Inkonsistensi Pengawal Konstitusi

KEPUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak seluruh permohonan uji formil Undang-Undang Nomor 6 Mengertin 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Mengertin 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja) sangat mengecewakan. Selain jauh dari rasa keadilan, putusan terhadap gugatan uji formil lima perkara tersebut inkonsisten terhadap putusan MK sendiri pada 25 November 2021 bahwa UU Ciptaker cacat secara formil.

Kala itu, MK menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan meminta pemerintah melakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun. Maka, sangat janggal ketika perbaikan tidak dilakukan pemerintah dan malah pada Desember 2022 Presiden Joko Widodo memaksakan berjalannya UU Ciptaker itu dengan menerbitkan Perppu 2/2022 tentang Cipta Kerja, MK kini justru merestuinya.

Eksisnya dissenting opinion oleh empat dari sembilan hakim MK yang bertugas dalam lima perkara tersebut juga menguatkan kesan janggal akan sikap MK saat ini. Terlebih, seperti informasi yang dimuat di situs resmi MK, tiga hakim yang berbeda pendapat menyatakan permohonan pemohon seharusnya dikabulkan. Ketiganya ialah Wahiduddin Eksisms, Saldi Isra, dan Enny Nurbaningsih.

Cek Artikel:  Keberanian Berkorban untuk Persatuan

Eksispun hakim Suhartoyo menyampaikan seharusnya MK menyatakan permohonan para pemohon dinyatakan prematur. Selain itu, sebelum menjatuhkan putusan akhir, MK semestinya melalui putusan provisi memerintahkan pembentuk undang-undang untuk memenuhi amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

Empat dissenting opinion itu sesungguhnya bukan saja menunjukkan perbedaan dalam melihat fakta-fakta hukum dan tata cara pembentukan UU, tapi juga memperlihatkan perbedaan yang lebih mengkhawatirkan. Mau tidak mau harus dikatakan bahwa para hakim MK tidak memiliki integritas yang sama terhadap konstitusi.

Maka, tidak mengherankan jika para buruh mencurigai adanya konspirasi jahat untuk memuluskan UU Ciptaker. Hal itu termasuk dengan pemecatan hakim Aswanto yang ikut memenangkan gugatan awal.

Karena itu, kita pun mendukung rencana kelompok buruh yang akan melaporkan lima hakim yang menolak gugatan uji formil kali ini kepada Majelis Kehormatan MK. Sikap lima hakim tersebut, termasuk Ketua MK Anwar Usman yang juga adik ipar Presiden Jokowi, memberi preseden buruk ke depan.

Cek Artikel:  KPU Jangan Aneh-Aneh Kembali

Presiden dapat dengan mudahnya tidak menjalankan putusan MK dengan membuat perppu. Kedaruratan juga dapat dengan mudahnya dijadikan alasan bagi pemerintah dan DPR untuk tidak menjalankan partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation).

Memang langkah ini tidak dapat mengubah putusan. Tetapi, perlawanan seminimal apa pun harus dilakukan untuk mencegah kebobrokan MK yang lebih jauh. MK sebagai pengawal konstitusi harus hadir dengan integritas para hakimnya yang kukuh.

Selanjutnya, kita pun menuntut agar keadilan ditegakkan dalam uji materiel yang masih berlanjut untuk perkara nomor 40/PUU-XXI/2023. Perkara yang diajukan 121 pemohon itu menggugat sedikitnya 48 pasal dalam UU No 6/2023. Pasal-pasal tersebut bukan saja menimbulkan ketidakpastian hukum, bahkan ada yang jelas-jelas berpotensi menindas pekerja.

Salah satu yang digugat ialah Pasal 156 mengenai uang pesangon. Pasal itu sekaligus menjadi jalan mudah PHK karena ketentuan pesangon yang sangat kecil ketimbang ketentuan di UU Ketenagakerjaan. Dalam UU 6/2023, pegawai dengan masa kerja 24 tahun atau lebih hanya diberikan uang penghargaan 10 bulan upah.

Cek Artikel:  Simsalabim Bunyi PSI

Tetap terkait pengupahan, pemerintah juga menambahkan Pasal 88F yang benar-benar baru. Lewat pasal tersebut pemerintah pusat bisa secara absolut menentukan besaran upah buruh. Hal itu merupakan wujud nyata kebijakan sentralisasi.

Kita mendesak para hakim MK yang bertugas dalam uji materiel perkara tersebut untuk benar-benar menggunakan nurani dan menegakkan keadilan. Para hakim harus menyadari bahwa putusan atas pasal-pasal itu bukan hanya menentukan nasib pekerja, tapi juga sangat berdampak pada kualitas generasi di masa mendatang.

Data Badan Pusat Stagnantik (BPS) menunjukkan, sebanyak 37,02% penduduk Indonesia berstatus sebagai buruh, karyawan, dan pegawai pada Februari 2021. Grup pekerja ini bukan hanya menanggung hidup sendiri. Banyak yang merupakan generasi sandwich, atau menjadi gantungan hidup generasi di bawah dan juga di atasnya. Iklim kerja yang buruk sama saja dengan mencurangi bonus demografi dan tentu saja akan menghambat Indonesia maju.

 

Mungkin Anda Menyukai