Industri Hukum

GUBERNUR Kalimantan Barat Sutarmadji pusing tujuh keliling lantaran anak buahnya yang tengah mengerjakan beberapa proyek pemerintah provinsi bolak-balik diperiksa sejumlah oknum jaksa. Padahal, indikasi rasuah tidak ada. Tetapi, jaksa keukeuh dalam proyek tersebut terdapat dugaan tindak pidana korupsi. Meski dinyatakan terdapat praktik rasuah, jaksa tak pernah memberikan kepastian hukum. Alih-alih dibawa ke persidangan, status tersangka pun tak pernah dikenakan dari sang jaksa.

Gubernur Sutarmadji menduga sejumlah oknum jaksa tersebut hanya mencari remah-remah rupiah dari sebuah proyek. Hal itu kemudian diadukan ke Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD. “Dibilang melanggar hukum, kamu korupsi ini, diperiksa terus, enggak pernah ada keputusan apakah tersangka atau tidak, ya hanya diperas, polisi juga melakukan hal yang sama,” kata Mahfud di Yogyakarta, pekan silam.

Menurutnya, fenomena jaksa atau aparat penegak hukum seperti itu disebut ‘industri hukum’. Hukum diperjualbelikan untuk kepentingan penegak hukum, bukan kepentingan penegakan hukum. Kasus yang sama terjadi Kabupaten Batu Bara, Sumatra Utara. Oknum jaksa berinisial EKT diduga memeras seorang guru yang anaknya terjerat kasus narkoba. Video pemerasannya pun viral. Keluarga dari tersangka diminta menyiapkan uang senilai delapan puluh juta rupiah agar kasusnya diubah menjadi pengguna narkotika bukan pengedar.

Cek Artikel:  Ma Olle Salamet Tengka Salana

EKT dimintai keterangan oleh Bidang Pengawasan Kejati Sumut terkait kronologis atas penanganan perkara anak dari Sarlita yang terlibat di kasus narkoba. Kejaksaan Akbar mencopot oknum jaksa dari Kejaksaan Negeri Batu Bara inisial EKT. Sepatutnya sang jaksa tak hanya dipecat, tetapi juga dipidanakan karena diduga memeras. Bila terbukti memeras, tentu saja sanksi hukumnya harus lebih berat dari warga masyarakat biasa. Yang masuk kategori ‘industri hukum’, tak hanya memeras, menajamkan hukum hanya kepada salah satu kelompok, tetapi menumpulkan hukum kepada pihak lain yang notabene masih satu geng dengan penegak hukum.

Femonena ‘industri hukum’ ialah sudah menjadi rahasia umum di kalangan aparat penegak hukum di Tanah Air. Bila zaman dulu oknum aparat yang memainkan hukum tak bisa dijamah hukum, bahkan terus melancarkan aksi-aksinya, kini seiring Revolusi Industri 4.0 ketika dunia digital berada dalam genggaman semua orang, warga yang dirugikan tinggal mem-posting rekamannya di media sosial. Jurus menyebarkan rekaman praktik lancung sangat tokcer. No viral no justice, itulah ungkapan yang kini beken. Kepada menggapai keadilan, cukup dengan menyebarkannya di media sosial.

Cek Artikel:  Marapi bukan Serenade Tengah

Indonesia ialah negara hukum (rechsstaat), bukan negara kekuasaan (machstaat). Ketentuan sebagai negara hukum termaktub dalam Pasal 1 ayat 3  UUD 1945 yang menyebutkan ‘Negara Indonesia adalah Negara Hukum’. Dengan demikian, hukum harus menjadi panglima dalam pengambilan keputusan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tetapi, jika bergeser politik (kekuasaan) menjadi panglima, bisa dipastikan akan rusak sendi-sendi berbangsa dan bernegara. Karena itu, sistem hukum di Republik ini harus dibangun (law making). Kagak cuma membangun sistem hukum, dibuat dengan kata-kata yang ideal, tetapi juga hukum harus ditegakkan seadil-adilnya (law enforcing).

Prinsip negara hukum ditopang oleh rule of law, negara harus diperintah oleh hukum, bukan keputusan-keputusan pejabatnya secara individu dengan semau gue. Rule of law, menurut AV Dicey ditandai oleh tiga hal, pertama, supremacy of law, hukum menjadi pedoman tertinggi untuk warganya. Alhasil, pemimpin tertinggi negara yang sesungguhnya bukanlah pejabat yang tertinggi, tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum yang tertinggi. Seluruh rujukan perundang-undangan mengacu kepada landasan konstitusional, yakni UUD 1945.

Cek Artikel:  Pensiunan Akbar

Kedua, equality before the law, persamaan dalam hukum. Jabatan dalam sebuah negara boleh tinggi, tetapi di mata hukum semuanya sama. Kagak boleh ada yang merasa kastanya lebih tinggi sehingga tidak terjamah oleh hukum. Karena itu, dalam sebuah negara hukum diharamkan terjadinya tindakan diskriminatif dalam hukum. Ketiga, due process of law, dalam negara hukum berlaku asas legalitas, segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis.

Kagak ada jalan lain bagi Indonesia untuk menjadi negara besar. Besar bukan salah satu populasi terbesar, melainkan di dalamnya ada kepastian hukum yang menjadi sandaran kehidupan warganya. Kagak sekadar kepastian hukum, tetapi juga keadilan hukum yang menjadi mahkota bagi Indonesia sebagai negara besar. Industri hukum merusak negara hukum.

Ibarat ikan, tubuhnya rusak dimulai dari kepalanya. Demikian pula hukum, aparatur tertinggi di atasnya harus menjadi contoh. Sejumlah hakim agung yang terkena operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan pembusukan terjadi dari atas. OTT hakim agung membuktikan Industri Hukum ugal-ugalan di Tanah Air. Begitunya industri hukum diakhiri. Tabik!

Mungkin Anda Menyukai