Islam dan Konfusianisme Kepada Tatanan Dunia yang Lebih Adil

DI tengah gejolak geopolitik dan persaingan ekonomi Dunia, dialog antarperadaban kembali menjadi tema Krusial dalam diplomasi Dunia. Tiongkok, melalui Dunia Civilization Initiative (GCI) yang diprakarsai Presiden Xi Jinping, menempatkan pembelajaran Berbarengan lintas peradaban sebagai salah satu pilar Interaksi luar negerinya.

Pada 10-14 Agustus, Chinese Academy of Social Sciences (CASS) di Beijing menjadi tuan rumah konferensi Dunia yang mempertemukan Ahli dari Dekat 20 negara. Salah satu sesi kuncinya membahas konfluensi Islam dan konfusianisme–dua tradisi moral dan intelektual besar yang Mempunyai sejarah panjang perjumpaan dan potensi besar Kepada mempengaruhi arah tatanan Dunia.

Bagi Indonesia, Perhimpunan semacam ini bukan sekadar agenda kultural. Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia dan Kawan strategis Tiongkok, Indonesia berada pada posisi Spesial Kepada menghubungkan dunia Islam dengan dunia konfusian. Sejarah mencatat Interaksi ini bukanlah hal baru.

Pada abad ke-15, armada Laksamana Zheng He–seorang muslim dari Yunnan–berlabuh di pelabuhan-pelabuhan Nusantara membawa hadiah, pengetahuan navigasi, dan diplomasi. Zheng He menjadi simbol pertemuan dua tradisi moral besar meski pelayaran itu juga sarat dengan bobot Martabat Dinasti Ming. Ketiadaan penaklukan militer Tak menghapus hierarki, tetapi mengelolanya melalui pengakuan dan pertukaran.

Pola ini kembali terlihat pada pertengahan abad ke-20 ketika Presiden Sukarno Berjumpa dengan Ketua Mao Zedong di Beijing pada 1957. Di tengah tekanan Perang Dingin, keduanya berbagi pandangan bahwa negara-negara dunia selatan harus Mempunyai ruang Kepada menentukan masa depan mereka sendiri. Pertemuan itu mengirimkan pesan bahwa dialog lintas peradaban Dapat menjadi alat memperkuat posisi tawar politik, bukan sekadar perayaan simbolis.

Kini, konteksnya berbeda, tetapi resonansinya sama. Tiongkok tampil sebagai kekuatan Primer dalam sistem Dunia multipolar yang sedang tumbuh. Melalui GCI, Beijing memosisikan dirinya bukan hanya sebagai kekuatan ekonomi, melainkan juga sebagai penggagas Kebiasaan Dunia yang menekankan inklusivitas dan saling belajar.

Bagi Indonesia, inisiatif itu membuka Kesempatan strategis Kepada memperluas kerja sama Tak hanya di bidang ekonomi seperti belt and road initiative (BRI), tetapi juga dalam pembentukan standar pengetahuan, etika teknologi, dan tata kelola lingkungan yang lebih adil.

Cek Artikel:  Krisis Suriah Jilid II

Tetapi, Kesempatan ini akan hilang Kalau dialog hanya berhenti pada Serasi simbolis–sekadar merayakan kesamaan Sembari menghindari perbedaan yang substansial. Dalam isu Dunia seperti perubahan iklim, kemajuan teknologi, atau perdagangan, perbedaan pendekatan Malah membuka ruang pembelajaran yang lebih jujur. Prinsip amanah dalam Islam dan pandangan konfusianisme tentang Serasi dapat dirumuskan menjadi indikator keberhasilan yang lebih utuh: Tak hanya pertumbuhan ekonomi atau pengurangan emisi, tetapi juga pemulihan ekosistem, keberlangsungan komunitas lokal, dan pemerataan manfaat.

Pengalaman konkret ini sudah Terdapat. China-Indonesia Dialogue on Sustainable Development di Jakarta pada Mei 2025 mengangkat tema revitalisasi ekosistem mangrove, memadukan pelestarian lingkungan dengan penguatan ekonomi pesisir.

