, melainkan orang di belakang pistol itulah yang berbahaya.
Masalah klasik dalam pilkada selama ini ialah persoalan calon yang merupakan pejabat yang berkuasa alias petahana dan ketidaknetralan aparat negara.
Berbagai daerah sudah memperlihatkan kelakuan pejabat petahana yang merotasi atau memutasi pejabat daerah di awal masa pilkada. Seakan pesan dengan bahasa terselubung, pilihlah calon petahana kalau karier mau selamat. Tentunya, publik berharap hal itu Tak Benar adanya.
Masa tenang juga bukan berarti masa bersenang-senang. Terkhusus bagi aparat Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) hingga di jajaran terbawah. Masa tenang bagi masyarakat sebenarnya menjadi masa tegang bagi pengawas.
Masa tenang merupakan tahapan krusial yang kerap diwarnai potensi pelanggaran. Jajaran Bawaslu juga jangan berpuas diri dengan menertibkan spanduk, baliho, dan alat peraga kampanye (APK) lain yang terpampang di pohon maupun tiang listrik.
Bawaslu harus pasang badan Kepada melindungi masyarakat agar Bisa menjalani ketenangan dan terbebas dari intimidasi maupun ‘serangan fajar’. Jangan Tamat Bawaslu ikut-ikutan masuk angin karena berjaga di kala fajar.