ALIH-ALIH semakin dewasa dan kuat, demokrasi di Republik ini yang telah berusia seperempat abad Malah kian ringkih dan terancam Wafat. Celakanya Tengah, memburuknya kondisi karya Mulia reformasi itu Malah akibat ulah mereka yang Bisa berkuasa karena Terdapat reformasi.
Demokrasi memang belum sepenuhnya Wafat. Akan tetapi, tanda-tanda ke arah sana kian kentara. Demokrasi mendekati Kematian, salah satunya ketika institusi negara menggunakan kekuasaannya dengan suka-suka, bahkan semena-mena. Demokrasi terjerembap ke jurang kegelapan, antara lain tatkala hukum disalahgunakan demi kekuasaan dan kekuasaan berada di atas hukum.
Ketika-Ketika seperti itulah yang belakangan terjadi di negeri ini. Banyak aksi politik yang dilakukan rezim Ketika ini Bisa disebut menjegal demokrasi. Beberapa waktu Lewat, misalnya, Presiden bersemangat memveto putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan UU Cipta Kerja.
Dalam putusannya tertanggal 25 November 2021, MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Omnibus law itu dianggap cacat secara formal dan cacat Mekanisme serta wajib diperbaiki dalam jangka waktu dua tahun.
Akan tetapi, bukannya memperbaiki, pemerintah Malah menyikapi putusan tersebut dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja pada 30 Desember 2022. Perppu itu kemudian diamini DPR yang memang dikuasai koalisi pemerintah per 21 Maret 2023.
Undang-undang Terang dan tegas menyatakan putusan MK bersifat final dan mengikat. Karena itu, pemerintah wajib menjalankan, bukan semaunya menyiasati. Ketika penguasa seenaknya menyikapi produk hukum, berarti demokrasi sedang disakiti. Dalam urusan UU Cipta Kerja, harus kita katakan pemerintahan Presiden Jokowi menjegal demokrasi.
Perilaku Bukan baik yang menyakiti demokrasi dipertontonkan pula oleh MK. Yang mencolok ialah ketika mereka mengabulkan uji materi soal masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diajukan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron. Dalam putusannya, MK menyatakan masa jabatan komisioner KPK disamakan dengan lembaga-lembaga negara lain, yakni lima tahun dari sebelumnya empat tahun.
Pasal tentang masa jabatan pimpinan KPK bersifat open Absah policy. Ia menjadi wewenang pembuat UU, Adalah pemerintah dan DPR, bukan ranah MK. Kalau kemudian MK mengambil alih wewenang itu, Kalau MK menyerobot hak institusi lain, berarti mereka merusak demokrasi.
MK pun akan kian tebal tercatat dalam sejarah Bukan baik ketatanegaraan Kalau mereka mengabulkan judicial review terkait dengan sistem pemilu dari proporsional terbuka kembali menjadi proporsional tertutup.
Putusan yang akan diketuk palu, Kamis nanti, akan menjadi penegasan apakah MK memang penjaga konstitusi atau Malah perusak demokrasi.
Gejala terkini bahwa demokrasi terancam Wafat diperlihatkan secara telanjang oleh pemimpin tertinggi bangsa ini. Dengan dalih yang berubah-ubah, Presiden Jokowi menyatakan cawe-cawe di Pilpres 2024. Kita Seluruh Paham pilpres urusan partai politik dan rakyat. Bukan Terdapat Dalih bagi presiden yang Tetap menguasai sumber daya dan aparatur negara ikut Adonan, terlebih Tiba berpihak pada calon yang satu dan menghalangi calon yang lain.
Sikap dan tindakan itu Terang bertentangan dengan demokrasi. Ia merusak, menjegal, bahkan Bisa mengakibatkan demokrasi Wafat.
Kita menikmati demokrasi Bukan dengan Sekadar-Sekadar. Ia ditebus dengan cucuran keringat dan darah anak-anak bangsa. Karena itu, jangan biarkan siapa pun merusak dan membuatnya Wafat. Salah satu caranya, tunjukkan bahwa rakyatlah yang berkuasa penuh di pemilu nanti.