PERKEMBANGAN covid-19 di Indonesia mencemaskan. Tren grafi k epidemiologi terus meningkat, sedangkan puncak pandemi belum dapat ditentukan. Akibatnya, prediksi saat membaiknya pandemi belum dapat diperkirakan. Lebih mencemaskan lagi, karena data menunjukkan penyebaran covid-19 di negeri ini lebih masif jika dibandingkan dengan negara tetangga.
Dengan jumlah tes yang lebih sedikit, ternyata jumlah kasus positifnya relatif lebih besar. Ketika ini, jumlah kasus telah melebihi 72 ribu dengan tes rate 3,712 per 1 juta populasi dan positive rate 264 per 1 juta populasi. Malaysia yang tes rate-nya tujuh kali lipat lebih banyak, positive rate-nya hampir sama dengan Indonesia, yaitu 269 per 1 juta populasi.
Banyak faktor berperan pada kondisi ini. Meminjam Epidemiological Triangle Model, tiga determinan menentukan perkembangan pandemi infeksi, yaitu agent atau kuman penyebab (jenis kuman, virulensi, load), host atau kondisi tubuh yang terpapar (jenis kelamin, usia, daya tahan tubuh, lifestyle, persepsi, dan pengetahuan kesehatan), serta environment atau lingkungan (suhu, kelembapan, dan letak geografi).
Keseimbangan ketiga faktor ini menentukan perlangsungan pandemi. Sementara itu, Weick’s theory menekankan krusialnya keberadaan dan peredaran informasi. Informasi yang tepat akan membentuk pengetahuan, persepsi, dan opini yang tepat dan mengarahkan kepada tindakan yang tepat (cues to action). Sebaliknya, informasi yang keliru akan melahirkan tindakan keliru, dan bahkan berbahaya.
Dalam pandemi covid-19, WHO mengingatkan pentingnya peranan informasi yang akurat serta bahaya infodemi. Bahkan, bahaya infodemi disejajarkan dengan bahaya pandemi. Popular dictionary merujuk infodemi sebagai tumpah ruahnya beragam informasi, kebanyakan di antaranya tidak benar atau tidak dapat diverifi kasi.
Di antara infodemi covid-19: musim panas dapat membunuh virus, jika dapat menahan napas 10 detik berarti bebas covid-19, memakan bawang putih, jahe, dan serai mematikan covid-19, atau pandemi hanya permainan bisnis belaka.
Infodemi menghantam, seperti tsunami, menyerang setiap elemen masyarakat. Karena masifnya, masyarakat kesulitan memilah informasi yang benar. WHO menegaskan infodemi saat ini sudah sedemikian luas sehingga diperlukan tindakan global dan terkoordinasi untuk penanganannya.
Dari pandemi ke infodemi
Infodemi bukan baru terjadi pada era covid-19. Istilah ini pertama kali diperkenalkan Professor David Rothkopf saat outbreak SARS 2003. Sejak itu, infodemi selalu menemani setiap outbreak termasuk H1N1, ebola, dan zika.
Tetapi, jika dibandingkan dengan infodemi sebelumnya, infodemi covid-19 ini lebih masif dan berpengaruh. Hanya dalam periode empat bulan setelah pandemi, social media specialist mencatat beredarnya lebih dari 3 miliar postingan dan lebih 100 juta interaksi yang menggunakan keyword atau hastag covid-19.
Ahli ini menambahkan, inilah pertama kali dalam sejarah, manusia dari ratusan negara dan kebangsaan terkespose dan berinteraksi secara masif pada satu topik tunggal.
Infodemi saat ini umumnya menyentuh empat domain utama, yaitu asal atau penyebab, pencegahan, diagnosis, dan pengobatan covid-19. Topiknya amat beragam, mulai spekulasi covid-19 merupakan bagian dari senjata biologis (bio-weapon) yang terlepas, tanpa sengaja dari laboratorium, conspiration theory, spy operation, population control, hingga, penawaran berbagai bahan, alat, atau zat yang diklaim mampu menyembuhkan covid-19 (miracle cures).
