Inggris yang Pancasilais

IN UK, a Christian king, a Hindu prime minister, a Jewish home secretary, and a muslim mayor of London, let’s hope for the best…

Narasi itu bertebaran di media sosial akhir-akhir ini. Sang pembuat tampak bersemangat menulis dan mengunggahnya. Saking bersemangatnya, saking senangnya, dia mengakhiri kalimat dengan tiga finger heart. Emoji dengan menyilangkan ibu jari dan telunjuk hingga membentuk simbol hati. Dia tengah berbunga-Kembang. Begitu juga mereka yang menyebarkannya.

Narasi tersebut kira-kira artinya begini: Di Inggris, raja Kristen, perdana menteri Hindu, menteri dalam negeri Yahudi, dan wali kota London muslim, semoga menjadi yang terbaik… Di bawahnya, terpampang foto PM terpilih Inggris Rishi Sunak menghadap dan bersalaman dengan Raja Charles III.

Sebagaimana negara-negara Eropa lain, kebanyakan penduduk Inggris penganut kristiani. Dari jumlah populasi Inggris dan Wales per Juni 2022 sebanyak 68.557.382 jiwa, 51% di antaranya beragama Kristen. Mereka banyak, lebih banyak ketimbang pemaham ateis sebanyak 38,4%, Islam 5,7%, Hindu 1,7%, dan Keyakinan lainnya.

Sebagaimana negara-negara Eropa lain, mayoritas penduduk Inggris ialah bule. Lebih dari 80% berkulit putih. Jumlah mereka jauh lebih banyak daripada etnik-etnik lainnya dari Asia Selatan, kulit hitam, ras campuran, dan Tionghoa.

Cek Artikel:  Janji yang Meleset

Tetapi, di Inggris, mayoritas bukan berarti segalanya. Tak berarti pula Grup minoritas lantas menjadi Kaum kelas dua, apalagi kelas tiga. Hak mereka relatif sama, Bukan Eksis pembedaan yang berarti, juga tak Eksis sekat tebal bagi setiap masyarakat Kepada unjuk eksistensi.

Narasi di media sosial setelah Sunak terpilih menjadi perdana menteri, Senin (24/10), mengonfirmasi hal itu. Sunak bukanlah orang Asal Inggris. Triliuner berusia 42 tahun itu Kaum keturunan berdarah India. Istrinya, Akshata Murty, bahkan Tetap Kaum negara India.

Sunak baru saja menggoreskan sejarah sebagai PM Inggris pertama dari kulit berwarna dan termuda dalam 200 tahun. Dia mengakhiri Kendali kalangan mayoritas di Downing Street 10 selama dua abad lebih. Lamban, Lamban sekali. Terakhir, PM dari minoritas ialah Benjamin Disraeli pada 1868. Disraeli berasal dari keluarga Italia yang awalnya beragama Yahudi Lewat pindah ke Kristen.

Dengan terpilihnya Sunak menggantikan Liz Truss yang mengundurkan diri setelah menjabat hanya selama 44 hari, Podium kepemimpinan di Inggris betul-betul berwarna. Seperti dalam narasi di atas, Inggris kini dipimpin Raja Charles III yang beragama Kristen dan Sunak yang beragama Hindu sebagai pengendali pemerintahan.

Cek Artikel:  Warung Madura

Lewat, Eksis Grant Shapps, menteri dalam negeri yang berasal dari keluarga Yahudi. Shapps belum Lamban menggantikan Suella Braverman, penganut Buddha, yang mundur hanya gara-gara salah kirim e-mail.

Inggris juga punya Sadiq Khan. Muslim keturunan Pakistan itu menjadi orang nomor satu di London Kepada masa jabatan keduanya. Sejak 2000, wali kota London dipilih langsung oleh Kaum kota. Boleh dibilang legitimasinya lebih kuat, lebih mengakar. Berbeda dengan perdana menteri yang menjadi jatah partai penguasa di parlemen.

Inggris kiranya sedang memamerkan diri sebagai taman sari keberagaman. Taman akan Elok Kalau dihiasi banyak tanaman dan Kembang beraneka Corak. Pun, kebinekaan di sebuah negara akan indah Kalau Segala kalangan diberi kesempatan mempertontonkan daya pikatnya. Tak Acuh dari etnik mana, agamanya apa, Corak kulitnya apa. Yang Krusial mereka punya kapasitas, Mempunyai kemampuan, Kepada memimpin negara.

Tak berlebihan kalau kita sebut Inggris kini layak menjadi teladan bagaimana mengelola keberagaman dan perbedaan. Kalau dulu Amerika Perkumpulan kita anggap sebagai embahnya demokrasi, bolehlah kita sejenak mengalihkan pandangan.

Inggris Bukan punya dasar negara yang namanya Pancasila laiknya kita. Mereka tak Mempunyai lambang negara semacam Garuda Pancasila dengan Moto Bhinneka Tunggal Ika. Tetapi, realitasnya, mereka lebih serius mengamalkan nilai-nilai seperti yang Eksis di Pancasila.

Cek Artikel:  Sumpah Bajakan

Sementara itu, kita sebagai negara pemilik Pancasila? Harus kita katakan, kita terkadang Tetap jauh dari paham Pancasila, kerap gagap menyikapi prinsip mulia Bhinneka Tunggal Ika. Suka Bukan suka, mau Bukan mau, harus kita akui kita sulit lepas dari jerat politik identitas yang jahat.

Dulu, dalam kompetisi kepala daerah di sebuah daerah, Eksis tokoh yang habis-habisan diserang karena garis keturunan dan agamanya. Dulu, banyak yang menuduh Eksis kontestan menggunakan politik identitas. Tuduhan itu, stigma itu, Lalu dipelihara hingga sekarang dan entah Tamat Ketika.

Tetapi, kini, para penuduh itu Malah menyoal identitas yang dulu dituduh menggunakan politik identitas. Soal etniklah, soal silsilah keturunanlah, Segala dikapitalisasi demi tujuan politik, demi memuaskan libido kekuasaan. Gilanya Kembali, di pemilihan ketua OSIS pun Keyakinan Tetap dipermasalahkan.

Inggris sedang mengajarkan kepada kita bahwa Kepada menjadi bangsa besar, kubur dalam-dalam pertengkaran identitas. Ajaran itu kian relevan tatkala rivalitas jelang Pemilu 2024 mulai panas. Inggris memang tak mengenal Pancasila, tetapi soal memanage perbedaan, menyikapi kemajemukan, mereka kiranya lebih Pancasilais daripada kita.

Mungkin Anda Menyukai