Jangan Beri Celah Praktik Korupsi

UNDANG-UNDANG Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN (UU BUMN) kembali menuai sorotan tajam. Sebelumnya beleid ini dikritik habis oleh publik lantaran proses penetapannya yang tergolong sangat Segera. Secepat kilat.

Ketika itu, keputusan Kepada membawa revisi UU BUMN ke Rapat Paripurna DPR diambil hanya melalui satu kali rapat yang dilaksanakan pada akhir pekan, Sabtu, 1 Februari 2025 Lampau. Tak perlu menunggu lelet, Selasa, 4 Februari 2025, revisi tersebut sudah disahkan menjadi UU BUMN dalam Rapat Paripurna DPR.

Begitu itu pula, sejumlah kalangan memprediksi UU BUMN yang proses pembentukannya Kagak transparan, buru-buru, terkesan sembunyi-sembunyi, dan Kagak melibatkan partisipasi bermakna dari publik berpotensi menjadi bom waktu persoalan. Produk legislasi yang Kagak baik akan memunculkan berbagai masalah di kemudian hari.

Cek Artikel:  Kalah Melawan Korupsi

Benar saja, kini satu per satu bolong dari UU BUMN mulai terkuak. Salah satunya keberadaan Pasal 9 huruf G yang menyatakan, ‘Member direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara’. Pasal ini menjadi sorotan karena dapat berdampak luas, utamanya dalam konteks pemberantasan korupsi di Tanah Air. Dengan ‘dilepaskannya’ posisi petinggi BUMN dari penyelenggara negara, itu Dapat diartikan bahwa penegak hukum, terutama KPK, Kagak Dapat Tengah mengusut dugaan korupsi di perusahaan negara.

Betul bahwa tafsir Arti atas pasal tersebut Lagi Variasi. Di satu sisi, Menteri BUMN Erick Thohir memastikan perubahan status direksi, komisaris, dan dewan pengawas BUMN Kagak Membikin mereka kebal dari penindakan tindak pidana korupsi.

Begitu pula Wakil Ketua KPK Johanis Tanak, yang menegaskan bahwa UU BUMN Kagak menjadi penghalang KPK Kepada mengusut dugaan korupsi di BUMN. Undang-undang tersebut Hanya mengubah status petinggi BUMN menjadi bukan penyelenggara negara.

Cek Artikel:  Jangan Biarkan Kabinet Bersimpang Jalan

Tetapi, di sisi lain, para pegiat antikorupsi cukup khawatir pasal tersebut akan dimanfaatkan sebagai celah atau legalisasi menjadikan korupsi sebagai hal yang lumrah dilakukan di perusahaan pelat merah. Sebagian Tengah berpendapat bahwa perubahan UU BUMN itu akan Mempunyai konsekuensi sangat serius lantaran mengandung spirit memberikan impunitas kepada para pengurus BUMN.

Publik tentu tak Ingin kecemasan para pegiat korupsi itu menjadi Realita. Pertama, karena praktik dugaan korupsi di BUMN hingga kini belum sepenuhnya habis. Tengok saja kasus-kasus korupsi jumbo yang belakangan ditangani Kejaksaan Akbar, mayoritas ialah korupsi di tubuh perusahaan Punya negara. Alangkah lucunya bila di situasi seperti itu Malah muncul aturan yang berpotensi ‘melindungi’ para petinggi BUMN.

Argumen kedua, langkah pemberantasan korupsi di Tanah Air sedang lemah-lemahnya. Indonesia Begitu ini Lanjut berkutat dan belum selesai menghadapi korupsi akut yang menyangkut integritas pejabat publik, Berkualitas di lembaga legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Secara Dunia, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pun Lagi jauh tertinggal.

Cek Artikel:  Membersihkan Sapu Kotor KPK

Dalam kondisi tersebut, semestinya Republik ini mengencangkan upaya pemberangusan terhadap praktik-praktik korupsi dari segala lini dan sisi. Bukan malah menggelar karpet merah yang memuluskan upaya rasuah para penjarah.

Yang tak kalah Krusial, sesungguhnya, praktik permisif yang ditengarai menjadi nyawa dari Pasal 9 huruf G UU BUMN Malah berseberangan dengan gagasan dari Presiden Prabowo Subianto yang serius Ingin memberantas praktik korupsi. Maka, para pihak harus memastikan bahwa hukum tetap Dapat tegak walaupun celah aturan menganga. Mesti Terdapat mekanisme bahwa perubahan status petinggi BUMN itu bukan jalan Kepada memudahkan rasuah.

 

Mungkin Anda Menyukai