Penyebarannya lewat media massa, media sosial, dan internet; secara sengaja maupun tidak. Penyebarnya beragam, mulai masyarakat biasa hingga tenaga profesi medis, scientist, pemimpin negara, dan lembagalembaga formal maupun nonformal. Infodemi sangat berpotensi menciptakan kerancuan informasi (misinformation), yang berujung pada kerancuan persepsi dan tindakan (misleading perception and action).
Potensi kerancuan terjadi akibat beberapa kondisi. Pertama, saat ini terjadi shift of information control dari media tradisional ke media sosial/internet. Sebelum era internet, informasi kesehatan umumnya dirilis surat kabar, radio, dan televisi.
Sebelum dirilis, setiap informasi kesehatan menjalani proses pengeditan, check and re-check yang ketat. Eksis proses skrining dan kualitas kontrol. Informasi yang dirilis dapat dipertanggungjawabkan dan memiliki nilai keakuratan yang baik.
Pada era sekarang, media sosial dan internet mengambil alih peranan media tradisional. Siapa saja yang memiliki akses internet dapat mendistribusikan informasi apa pun. Enggak ada proses standar skrining, editing, dan check and re-check. Seorang ibu rumah tangga dapat mem-posting ramuan bawang putihnya dapat menyembuhkan covid-19 atau seorang remaja mengklaim bahwa dengan mengetuk dada diagnosis covid-19 dapat ditegakkan.
Siapa saja dapat menjadi ‘ahli’ dan memberikan nasihat dan pendapat kesehatan. Maka, tidak mengherankan bila issu quality, validity, dan reliability menjadi keterbatasan utama informasi kesehatan di media sosial.
Kedua, health information illiteracy. Enggak semua masyarakat memiliki latar belakang pengetahuan yang memadai untuk memahami prinsip dan kaidah ilmiah bidang kesehatan yang menjadi standar diterima atau tidaknya sebuah narasi atau tindakan kesehatan.
Narasi atau tindakan dapat diterima apabila memenuhi kaidah ilmiah yang disepakati. Buat membuktikan klaim manfaat sebuah bahan, misalnya, perlu dilakukan uji in vitro, in vivo, dan uji klinis.
Ketiga uji ini memakan waktu minimal 10 tahun dengan standar uji yang ketat. Bila tidak melewati uji klinis, bahan dianggap tidak memiliki bukti klinis dan tidak dapat diterima. Bahan yang lolos uji klinis, tidak serta-merta direkomendasikan. Eksis metode penilaian kelaikan ilmiah lain yang dikenal sebagai evidencebased medicine.
Dengan metode ini, berbagai bahan yang telah lolos dalam uji klinis dievaluasi efekHasil evaluasi menghasilkan empat rekomendasi, yaitu rekomendasi kategori A (sangat direkomendasikan), B, C, atau D (kurang/ tidak direkomendasi). Rekomendasi kategori A biasanya diberikan kepada bukti klinis yang diperoleh dari studi metaanalysis, systematic review, dan randomized control, sedangkan pendapat ahli yang tidak disertai uji klinis lebih mengarahkan pada kategori D.
Ironisnya, masyarakat kebanyakan mengalami post-truth syndrome. Mereka lebih tertarik pada narasi yang bermuatan harapan, sederhana (hopeful and shircut), dan mengandung pengalaman emosional dan pribadi jika dibandingkan dengan fakta ilmiah. Apalagi bila narasi tersebut dilontarkan prominent people, seperti dokter, selebritas, atau politikus.
American Journal of Infection Control melaporkan, postingan fakta ilmiah virus zika dari WHO hanya memiliki 43 ribu views. Sementara itu, postingan misinformation berupa medical ploy atau hoaks pada site yang serupa memperoleh 530 ribu views.
Dampak misinformasi
Infodemi yang tidak tepat memiliki berbagai bentuk. Pertama, inadvertent reporting of mistake, yaitu informasi keliru akibat kesalahan penulisan dan edit informasi. Kedua, repeated rumor, berupa penyebaran terusmenerus dan luas dari sebuah rumor yang mengubah rumor tersebut menjadi seolah-olah nyata.
