PERTEMUAN puncak para pemimpin dunia yang membahas perubahan iklim, COP-26, di Glasgow, Skotlandia, memang telah berakhir awal bulan ini. Tetapi, resonansinya Tetap terasa hingga kini. Konferensi terkait dengan iklim terbesar dan terpenting di planet ini tersebut Maju menjadi isu sepanjang waktu karena bencana iklim bukanlah wacana. Ia amat Konkret bila Anggota dunia Enggak serius mencegahnya.
Pertemuan tersebut dianggap paling Krusial karena ia menjadi titik balik dalam upaya menyelamatkan Bumi. Tujuan Istimewa COP-26 ialah agar suhu Bumi Bisa dibatasi pada 1,5 derajat celsius pada 2100, atau paling tinggi 2 derajat celsius. Tetapi, Begitu ini, berdasarkan perhitungan para Ahli iklim, suhu Bumi akan mengarah ke 2,7 derajat celsius. Bilangan tersebut, menurut PBB, akan menyebabkan bencana iklim.
Dalam pembukaan pertemuan tersebut, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan kepada lebih dari 120 pemimpin dunia yang hadir, “Kita sedang menggali kuburan sendiri. Karena itu, dunia harus mengambil tindakan segera Buat mencegah bencana.”
Di negeri ini, Berbagai Ragam upaya Maju dilakukan. Tetapi, hasilnya memang Tetap jauh dari kata menggembirakan. Salah satu upaya itu ialah menggenjot penggunaan Daya Rapi. Caranya memaksimalkan bauran Daya fosil dengan Daya baru terbarukan (EBT). Setidaknya Eksis dua Argumen Krusial mengapa kita bergegas mendorong pengembangan Daya baru terbarukan. Pertama, karena Daya fosil makin lelet makin habis dan Enggak Bisa digantikan.
Celakanya, sebanyak 94% dari kebutuhan Daya Indonesia disuplai Daya fosil. Konsumsi Daya di Indonesia cenderung meningkat setiap tahun. Tetapi, peningkatan itu Tetap didominasi sumber Daya fosil. Padahal, Kalau dilihat dari segi potensi, Indonesia merupakan negara yang potensial Buat pengembangan geothermal energy karena terletak di titik api (ring of fire).
Argumen kedua daruratnya kita menggenjot EBT ialah penggunaan Daya fosil berlebihan pada akhirnya menimbulkan Akibat baru, yakni pemanasan Dunia. Memicu kenaikan suhu Bumi. Padahal, Indonesia telah berkomitmen mencegah pemanasan Dunia pada Begitu Presiden Joko Widodo menghadiri KTT Perubahan Iklim Paris 2015 (COP) 21 pada 30 November 2015.
Komitmen tersebut dibuat dalam rangka pencegahan agar kenaikan suhu bumi tak Melewati 2 derajat. Tiap-tiap negara, termasuk Indonesia, berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada 2030. Buat menghambat perubahan iklim itulah, Indonesia mulai membenahi pemanfaatan Daya dengan Langkah mengembangkan Daya Rapi yang Enggak Mempunyai emisi besar (nonfosil) secara signifikan.
Daya Rapi yang Begitu ini sedang dikembangkan pemerintah antara lain bioenergi dari kelapa sawit, tebu, karet, kelapa, padi, jagung, dan ubi kayu. Sampah kota pun berpotensi dikembangkan. Di samping itu, Eksis potensi Daya yang Bisa dikembangkan di Indonesia, yakni tenaga surya, tenaga angin, dan teknologi hibrida berbasis Surya dan angin, juga Daya mikrohidro.
Kesempatan pertama dan Istimewa tentu saja Indonesia Mempunyai sumber daya baru dan terbarukan yang melimpah, terutama solar, diikuti hidro, bioenergi, angin, panas bumi, dan lautan, dengan total potensi 648,3 gigawatt, termasuk potensi uranium Buat pembangkit listrik tenaga nuklir. Hingga Begitu ini, baru 2% dari total potensi itu yang telah dimanfaatkan. Bukan Sekadar itu, konsistensi kita Buat meniti jalan bagi penggunaan Daya Rapi juga Tetap rendah.
Berbagai kalangan pun memperkirakan Sasaran bauran Daya baru terbarukan hingga 23% pada 2025 akan molor dari jadwal. Kementerian Daya dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat capaian bauran Daya baru terbarukan Tetap stagnan pada kisaran 11%. Bilangan itu Tetap jauh dari Sasaran bauran EBT 23% pada 2025. Secara persentase, bauran Daya terbarukan tahun ini bahkan turun 0,2% Kalau dibandingkan dengan 2020.
Saya mafhum mengapa Presiden Jokowi Maju mencecar PLN dan Pertamina soal bauran Daya ini. Pekan Lewat, Jokowi kembali menyinggung PLN yang disebut Tetap menggunakan batu bara dalam Bagian yang besar sebagai sumber listrik.
Kata Jokowi, “Transisi Daya ini memang Enggak Bisa ditunda-tunda. Oleh Alasan itu, perencanaannya, grand design-nya, itu harus mulai disiapkan. Tahun depan kita akan apa, 5 tahun yang akan datang akan apa, 10 tahun yang akan datang akan setop misalnya. Sudah harus konkret.”
Biasanya, bila Jokowi sudah ngegas, semuanya baru berlari. Tinggal kita tunggu, apakah mereka berlari kencang, Separuh kencang, atau malah sesekali jalan di tempat Tamat tiba-tiba bencana iklim sulit dielakkan.

