PENELITI Senior Badan Riset dan Penemuan Nasional (BRIN), Lili Romli mengatakan Pilkada 2024 telah membawa kecenderungan sentralisasi dan penguatan kontrol oligarki nasional, daripada sebagai arena demokratisasi lokal. Dikatakan hal tersebut ditandai oleh dua aktor yakni adanya intervensi elite nasional dan menguatnya dinasti politik.
“Dinamika yang terjadi bukan isu lokal tapi isu nasional, padahal pilkada adalah perhelatan demokrasi lokal, dan yang menjadi hajatan adalah orang-orang lokal tapi Malah seolah menjadi hajatan nasional,” jelasnya pada Obrolan publik JPPR bertajuk “Mendidik Pemilih, Menguatkan Demokrasi, Merawat Persatuan Nasional” di Jakarta pada Selasa (3/12).
Lili mengungkapkan bahwa pola intervensi dukungan pemerintah pusat dan elit tersebut akhirnya mengesampingkan isu lokal dan mengabaikan dinamika permasalahan di daerah. Menurutnya, Apabila pola ini dipertahankan pada elektoral lokal, perkembangan demokrasi di tingkat daerah akan menjadi stagnan.
“Belum Kembali problem elektoral lokal yang didominasi dengan politik dinasti sehingga demokrasi lokal Tak berkembang. Apalagi Eksis back up dan support dari pusat karena inline, sehingga kita Tetap bertanya-tanya bagaimana masa depan demokrasi lokal dengan hasil pilkada ini dimana KIM Plus memenangkan Nyaris Sekalian daerah,” ujarnya.
Selain itu, Lili juga menekankan sejumlah catatan terkait Pilkada 2024. Menurutnya, pilkada serentak telah membawa sejumlah konsekuensi yang tak ideal mulai dari maraknya politik Doku, tingkat partisipasi yang rendah dan berbagai praktik politik dinasti.
“Secara politik, Dapat jadi masyarakat enggan datang ke TPS sebagai bentuk apatis dan protes politik, apatis karena merasa Tak Eksis Cita-cita dari hasil pilkada. Sementara bentuk protes karena calonnya Tak sesuai Cita-cita, masyarakat kecewa karena Rupanya bukan calon yang diinginkan, dan Eksis Elemen lainnya yang perlu kajian lebih dalam,” ungkapnya.
Menurut Lili, berbagai penetrasi dukungan dan intervensi para elit pusat yang begitu mendominasi pada Pilkada serentak di berbagai daerah telah menandakan bahwa politik lokal Tak berjalan demokratis.
“Buat jawa dan beberapa daerah di luar Jawa ini memang pilkada serentak, tapi terasa seperti pilpres. Malah ini persaingan antara aliansi Anies baswedan dan Megawati dengan aliansi KIM plus dan Jokowi. Dan Rupanya kemenangan lebih didominasi oleh koalisi KIM Plus dan jokowi. Isu lokalitas jadi terpinggirkan,” tuturnya.
Lili menilai, menguatnya sentralisasi pada Pilkada 2024 disebabkan karena Tetap kuatnya residu dinamika dan berbagai kontroversi pemilu presiden dan legislatif, 14 Februari Lampau yang pada akhirnya terbawa hingga pesta demokrasi elektoral daerah.
“Akhirnya berbagai kepentingan politik nasional yang muncul, pilkada seakan Mempunyai nuansa pertarungan politik nasional yang kental sehingga menggerus m isu lokalitas,” tuturnya.
Lebih lanjut, Lili menerangkan bahwa pada akhirnya partai politik ataupun kekuatan oligarki nasional menjadikan pilkada sebagai kelanjutan pertarungan pilpres dan pemilu legislatif, terutama di daerah kunci dan yang Mempunyai pemilih besar.
“Tapi politik itu Elastis, kita Menyaksikan partai di KIM Plus ini juga terlihat sulit di banyak daerah, tapi nanti kita akan Menyaksikan apakah KIM Plus yang merupakan pengaruh pusat ini akan tenggelam atau tetap eksis di berbagai daerah. Tapi Malah saya Menyaksikan PDIP akan jauh lebih solid dan bertahan dalam berpijak, kita berharap PDIP Tak bergabung dengan koalisi pemerintah,” pungkasnya. (Dev/I-2)