Ketiga, conspiracy issue, yaitu pengangkatan isu secara sengaja untuk tujuan tertentu. Keempat, false atau early statement of medical professionals, yakni profesi medis merilis informasi kesehatan yang sifatnya prematur dan inkonklusif atas beragam tujuan.
Seluruh bentuk infodemi ini berpotensi menimbulkan biasbias persepsi dan pengambilan keputusan pada berbagai tingkat an. Pada awal pandemi, bertebaran informasi yang menarasikan bahwa covid-19 tidak lebih dari flu biasa, tidak berbahaya, dan dapat disembuhkan dengan mudah.
Beberapa negara terlena dengan narasi ini, termasuk Iran dan Indonesia. Kedua negara ini tidak mengambil stance yang tepat dan aktif pada awal-awal pandemi dan cenderung menyepelekan. Alhasil, hingga kini kedua negara ini masih bertengger pada urutan 27 besar negara dengan jumlah kasus terbesar.
Isu chloroquin juga menyeruak. Hanya berdasar informasi terbatas dan anecdotal evidence, beberapa kepala negara berani mengklaim dan mempromosikan chloroquin sebagai obat covid- 19, dan mengaku telah memesan jutaan obat tersebut untuk rakyat. Padahal kini, penelitian chloroquin telah dihentikan karena tidak adanya bukti manfaat obat ini.
Pada level individu, efek infodemi juga menohok. Di Iran, lebih 700 orang meninggal dunia setelah menengak cairan metanol akibat infodemi manfaat metanol di media sosial. Di Indonesia, masyarakat dipapar dengan informasi manfaat bawang putih, jahe, kunyit, dan batok kelapa dalam menyembuhkan covid-19.
Akhirnya, produk-produk ini laris dan dicari di pasaran. Bahkan, penggunanya ada yang confident berkumpul dengan penderita covid-19 karena percaya keampuh an produk ini.
Selain itu, merebak informasi bahwa covid-19 hanya akal-akalan petugas medis. Petugas medis mendapat kompensasi jutaan rupiah untuk setiap kasus yang ditangani, dan dilaporkan meninggal. Akhirnya, dibeberapa tempat, petugas medis ditolak, dimusuhi, dan diancam. Padahal, informasi ini tidak benar.
Aksi sinergis
WHO mengakui perang saat ini bukan hanya terhadap pandemi, melainkan juga infodemi. Penanganan pandemi tidak berjalan efektif bila isu infodemi tidak d iretas. WHO menegaskan penanganan infodemi harus berlangsung secara global dan terkoordinasi.
Pada tingkat global, lembaga ini telah mendirikan sebuah tim ‘mythbuster’ yang bekerja sama dengan berbagai provider media sosial untuk men-tackle isu infodemi. Sayangnya, langkah strategi ini tidak diikuti pada tingkat lokal.
Pada tingkat lokal, mayoritas aktivitas masih berkaitan dengan penyediaan ventilator, obatobatan, swab, dan tracing. Aksi melawan infodemi pada media sosial masih belum bergaung.
Idealnya, harus ada tim khusus pada level negara hingga level kecamatan yang bertugas menghandle isu infodemi. Bila perlu, infl uencer dapat dilibatkan. Bila pemerintah bisa membayar mahal infl uencer untuk hal berbau politik, kenapa mereka tidak bisa dimanfaatkan untuk domain kesehatan, khususnya di era covid-19 ini?
Pada tingkat individu, budaya fact-checking (mengecek fakta) dan debunking (menyanggah) perlu dimasyarakatkan. Masyarakat perlu dilatih untuk kritis, dan melakukan cross-check atas informasi krusial yang diterimanya. Serta,mengambil stance (sikap) tepat atas informasi tersebut.
Fact-checking dan debunking mungkin tidak selalu menghasilkan kesimpulan keakuratan informasi, tetapi paling tidak memberikan pemahaman yang lebih baik tentang konteks dan konten sebuah informasi. Definisinya, masyarakat dibimbing untuk tidak hanya menjadi objek, tetapi juga menjadi subjek dan pengontrol informasi yang diterimanya.