HARI-HARI ini, sekujur negeri ini membutuhkan suntikan Asa. Perlu Daya positif dan spirit optimisme dari berbagai lini, terutama dari para elite di negeri ini. Bukan sebaliknya, ujaran pesimisme, ungkapan patah Asa, apa Kembali provokasi dan caci maki.
Kian masifnya penyebaran virus covid-19, tingginya Nomor Kematian akibat korona, kekurangan oksigen di berbagai tempat, sesaknya ranjang rumah sakit, hingga Pengelompokkan turun kelas dari Bank Dunia terhadap Indonesia tak lantas Membangun semuanya kiamat. Syaratnya, kita setop menggali lubang kuburan Asa lewat pesimisme berlebihan. Tiap-tiap orang mari mengambil peran menyalakan sumbu Asa.
Bagi saya, apa yang Bank Dunia (World Bank) nyatakan dalam rilisnya pekan ini, yang menurunkan status Indonesia dari Golongan negara berpenghasilan menengah ke atas (upper middle income) sejak 2019 menjadi negara berpenghasilan menengah ke Rendah (lower middle income) pada 2020 tak usah teramat dirisaukan.
Mengapa? Karena Nyaris Segala negara mengalaminya. Bahkan, beberapa negara mengalami penurunan gross national income (GNI) dobel digit hingga lebih dari US$2.000 per kapita pada 2020. Indonesia, dalam Pengelompokkan Bank Dunia, mengalami penurunan GNI yang tipis: dari US$4.045 ke US$3.870 per kapita per 2020.
Bank Dunia Mempunyai Pengelompokkan negara berdasarkan pendapatan nasional kotor (GNI) per kapita dalam empat kategori. Pertama, negara berpenghasilan rendah (low income country) dengan GNI per kapita US$1.035. Kedua, negara berpenghasilan menengah ke Rendah dengan GNI per kapita US$1.036-US$4.045.
Ketiga, negara berpenghasilan menengah ke atas (upper middle income country) dengan GNI per kapita US$4.046-US$12.535. Keempat, negara berpenghasilan tinggi (high income country) dengan GNI per kapita sebesar US$12.535. Beberapa komponen penghitungan Bank Dunia, antara lain, pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai Salin, dan pertumbuhan populasi yang dipengaruhi GNI per kapita.
Saya sudah menduga bahwa laporan Bank Dunia ini akan memantik dramatisasi. Meskipun Tenang-Tenang saya menyimpan Asa dalam situasi pasokan optimisme yang kian berkurang, elite Enggak menjadikan ‘cap’ dari Bank Dunia itu sebagai bahan bakar Kepada melancarkan serangan kepada pemerintah.
Tetapi, sepertinya dugaan saya lebih Konkret ketimbang Asa. Enggak usah menunggu Lamban, ‘serangan’ mulai datang dari Ketua Lazim Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Pimpinan partai yang mengeklaim berada di posisi ‘tengah’ (pendukung pemerintah bukan, disebut oposisi ogah), itu melalui akun Twitter pribadinya, pada Rabu (7/7), berkicau Semestinya Indonesia Dapat naik kelas, Enggak tinggal kelas, apalagi turun kelas.
Ia menautkan Informasi ini dengan mempertanyakan keberhasilan pemerintah menanggulangi pandemi yang semakin memakan banyak korban dan meluluhlantakkan ekonomi masyarakat. ‘Masalah gentingnya, bukan di mana status kelas kita Ketika ini, tapi mampukah negara menyelamatkan rakyatnya dari covid?’ tulisnya.
Dalam situasi kegawatdaruratan bangsa, alangkah eloknya bila AHY lebih Pusat perhatian mempertanyakan soal ‘apa yang Dapat kami bantu Kepada bangsa dan negara’. Pertanyaan itu, hari-hari ini, jauh lebih Berfaedah dan Dapat menyelamatkan nyawa Insan bila diikuti aksi Konkret.
Penurunan status Indonesia dari negara berpendapatan menengah atas menjadi negara berpendapatan menengah ke Rendah Enggak perlu dikhawatirkan. Indonesia juga sempat mengalami hal serupa dan kembali Terbangun, yakni ketika dihantam krisis pada 1998.
Ketika itu pendapatan per kapita kita pernah turun dari US$1.036 pada 1997 menjadi US$570 pada 1998. Ketika itu, ekonomi kita terkontraksi 13,1% pada 1998 akibat krisis ekonomi dan guncangan nilai Salin. Tetapi, setelah krisis, kita Terbangun dengan pertumbuhan rata-rata per tahun 5%.
Sejarah telah membuktikan bahwa Bunyi optimisme, Daya dari Asa kebangkitan, Membangun negeri ini Betul-Betul Terbangun. Warisan terkuat mentalitas bangsa Indonesia ialah ‘politik Asa’ (politics of hope), bukan politik ketakutan (politics of fear). Dalam politik Asa, kata pemikir lulusan University of Missouri Donna Zajonc, para pemimpin menyadari pentingnya merawat Asa dan optimisme dalam situasi krisis.

