RAPAT dengar pendapat Lumrah Komite Tindak Pidana Pencucian Fulus (TPPU) dengan Komisi III DPR RI di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, kemarin, menyuguhkan tontonan menarik sekaligus menyedihkan. Rapat yang membahas Rahasia transaksi janggal senilai Rp349 triliun di Kementerian Keuangan itu menampilkan Variasi adegan, seperti adu tegang, hujan interupsi, tudingan markus (makelar kasus), debat kerahasiaan laporan, hingga tudingan politis.
Menarik karena rapat yang menghadirkan Ketua Komite TPPU yang juga Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana itu menampilkan sejumlah fakta baru. Sebut saja perbedaan keterangan yang mencolok antara Mahfud MD dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Mahfud membantah pernyataan Sri Mulyani di Komisi XI DPR sebelumnya yang menyebutkan transaksi mencurigakan di Kemenkeu sebesar Rp3 triliun. Yang Benar, kata Mahfud, nilainya mencapai Rp35 triliun. Beda jauh, sangat jauh.
Tak hanya itu, Mahfud juga membeberkan transaksi keuangan mencurigakan terkait kewenangan pegawai Kemenkeu sebagai penyidik tindak pidana asal dan TPPU sebesar Rp261 triliun. Mahfud mengungkapkan sebanyak 491 aparatur sipil negara Kemenkeu terlibat dalam serangkaian transaksi janggal tersebut.
Transaksi mencurigakan itu terjadi di Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak serta Ditjen Bea dan Cukai. Dia juga membeberkan dugaan praktik TPPU di Ditjen Bea dan Cukai senilai Rp189 triliun terkait dengan impor emas batangan ke Indonesia.
Rapat Komite TPPU dengan Komisi III DPR itu sesungguhnya menyedihkan karena menunjukkan politik Tetap menjadi panglima. Hal inilah yang Membangun penegakan hukum Tetap compang-camping, equality before the law Tetap dipinggirkan, Bukan tegak lurus sebagai negara yang berdasarkan hukum (rechtstaat).
Selain itu, kasus transaksi janggal senilai Rp349 triliun di Kemenkeu sudah menciptakan kegaduhan di masyarakat tanpa proses hukum yang Jernih dan Niscaya.
Berlama-lamanya proses penegakan hukum terhadap transaksi mencurigakan itu menunjukkan kerapuhan soliditas di kabinet pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin, khususnya antara Menko Polhukam Mahfud dan Menkeu Sri Mulyani Indrawati. Meski sama-sama bersumber dari laporan PPATK, pernyataan Mahfud MD dan Sri Mulyani berbeda satu sama lain sehingga membingungkan publik.
Hal ini tentu saja bukan hanya tontonan tak elok bagi sesama penyelenggara negara, tetapi juga tak patut di mata rakyat. Sepatutnya, Mahfud MD, Sri Mulyani, dan Ivan Yustiavandana, didampingi penegak hukum, duduk Serempak Kepada menyamakan pandangan tentang laporan PPATK periode 2009-2023. Semestinya, para pejabat Bukan perlu banyak berpolemik, tetapi bertindak Konkret Kepada menyelamatkan Fulus negara.
Rakyat tak perlu Nomor-Nomor yang fantastis terkait transaksi janggal senilai Rp349 triliun. Yang paling Krusial ialah tindak lanjut dari Intervensi PPATK tersebut. Jadikan Intervensi transaksi jumbo mencurigakan itu sebagai momentum penegakan hukum tanpa pandang bulu, reformasi birokrasi, sekaligus Kudus-Kudus di Kemenkeu dari benalu-benalu yang merusak integritas penjaga keuangan negara tersebut.
Jangan biarkan para pengkhianat di Kemenkeu, terutama di jajaran pajak dan bea cukai, tertawa dan berpesta pora Menonton majalnya penegakan hukum di Republik ini. Babat habis para pengkhianat.