KONDISI politik Indonesia, hari ini, pada dasarnya nyaris serupa dengan situasi yang dihadapi sektor pertanian. Sama-sama sedang galau, gamang perihal kejelasan ‘status’ mereka.
Sejak berpuluh tahun lalu, keduanya merupakan tulang penyangga dari sebutan mentereng untuk Indonesia: ‘negara demokrasi’ dan ‘negara agraris’. Tak berlebihan bila sektor politik dan pertanian diekspektasikan terus bergerak maju demi menguatkan status tersebut. Tetapi, sayang, realitanya justru makin menjauh dari itu.
Sektor politik dengan segala dinamika, perangai para pelakunya, serta bumbu-bumbu lain yang tak selalu menyedapkan, belakangan makin diragukan kontribusinya dalam pembangunan demokrasi yang tegak dan lurus. Alih-alih menguatkan Indonesia sebagai negara demokrasi, praktik politik culas dari tokoh-tokohnya, akhir-akhir ini, malah dinilai semakin merusak demokrasi.
Maka, kian sering pertanyaan muncul, sampai kapan Indonesia masih pede menyebut dirinya sebagai negara demokrasi bila rongrongan dan perusakan dari dalam, yang tanpa disadari kian mengikis spirit demokrasi, terus dilakukan?
Riset yang dilakukan Economist Intelligence Unit (EIU) mengonfirmasi kekhawatiran kita soal demokrasi itu. EIU mencatat tren indeks demokrasi Indonesia di era Presiden Joko Widodo cenderung turun. Pada 2022, indeks demokrasi Indonesia hanya meraih skor 6,71, persis sama dengan nilai tahun sebelumnya atau 2021. EIU menggolongkan skor indeks tersebut sebagai demokrasi cacat (flawed democracy).
Kalau terus-terusan cacat, jangan-jangan, lama-lama, roh demokrasinya makin hilang. Negara demokrasi menjadi sebatas klaim tanpa praktik. Jangan-jangan memang benar, Indonesia sesungguhnya tengah menuju situasi seperti yang dikatakan ulama sekaligus penyair KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus dalam salah satu bait puisinya bertajuk Era Kemajuan, yakni republik rasa kerajaan.
Sama pula yang terjadi di sektor pertanian. Dengan stagnasi, bahkan kemerosotan yang terus terjadi, sektor ini belakangan makin sering dipertanyakan apakah masih pantas menjadi etalase sebuah negara yang disebut negara agraris.
Kalau dari sisi awam, sederhana saja pertanyaannya, kalau memang Indonesia (masih) negara agraris, kok sektor pertaniannya tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya seutuhnya? Negara agraris kok untuk urusan beras saja sulit banget bisa swasembada?
Eksis baiknya kita lihat data untuk menjawabnya. Terakhir, Badan Pusat Stagnantik (BPS) merilis hasil sensus pertanian 2023 tahap I yang kembali menunjukkan penyusutan sektor pertanian. Menurut data itu, jumlah usaha pertanian di Indonesia di 2023 turun 2,35 juta unit atau 7,42% jika dibandingkan dengan 2013 alias dalam 10 tahun terakhir.
Definisinya, kalau dirata-rata, setiap tahun kita kehilangan 235 ribu unit usaha pertanian. BPS menengarai seretnya regenerasi petani dan semakin sempitnya lahan pertanian menjadi penyebab utama penurunan itu. Sudah petaninya didominasi kaum tua, sebagian besar kelas gurem pula. Petani guram artinya kepemilikan lahannya kurang dari 0,5 hektare.
Lahan pertanian yang terus menyempit akhirnya berpengaruh pada kemampuan produksi dan berakhir pada tergerusnya pendapatan petani. Ketika usaha pertanian tidak lagi dianggap menguntungkan, makin engganlah anak muda atau milenial menjadi petani. Mereka berpikir rasional dengan memilih bekerja di sektor usaha nonpertanian.
Akibat berikutnya, sektor pertanian tak lagi menjadi lapangan usaha penyumbang terbesar dalam struktur produk domestik bruto (PDB) kita. Kalau lihat PDB 2022 lalu, kontribusi sektor pertanian (dan kehutanan) bahkan hanya di posisi ketiga dengan share 12,4%. Di paling atas ada industri pengolahan (18,34%) dan posisi kedua, perdagangan dan reparasi (12,85%).
Boleh jadi dalam 5-10 tahun ke depan posisi sektor pertanian itu kembali akan tergeser oleh sektor lain. Dengan data sahih bahwa pertanian tidak lagi menjadi penopang utama ekonomi nasional seperti itu, bukankah itu indikasi keagrarisan Indonesia memang semakin meluntur?
Pergantian kepemimpinan di tahun depan semestinya menjangkau dua persoalan besar ini: demokrasi dan pertanian. Demokrasi dan sektor pertanian harus dikembalikan ke rel yang benar. Perlu upaya luar biasa, memang, tapi ya begitulah tugas pemimpin bangsa. Kalau cuma bisa berpikir dan bertindak begitu-begitu saja, apa bedanya mereka dengan ‘Pak Lurah’?