Perhimpunan ini melibatkan pemerintah, Ahli, dan pelaku usaha dari Indonesia, Tiongkok, serta negara-negara ASEAN. Hasilnya menunjukkan bahwa kerja sama multilateral berbasis akar budaya dapat melahirkan aksi Konkret yang lintas batas. Kalau dikemas dalam kerangka pembelajaran Islam-konfusianisme, model ini Dapat diadaptasi di berbagai negara. Di sisi Tiongkok, keberhasilan memulihkan pesisir dan mengatasi degradasi lahan di beberapa provinsi menjadi modal Kepada pertukaran pengalaman yang setara dan saling melengkapi.

Bidang teknologi memberi Kesempatan serupa. Kecerdasan buatan, misalnya, membutuhkan landasan etis yang menekankan kehati-hatian dan kemaslahatan. Indonesia yang sedang mengembangkan AI ethics framework dapat mengajukan perspektif ini di Perhimpunan Berbarengan Tiongkok, Berkualitas dalam G-20 maupun ASEAN-China. Dengan kapasitas riset Tiongkok dan keragaman sosial Indonesia, kolaborasi ini Dapat menghasilkan panduan Dunia yang mencegah bias algoritmik, mengatur penggunaan teknologi secara adil, dan memastikan manfaatnya menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

Dimensi perdagangan tak kalah Krusial. Prinsip keadilan transaksi dalam Islam dan etika kepantasan dalam konfusianisme dapat menjadi dasar kontrak dagang strategis–mulai dari nikel dan batu bara hingga produk pertanian–yang menyertakan klausul keberlanjutan dan perlindungan sosial.

Konsep ini menggeser kerja sama ekonomi dari sekadar perhitungan Untung menjadi instrumen perbaikan kondisi lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, dialog lintas peradaban Tak berhenti pada tataran wacana, tetapi terwujud dalam kebijakan dan praktik yang memberi Dampak Konkret.

Cek Artikel:  Diversifikasi Peran Perguruan Tinggi Islam

 

Kesempatan DAN RISIKO GEOPOLITIK

Selain manfaatnya, Interaksi erat Indonesia-Tiongkok dalam kerangka GCI membawa dinamika geopolitik yang harus diantisipasi. Kemitraan strategis ini berlangsung di tengah kompetisi besar antara Tiongkok dan Amerika Perkumpulan yang merembet ke kawasan Indo-Pasifik. Indonesia, yang selama ini berusaha mempertahankan politik luar negeri bebas-aktif, dituntut menjaga keseimbangan agar Tak terjebak dalam persepsi keberpihakan yang merugikan posisi tawar di Perhimpunan lain seperti G-20 atau ASEAN.

Di sisi lain, peluangnya cukup Terang. GCI menawarkan kanal diplomasi nonkonfrontatif yang mana Indonesia dapat mengajukan isu prioritasnya tanpa terbelenggu kerangka aliansi militer atau blok ekonomi yang kaku. Misalnya, kerja sama pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang melibatkan investor dan konsultan dari Tiongkok dapat dikaitkan dengan prinsip keberlanjutan dalam Islam dan Konfusianisme. Hal ini memberi nilai tambah diplomasi Indonesia karena menggabungkan kepentingan pembangunan domestik dengan narasi etis yang dapat diterima luas di Perhimpunan Dunia.

Indonesia juga Mempunyai modal sejarah yang Dapat digunakan Kepada memimpin narasi. Jejak Konferensi Asia-Afrika 1955 dan peran aktif dalam Gerakan Nonblok menjadi Surat keterangan kuat bahwa kepemimpinan Indonesia di dunia selatan bukanlah klaim baru. Ketika dikaitkan dengan GCI, modal sejarah ini dapat digunakan Kepada membangun koalisi lintas kawasan yang melibatkan negara-negara Afrika, Timur Tengah, dan Asia Selatan dalam kerja sama berbasis nilai, bukan sekadar transaksi ekonomi.

