KEHADIRAN lembaga survei sesungguhnya merupakan bagian dari dinamika demokrasi. Karena itu keberadaannya semestinya memberikan sumbangsih terhadap peningkatan kualitas demokrasi. Dalam tataran ideal, yang dituntut dari para pollster itu ialah integritas dan independensi.
Survei atau jajak pendapat dalam kaitan dengan pemilu, misalnya, seharusnya ditujukan untuk kepentingan informasi kepada publik semata. Bukan malah sebaliknya, survei dibuat dan dipublikasikan untuk menggiring opini publik demi menyervis kepentingan sekelompok peserta pemilu.
Memang, sejauh ini tidak ada satupun regulasi hukum yang mengatur aturan main lembaga survei. Publik hanya bisa mengandalkan etik dan moralitas sebagai pagar atau norma yang harus dijunjung tinggi para lembaga survei dalam menjalankan aktivitas mereka.
Tetapi jika melihat realitas di lapangan sampai hari ini, pagar itu tidak terlalu tinggi untuk bisa menahan hasrat sebagian pelaku jajak pendapat melompatinya. Dalam operasionalnya, mereka tak selalu mengedepankan independensi. Tanpa sungkan mereka mengubah orientasi survei dari kegiatan akademis murni menjadi kegiatan bisnis.
Itulah salah satu alasan mengapa saat ini banyak lembaga survei yang merangkap sebagai konsultan politik. Karena orientasi utamanya ialah bisnis, data-data yang mereka peroleh dan olah dari hasil jajak pendapat pun mereka gunakan untuk menggiring opini demi menyenangkan pemberi order.
Mereka cenderung membela yang bayar, bukan membela yang benar. Para lembaga survei kerap berlindung di balik kebebasan akademik survei, tapi sesungguhnya sedang menebar opini, bahkan terkadang ikut melakukan agitasi terkait isu-isu yang dikehendaki pihak pemesan. Metodologi survei pun bisa mereka akali demi hasil yang sesuai kemauan pengorder.
Kalau sudah begini, tentu publik wajar mempertanyakan urgensi keberadaan lembaga survei dalam kaitannya dengan pembangunan kualitas demokrasi. Bukankah perilaku seperti itu justru membuat indeks demokrasi negeri ini yang belakangan semakin menurun justru bakal semakin anjlok?
Karena itu, sekali lagi kita ingin mengingatkan agar lembaga survei kembali ke jalan yang benar. Konsisten bekerja di koridor akademis untuk melayani kepentingan publik secara luas. Mereka tidak hanya dituntut untuk menerapkan etika penelitian dan metodologi secara presisi, melainkan juga pada saat yang sama harus tetap menjunjung tinggi integritas, kejujuran, dan independensi.
Sebagai pollster, ya jadilah pollster yang benar, jangan dicampur dengan konsultan, penasihat, atau apa pun yang mengindikasikan adanya keterkaitan dengan partai maupun kandidat politik. Kalau mereka tidak bisa memisahkan dua hal tersebut, tidak akan pernah muncul sumbangsih mereka terhadap peningkatan kualitas demokrasi. Bahkan mereka akan dicatat sebagai salah satu penyebab rusaknya demokrasi.