Ini Penyebab Tingginya Korupsi di Tingkat Pemda

 

BANYAKNYA operasi tangkap tangan (OTT) di lingkungan pemerintah daerah (pemda), teranyar di lingkungan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) telah menunjukkan bahwa korupsi masih menjadi masalah yang serius dalam tata kelola pemerintahan. 

Baca juga : Kalsel Upayakan Pengembalian Status Bandara Dunia

Guru Besar Ilmu Politik Universitas Diponegoro sekaligus pengamat anti korupsi, Prof. Budi Setyono menjelaskan setidaknya ada beberapa faktor yang menyebabkan tingginya tindak korupsi dalam bentuk suap yang terjadi di lingkup pemda. 

“Pertama, masih kuatnya motivasi pejabat untuk mendapatkan keuntungan pribadi melalui praktik korupsi, terutama di sektor-sektor yang berpotensi menghasilkan uang. Kedua, masih minimnya transparansi dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan anggaran atau investasi sehingga memudahkan praktik korupsi,” jelasnya kepada Media Indonesia pada Senin (8/10). 

Cek Artikel:  Golkar Sebut Kabinet Gemuk Prabowo-Gibran Pandai Lebih Lekas Jalankan Fungsi Pemerintah

Selain itu, Budi mengatakan pengawasan yang lemah secara internal dan eksternal juga turut berkontribusi pada peningkatan tindakan korupsi sehingga sulit terdeteksi sejak dini. Selain itu, faktor budaya yang kerap kali memuji pejabat yang bersalah hingga rakyat yang tidak kritis turut membuat para koruptor kerap kali tidak jera. 

Baca juga : Polda Kalsel Diminta Usut Tuntas Kasus Dugaan Korupsi PTPN XIII

“Di Indonesia masih ada masyarakat yang menganggap bahwa penyalahgunaan kekuasaan adalah hal yang biasa. Bahkan, sanksi yang dikenakan bisa ditawar sehingga seolah menciptakan rasa impunitas, contoh konkritnya lama hukuman koruptor ratusan milyar bahkan triliun sama dengan hukuman maling ayam atau orang yang sekedar memelihara hewan yang dilindungi,” tegasnya. 

Cek Artikel:  Selain 3 Hakim, Kejagung Tangkap Seorang Pengacara Terkait Kasus Suap Pembebasan Ronald Tannur

Budi menilai, praktik suap dan gratifikasi adalah tindakan pidana korupsi termudah yang dapat dilakukan oleh para koruptor, sehingga tidak perlu perencanaan yang canggih dan rumit untuk menerima uang suap atau gratifikasi, sayangnya sistem pencegahan korupsi masih sangat minim. Hal itu yang kerap kali membuat praktik tersebut berjamuran di kalangan pemerintah daerah. 

“Pejabat hanya perlu jual kewenangan atau perijinan, berbeda dengan grand corruption seperti kasus korupsi e-KTP, Hambalang, BLBI, Asabri, atau Bank Century, yang membutuhkan rekayasa perencanaan dan pelaksanaan yang cukup rumit,” tuturnya. 

Budi menegaskan perlu upaya yang serius dalam mencegah dan menindak kasus-kasus korupsi pada tataran pemerintah daerah, pertama mencegah political corruption dengan menekankan transparansi rekrutmen politik dan menghilangkan dimensi bureaucratic corruption melalui penerapan prinsip tata kelola e-government. 

Cek Artikel:  Hari Maritim Dunia Apa Itu dan Sejarahnya

“Dapat dicegah dengan mempermudah dan memperjelas sistem rekrutmen pejabat politik di daerah, para calon bupati/walikota/anggota DPRD harus diseleksi dalam suatu jenjang rekrutmen yang transparan dan sistematis. Kita juga harus memodernisasi tata kelola pemerintahan daerah dengan mengadopsi e-government dan kecerdasan buatan (artificial intelligent) dalam pelayanan publik,” tandasnya. (Dev/M-4)

Mungkin Anda Menyukai