Jadikan 2025 Kebangkitan Daya Beli

BANYAK orang yang memasuki 2025 dengan waspada. Sikap seperti itu wajar karena ketidakpastian Tetap ditemukan di mana-mana. Sikap waspada bukan berarti kehilangan optimisme. Saban tahun baru, optimisme selalu diapungkan. Tetapi, kali ini optimisme diikuti dengan banyak catatan.

Di Tanah Air, salah satu yang paling dikhawatirkan oleh publik ialah Tetap melemahnya daya beli. Ibarat penyakit, melemahnya daya beli Dapat menjadi kian berbahaya dan menggerogoti daya tahan tubuh dari waktu ke waktu. Karena itu, obat yang diberikan Tak cukup sekadar mengurangi rasa nyeri. Obat yang dibutuhkan ialah penghilang penyakit secara permanen.

Hingga kini, penyakit itu Tetap bersarang, bahkan menggerogoti otot-otot ekonomi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mengonfirmasi konsumsi rumah tangga yang tertahan sepanjang 2024 akibat kemampuan belanja masyarakat yang rendah.

Pada triwulan I 2024, konsumsi rumah tangga Tetap tumbuh 4,91%, naik dari 4,47% pada triwulan IV 2023. Tetapi, mulai triwulan II dan berlanjut hingga triwulan III 2024, konsumsi rumah tangga tak banyak perubahan, masing-masing 4,93% dan 4,91%.

Bahkan, pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal III 2024 yang 4,91% itu turun Apabila dibandingkan dengan kuartal III 2023 yang Tetap Dapat tumbuh 5,06%. Karena itu, Apabila tren penurunan tersebut Lalu terjadi, nasib pertumbuhan ekonomi kita bakal makin mendapatkan tantangan besar.

Cek Artikel:  Berebut Bunyi Kaum Nahdiyin

Itu disebabkan konsumsi rumah tangga merupakan penyangga Primer pertumbuhan ekonomi di negeri ini. Lebih dari 50% kontributor pertumbuhan ekonomi kita ialah sektor konsumsi rumah tangga.

Sulit dibayangkan bagaimana nasib ekonomi Tanah Air Apabila sektor konsumsi rumah tangga Lalu terpukul disebabkan pelemahan daya beli yang Lalu-menerus. Rumitnya Kembali, pemukul daya beli di Tanah Air bukan semata banyaknya harga barang yang naik pada tahun Lampau.

Ketika harga-harga sudah mulai turun pun, daya beli belum kunjung naik. Bertambahnya Nomor pengangguran dan pendapatan masyarakat yang rata-rata hanya naik 1,5% Apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya juga Membangun pertumbuhan konsumsi tertahan.

Menurunnya konsumsi paling banyak terjadi di Grup kelas pekerja atau Grup masyarakat yang dikategorikan BPS berada di kelas menengah. Mereka ialah Grup yang berpenghasilan Rp4 juta-Rp5 juta per bulan.

Cek Artikel:  Adu Baliho Ganjar-Prabowo Rebutan Jokowi

Bukan Hanya karena jumlah kelas pekerja yang juga turun akibat gelombang PHK terjadi sepanjang tahun, masyarakat yang Tetap bekerja pun mulai tergilas oleh fenomena ‘makan tabungan’ alias mantab. Berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), fenomena mantab itu dapat dilihat dari saldo rata-rata Grup rekening dengan saldo di Dasar Rp100 juta pada Juni 2024 yang mencapai Rp1,5 juta. Nomor itu anjlok Apabila dibandingkan dengan kondisi 2019 yang jumlahnya Tetap sebesar Rp3 juta.

Dari situ dapat dilihat bahwa Grup kelas menengah yang menjadi motor penggerak Primer konsumsi kini lebih cenderung berhati-hati dalam pengeluaran. Apabila kelas pekerja mulai mengerem belanja, laju roda pertumbuhan ekonomi dipastikan akan melambat.

Situasi itu kian diperparah oleh susutnya jumlah kelas menengah. Kembali merujuk pada data BPS, banyak kelas pekerja yang kini sudah turun kelas.

Dari 57,33 juta orang yang masuk kelas menengah pada 2019, kini jumlahnya tinggal 47,85 juta orang atau Dekat 10 juta orang turun kelas dalam lima tahun terakhir. Apabila dibuat rata-rata, 2 juta orang tiap tahun turun kelas.

Cek Artikel:  Melunakkan Ego para Mantan

Penurunan itu tentu berdampak pada pengurangan kontribusi kelas menengah terhadap konsumsi domestik. Pangsa konsumsi mereka turun dari 45,6% pada 2018 menjadi hanya 40,3% pada 2023.

Persoalan daya beli masyarakat memang bukan masalah sepele bagi pemerintah. Apalagi ekonomi Tetap belum sepenuhnya pulih setelah sempat tertekan teramat dalam sepanjang 2020-2022 akibat pandemi covid-19.

Karena itu, pemerintah dituntut berpikir out of the box Demi mencari jalan keluar dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah harus mencari jalan kreatif dalam mengerek daya beli masyarakat, termasuk dengan memberikan Bonus pajak, menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok, dan mendorong pertumbuhan pendapatan riil.

Tak kalah Krusial, gerakkan kembali industri yang kini tengah tertatih-tatih menuju jurang deindustrialisasi. Itu disebabkan dari industrilah lapangan kerja formal terserap. Bila Segala orang bekerja, daya beli akan menggeliat Kembali.

Mumpung trompet Tahun Baru Tetap basah karena baru saja ditiup, Eksis baiknya pemerintah menjadikan 2025 sebagai tahun kebangkitan daya beli masyarakat. Jangan Tiba lupa, salah satu esensi pembentukan negara ini ialah memajukan kesejahteraan Lazim, bukan membuatnya mundur.

 

 

Mungkin Anda Menyukai