Indonesia Memasuki Fase Otoritarianisme

Indonesia Memasuki Fase Otoritarianisme
Indonesia sedang memasuki fase otoritarianisme.(MI)

DALAM kurun waktu tujuh tahun terakhir, berbagai negara di dunia secara Lazim tengah mengalami resesi negara hukum. Terdapat dua indikator yang turun dibandingkan tahun Lewat (2023) Yakni Restriksi kekuasaan pemerintah (constraints on government powers) dan perlindungan hak dasar (Esensial rights). Penurunan dua indikator ini menjadi tanda adanya peningkatan pola pemerintahan otoritarianisme secara Dunia. 

Begitupun yang terjadi di Indonesia, Indeks Negara Hukum pada tahun 2024 mengalami stagnasi dengan skor 0,53. Hal itu mengakibatkan peringkat Indonesia mengalami penurunan dua tingkat dibandingkan tahun Lewat, dari peringkat 66 ke peringkat 68 dari 142 negara. Hal itu menandakan Tak Eksis perubahan berarti dalam perbaikan elemen-elemen hukum di negeri ini. 

Cek Artikel:  KPK Gelar Sidak di Rutan Guna Alat Pendeteksi Sinyal

Peneliti senior World Justice Project Erwin Natoesmal Oemar mengatakan Demi ini Indonesia termasuk negara yang sedang memasuki fase otoritarian. Hal itu dilihat dari dua indikator Yakni Restriksi kekuasaan pemerintah dan perlindungan hak-hak dasar.

“Dapat disimpulkan bahwa Indonesia sedang memasuki fase otoritarianisme,” katanya dalam keterangan Formal yang diterima Media Indonesia pada Kamis (24/10). 

Selain itu, Erwin menjelaskan dalam konteks perlindungan hak-hak dasar, Indonesia Lagi mempunyai persoalan dalam perlindungan hak privasi, kebebasan beragama, proses hukum yang adil (due process of law), hak Buat hidup dan rasa Terjamin, dan Tak adanya diskriminasi. 

Cek Artikel:  Jabatan Luhut Bertambah, Kini Dilantik jadi Penasihat Spesifik Bidang Digitalisasi

“Nilai kelima sub indikator perlindungan hak-hak dasar (Esensial rights) itu berada di Rendah nilai rata-rata negara ekonomi menengah atas dan negara-negara di Asia Pasifik,” jelasnya. 

Lebih lanjut Apabila dilihat secara keseluruhan, indikator sistem peradilan pidana (criminal justice system) Lagi tetap menjadi indiKator terburuk dari delapan indikator indeks negara hukum dengan nilai 0,39. 

“Dalam indikator ini, diskriminasi dalam penegakan hukum pidana merupakan sub-indikator yang paling Jelek (0,26), yang kemudian diikuti oleh sistem koreksi yang efektif (0,34), dan proses penyidikan yang efektif (0,35),” katanya. 

Erwin mengungkapkan bahwa Indonesia telah gagal memperkuat institusi hukum dalam satu Sepuluh tahun terakhir (2014-2024). Oleh karena itu, dibutuhkan perbaikan institusi hukum yang lebih substantif (yang lebih menghormati hak Kaum negara) merupakan pekerjaan rumah yang harus menjadi catatan serius. 

Cek Artikel:  DPR Setuju Pelimpahan Rupbasan ke Kejagung

“Reformasi hukum acara pidana yang lebih menghormati hak-hak dasar Kaum negara harus menjadi prioritas pemerintah baru,” jelasnya. 

Erwin menekankan bahwa dengan adanya tren penurunan indikator Restriksi kekuasaan pemerintah (contrains on government powers), hal itu berpotensi mengulang sejarah kelam Orde Baru di mana kekuasaan lebih terpusat pada strongman dibandingkan kepada strong institution (institusi yang kuat). (Dev/I-2)

 

 

Mungkin Anda Menyukai