Indonesia (Ingin) Kuat

“KITA harus tekun memberi tuntunan dan teladan, harus Tak jemu-jemu memberi penerangan dengan Langkah yang mudah dimengerti, tetapi dapat dirasakan faedahnya, agar tumbuh kepercayaan kepada diri sendiri.”

Demikian salah satu kutipan bijak dokter Soetomo, salah satu pendiri Boedi Oetomo, dalam Naskah Dokter Soetomo, Pemikiran dan Perjuangannya yang diterbitkan Museum Kebangkitan Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 2013.

Hari ini bangsa Indonesia memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) ke-117. Perhelatan itu sangat Krusial Buat merefleksi Kelahiran Boedi Oetomo, organisasi pergerakan pertama yang didirikan Soetomo dan para pelajar STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen, atau Sekolah Pendidikan Dokter Pribumi) pada 20 Mei 1908.

Anak-anak muda yang tergabung dalam Boedi Oetomo memilih Buat keluar dari Area nyaman sebagai Penduduk pribumi yang mengenyam lembaga pendidikan elite di Batavia. Lembaga itu didirikan pada 1851 oleh pemerintah Hindia Belanda.

Boedi Oetomo berpikir melampaui Era mereka. Mereka Bimbang dengan nasib bangsa di Rendah kolonialisme. Mulanya, mereka bergerak dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan dan pengajaran.

Tetapi, seiring dengan berjalan waktu dan tantangan yang dihadapi, mereka bergerak dalam sosial, ekonomi, kebudayaan, dan politik.

Boedi Oetomo memang bukan organisasi politik. Tetapi, pemikiran-pemikiran mereka Pandai mengobarkan semangat nasionalisme di kalangan bumiputra. Salah satunya, mereka membentuk Komite Nasional Buat pemilihan Personil Volksraad (Dewan Rakyat).

Cek Artikel:  Diskriminasi Guru PAUD

Tugas Penting Dewan Rakyat ialah memberikan Petunjuk politik kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Selain itu, Volksraad berfungsi sebagai Lembaga bagi masyarakat pribumi Buat menyampaikan aspirasi dan kepentingan mereka.

Soetomo menyadari bahwa pendidikan ialah kunci Penting Buat meningkatkan Harkat bangsa. Pendidikan menciptakan daya kritis bangsa sehingga keinginan Buat merdeka semakin bergelora di kalangan pribumi.

Dalam konteks peringatan Harkitnas 2025 yang bertema Bangun Serempak wujudkan Indonesia kuat sangat relevan kiranya pandangan Soetomo tentang pentingnya kemandirian sebuah bangsa agar berdiri di atas kaki sendiri. “Bukan bangsa lain atau bangsa asing yang menjadikan bangsa Indonesia berdikari, tetapi putra-putri ibu pertiwi bangsa Indonesia sendiri,” ujarnya.

Setelah Boedi Oetomo memelopori kebangkitan nasional yang pertama, yakni membangun kesadaran nasional Buat merebut kemerdekaan, kini bangsa Indonesia memasuki kebangkitan nasional kedua, yakni upaya mengisi kemerdekaaan, menciptakan kemajuan, dan kesejahteraan pada masa depan.

Pemerintah mencanangkan Indonesia emas 2045. Indonesia akan merayakan 100 tahun kemerdekaan pada tahun itu. Pada usia seabad kemerdekaan, Indonesia akan mewujudkan visi menjadi negara nusantara berdaulat, maju, dan berkelanjutan.

Cek Artikel:  Koruptor Terhormat

Pada 2045, negeri ini diperkirakan akan mendapatkan bonus demografi, yakni jumlah penduduk Indonesia 70%-nya dalam usia produktif (15-64 tahun). Sisanya, yakni 30%, merupakan penduduk yang Tak produktif (usia di Rendah 14 tahun dan di atas 65 tahun) pada periode 2020-2045.

Indonesia emas Tak boleh berubah menjadi Indonesia cemas. Bonus demografi yang ditandai dengan berlimpahnya usia produktif harus menjadi berkah bukan musibah. Karena itu, perlu dibangun generasi emas, yakni generasi muda Indonesia yang berkualitas, berkompeten, inovatif, adaptif, dan berdaya saing tinggi.

Menurut Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 59 Tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045, visi Indonesia emas 2045 diukur melalui lima sasaran visi, yakni pendapatan per kapita setara negara maju, kemiskinan menurun dan ketimpangan berkurang, kepemimpinan dan pengaruh di dunia Dunia meningkat, daya saing sumber daya Mahluk meningkat; dan intensitas emisi gas rumah kaca menurun menuju emisi Nihil Kudus.

Di tengah ketidakpastian Mendunia dan geopolitik yang Maju memanas, berbagai upaya menyongsong Indonesia emas yang dilakukan pemerintahan Prabowo-GIbran tentu Tak mudah.

Walakin, keterbatasan ruang fiskal akibat utang yang mencapai Rp8.680 triliun dengan rasio terhadap PDB 39% menjadi batu sandungan pemerintah Buat Membangun berbagai program demi mengejar pertumbuhan 8% seperti ditargetkan Prabowo.

Pemerintahan yang gemuk, selain memboroskan anggaran, Membangun orkestrasi kerja menjadi lamban dan tak jarang melahirkan disharmoni pandangan dan kebijakan di antara pembantu presiden.

Cek Artikel:  Setelah Pesta Usai

Program Astacita atau delapan cita-cita pemerintahan Prabowo Tak akan berhasil tanpa asas-asas Lumrah pemerintahan yang Berkualitas (AUPB) sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yakni kepastian hukum, kemanfaatan, ketidakberpihakan, kecermatan, Tak menyalahgunakan kewenangan, keterbukaan, kepentingan Lumrah, dan pelayanan yang Berkualitas.

Kebijakan publik di era Prabowo Lagi jauh dari AUPB. Sejumlah kebijakan pemerintah Lagi menguar populisme dan terkesan sporadis tanpa kajian akademis, skala prioritas dan partisipasi publik yang bermakna, seperti program makan bergizi gratis, pembentukan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara, sekolah rakyat, dan koperasi desa merah putih.

Pemerintah juga malah melahirkan kegaduhan yang Tak perlu seperti merevisi UU No 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Punya Negara (BUMN) yang menyulut kontroversi.

Ruang gelap revisi UU BUMN melahirkan ketentuan yang Tak senapas dengan pemberantasan korupsi dan melemahkan pengawasan keuangan negara, yakni direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas BUMN bukan penyelenggara negara.

Selanjutnya, mengeluarkan kekayaan BUMN dari ruang lingkup keuangan negara, kerugian BUMN bukan kerugian negara dan mengubah pertanggungjawaban direksi BUMN yang kini dilindungi business judgement rule (BJR).

Soetomo, sang tokoh besar Republik, mengatakan hasil yang Betul didapat dari tindakan yang Betul berdasarkan petunjuk yang Betul. Tabik!

 

Mungkin Anda Menyukai