DISMENORE atau nyeri haid sering dialami perempuan selama masa menstruasi. Kondisi ini ditandai dengan kram di perut bagian bawah yang muncul sebelum atau saat menstruasi. Pada beberapa wanita, dismenore dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Indonesia dikenal memiliki kekayaan obat bahan alam yang didukung oleh data empiris dari pustaka dan para penyehat tradisional (Hattra). Ketika ini, terdapat sekitar 280.000 Hattra dari 1.086 etnis yang tersebar di seluruh provinsi. Hal ini disampaikan oleh Peneliti Ahli Istimewa di Organisasi Riset Kesehatan (ORK) Badan Riset dan Penemuan Nasional (BRIN) Lucie Widowati.
Lucie menjelaskan beberapa faktor yang dapat memicu atau memperburuk dismenore, antara lain perubahan gaya hidup, kebiasaan makan yang tidak sehat, kurangnya aktivitas fisik, tingkat stres yang tinggi, dan gaya hidup yang tidak banyak bergerak.
Baca juga : BRIN Dorong Percepatan Riset untuk Obat-Obatan Tradisional
“Dismenore disebabkan oleh peningkatan prostaglandin uterus yang berlebihan, yang menyebabkan peningkatan tonus dan kontraksi uterus. Apabila tidak ditangani, dismenore dapat menyebabkan masalah kesehatan lain seperti kecemasan, depresi, infertilitas, kehamilan ektopik, dan kista,” kata Lucie, Kamis (22/8).
Lucie menguraikan bahwa dismenore terbagi menjadi tiga kategori, ringan, sedang, dan berat. Dismenore ringan tidak membatasi aktivitas sehari-hari dan tidak memerlukan penggunaan analgesik. Dismenore sedang mempengaruhi aktivitas sehari-hari dan membutuhkan analgesik untuk mengurangi nyeri.
“Sedangkan dismenore berat sangat membatasi aktivitas dan tidak merespons analgesik, seringkali disertai gejala lain seperti muntah atau pingsan,” imbuh dia.
Baca juga : 5 Manfaat Daun Sirih untuk Kesehatan
Penanganan dismenore dapat dilakukan secara konvensional, melalui obat bahan alam, pemberian suplemen, serta metode non-farmakologis seperti kompres panas, relaksasi pernapasan, dan yoga.
“Di Indonesia, riset terhadap tumbuhan obat dan jamu telah dilakukan oleh Kementerian Kesehatan. Dari 405 etnis dan 2.354 Hattra, dihasilkan sekitar 30.000 ramuan dari 34 provinsi untuk 77 keluhan kesehatan. Data ini dapat dikaji secara ilmiah untuk pengembangan formula jamu yang potensial sebagai terapi,” tegas Lucie.
Demi dismenore, data empiris menunjukkan bahwa dari 2015 hingga 2017, telah diidentifikasi 339 ramuan dari 73 etnis di 24 provinsi, dengan 123 spesies tanaman obat. Delapan di antaranya sering digunakan di berbagai provinsi dan etnis, yaitu kunyit, jahe, henna, sambiloto, asam jawa, sirih, sereh, dan handeleum.
Baca juga : 2 Sisi Kecubung, Tumbuhan dengan Zat Halusinogen yang Bisa Jadi Obat Sekaligus Racun
Lucie juga menyampaikan bahwa tanaman-tanaman tersebut telah memiliki data uji pra-klinik dan beberapa di antaranya telah diuji klinis pada manusia. Tanaman seperti jahe, sereh, serta jamu kunir-asem dikenal luas di Indonesia sebagai solusi herbal untuk gangguan haid.
Menurut data Dysmenorrhea Market Report 2023 – 2032, prevalensi dismenore terus meningkat. Hal ini menunjukkan perlunya pengembangan produk yang efektif dengan efek samping minimal, seperti obat dari bahan alami.
“Obat-obatan konvensional seperti Non-Steroidal Anti-Inflammatory Drugs( NSAID) memiliki efek samping pada lambung. Oleh karena itu, diperlukan produk alami yang dapat menjadi alternatif,” harap Lucie.
Produk pasar untuk gangguan haid saat ini sudah banyak, tetapi produk seperti Kiranti yang sudah beredar lebih dari 20 tahun dapat dijadikan model untuk pengembangan formula jamu dismenore.
“Pengembangan jamu untuk dismenore berdasarkan data etnofarmakologi harus mempertimbangkan keamanan, manfaat, dan rasionalitas formula. Pengaruh farmakologis seperti antiinflamasi, analgesik, antikonvulsan, atau peningkatan endorfin sangat penting dalam hal ini,” ujarnya. (H-3)