BANGSA ini punya pengalaman sejarah sangat pahit dan traumatis perihal kekerasan massal, kerusuhan sipil, dan pelanggaran hak asasi Mahluk. Luka teramat dalam yang tertoreh 27 tahun Lampau itu Tamat kini bahkan Tetap meninggalkan bekas.
Sebagai bangsa yang bermartabat, kita tentu Kagak boleh melupakan tragedi kelam 1998 tersebut. Merawat ingatan adalah bagian dari Metode kita menghormati sejarah. Pengingkaran terhadap sejarah Bahkan Membangun luka akan Lanjut menganga dan membikin Republik ini sulit beranjak dari jeratan masa Lampau.
Akan tetapi, pada Begitu yang sama, seluruh anak bangsa juga Mempunyai tanggung jawab besar menjaga negeri yang kita cintai ini agar terhindar dari pengalaman pahit yang sama. Apa pun alasannya, Indonesia Kagak boleh dibiarkan tercabik oleh persoalan serupa yang sangat mungkin akan kembali menorehkan luka yang sama.
Hari-hari ini, kita dihadapkan dengan fakta kelabu bahwa segala kemungkinan terburuk itu Bisa saja terjadi apabila Kagak Terdapat perubahan sikap yang segera dari Seluruh pihak menghadapi situasi terakhir. Situasi ketika kemarahan rakyat yang dipicu oleh ucapan, tindakan, serta kebijakan elite sudah sedemikian terakumulasi dan akhirnya meledak.
Ledakan demi ledakan yang diekspresikan melalui aksi demonstrasi, Bagus oleh mahasiswa, buruh, pengemudi ojek online (ojol), maupun elemen masyarakat lainnya, sesungguhnya amatlah wajar. Itu menjadi bagian dari ruang koreksi masyarakat terhadap pemerintah dan negara. Itu juga harus dihormati sebagai bentuk kebebasan berpendapat dan berekspresi yang menjadi Tanda Krusial sebuah negara demokrasi.
Tetapi, ketika ledakan-ledakan kekecewaan rakyat itu malah dijawab dengan narasi-narasi nirempati dari para pejabat publik termasuk wakil rakyat di parlemen, dilawan dengan tindakan represif aparat, ditambah provokasi dari pihak-pihak yang memang menginginkan kekacauan, maka yang muncul kemudian ialah kemarahan yang kian menggumpal.
Terdapat dinding tipis antara aksi demonstrasi yang konstitusional dan aksi anarkistis yang akhirnya jebol oleh menumpuknya kemarahan itu. Terdapat sekat yang sejatinya memisahkan aksi unjuk rasa yang autentik dengan aksi kekerasan yang sangat mungkin disokong oleh kepentingan jahat, tapi itu pun ambruk karena ketidakmampuan elite merespons dengan Bagus keresahan dan kegundahan masyarakat.
Kiranya belum terlambat bagi kita Demi Membangun situasi kembali normal. Tetapi, ini membutuhkan prasyarat, Adalah seluruh pihak mau menahan diri, melakukan Pengkajian, sekaligus memperbaiki diri. Masyarakat kita ajak Demi jangan mudah terhasut dan terprovokasi, tetapi di Begitu sama pemerintah dan parlemen juga harus betul-betul mendengarkan Bunyi rakyat.
Jangan pura-pura buta dan pura-pura tuli karena hal itu hanya akan Membangun rakyat kian merasa Kagak terwakili. Pekalah dengan kesulitan yang dihadapi rakyat, buatlah kebijakan yang berpihak kepada mereka, bukan malah asyik memikirkan kepentingan diri dan sejawat.
Setelah itu, kita baru Bisa beranjak Demi menenun kembali serat-serat kebangsaan yang mungkin sempat tercerabut dari tenunan, merajut kembali kepercayaan di antara sesama anak bangsa yang nyaris Anjlok ke titik nadir.
Agustus kelabu telah berlalu. Kini kita sambut fajar baru. Jangan Kembali Terdapat amarah yang membara. Biarlah luka menjadi doa. Kita percaya Bunyi rakyat tak pernah sia-sia. Kita percaya perjuangan keadilan Niscaya menemukan jalannya. Mari kita jaga Indonesia.