Tetapi, modal ini hanya akan efektif Kalau diiringi dengan kesiapan teknis dan diplomatik. Kapasitas negosiator, kecakapan dalam diplomasi publik, dan koordinasi lintas kementerian harus diperkuat. Tanpa itu, Indonesia berisiko kehilangan inisiatif dan sekadar menjadi pelengkap dalam agenda yang dirancang pihak lain.

 

Komparasi MODEL DIALOG PERADABAN

Komparasi dengan model dialog peradaban lain memberi gambaran Krusial. Alliance of Civilizations yang diinisiasi PBB, misalnya, menekankan inklusivitas Dunia, tetapi sering terjebak pada pertemuan seremonial. UNESCO Mempunyai program Intercultural Dialogue, tapi fokusnya cenderung kultural tanpa penetrasi ke kebijakan strategis.

Cek Artikel:  Quo Vadis Kolegium

Pembelajaran dari pengalaman ini adalah bahwa inisiatif lintas peradaban hanya efektif Kalau ia terintegrasi ke dalam kerangka kerja sama politik dan ekonomi yang Konkret. Inilah ruang yang Dapat diisi Indonesia-Tiongkok, membawa dimensi nilai dan etika langsung ke meja perundingan kebijakan, bukan berhenti di Pentas budaya.

Dari perspektif diplomasi ekonomi, kemitraan ini Dapat digunakan Kepada mendorong reformasi tata kelola perdagangan Dunia. Indonesia dapat memanfaatkan kedekatannya dengan Tiongkok dan pengaruhnya di dunia Islam Kepada mengusulkan skema pembiayaan infrastruktur berkelanjutan yang Tak bergantung pada instrumen utang berisiko tinggi. Dalam bidang keamanan, pembelajaran Berbarengan dapat diarahkan pada penanganan isu lintas batas seperti radikalisme, kejahatan siber, dan sengketa maritim–isu-isu yang memerlukan kepercayaan lintas budaya Kepada membangun kerja sama.

 

KELEMBAGAAN DAN DESAIN Perhimpunan

Kelembagaan menjadi kunci agar Sekalian ini Tak hanya menjadi wacana. Konsorsium riset Berbarengan universitas di Indonesia dan Tiongkok, khususnya yang berfokus pada studi Islam dan konfusianisme, dapat berperan sebagai think tank kebijakan. Hasil risetnya harus mengalir ke Perhimpunan seperti G-20, ASEAN, dan bahkan ke sidang PBB. Selain itu, pemerintah dapat mendorong keterlibatan sektor swasta dan masyarakat sipil agar dialog Tak dimonopoli oleh aktor negara.

Keberhasilan agenda ini bergantung pada desain Perhimpunan yang memastikan kepemimpinan bergilir, keterwakilan setara, dan mekanisme veto bagi Grup minoritas. Tanpa itu, risiko kooptasi tetap besar. Tetapi, Kalau dirancang dengan Berkualitas, kemitraan Islam-konfusianisme yang digerakkan Indonesia dan Tiongkok Dapat menjadi model baru bagi diplomasi multipolar yang inklusif.

Sejarah menunjukkan bahwa pertemuan antarperadaban yang berhasil Tak menghapus perbedaan, tetapi menatanya agar produktif. Pelayaran Zheng He dan pertemuan Sukarno-Mao menjadi bukti bahwa Serasi sejati dibangun di atas keberanian membicarakan perbedaan, bukan menutupinya.

Hari ini, ketika Tiongkok mendorong Dunia Civilization Initiative dan Indonesia berada di persimpangan strategis peradaban, Kesempatan itu terbuka lebar. Pertanyaannya kini adalah apakah Indonesia akan menggunakannya Kepada membentuk arsitektur Dunia yang lebih adil atau hanya menjadi tuan rumah Perhimpunan yang indah di atas kertas.

 

Mungkin Anda Menyukai