Ilustrasi kegiatan tambang. Foto: Arsip Amman
Terlebih, kebutuhan akan adanya green technology yang bahan bakunya dari tembaga sangat tinggi.
Ketua Indonesian Mining Association (IMA) Rachmat Makkasau mengungkapkan saat ini terdapat smelter tembaga yang sudah mulai beroperasi dan diperkirakan mampu memproduksi 1,3 juta ton katoda tembaga. Tetapi, serapan lokal terhadap hasil produksinya masih minim.
Begitu ini kebutuhan domestik terhadap tembaga hanya mencapai 250 ribu ton per tahun, sementara produksi katoda tembaga akan mencapai 1,3 juta ton per tahun.
Maka itu, lanjut Rachmat, Indonesia harus memiliki strategi untuk mendapatkan keuntungan dari defisit komoditas tembaga itu dengan melakukan ekspor, yang bisa mendatangkan pendapatan untuk negara dan terutama lagi mendatangkan investasi yang dapat menyerap produksi katoda tembaga Indonesia yang berlebih.
Smelter PT Freeport Indonesia di Gresik. Foto: Arsip Freeport Indonesia
Hasil smelter tak terserap maksimal
Dengan tumbuhnya downstream industri menurutnya, maka katoda tembaga yang merupakan hasil olahan smelter bisa terserap maksimal.
Rachmat juga mengatakan, hilirisasi perusahaan tambang sudah dilakukan dan telah mendukung program pemerintah akan sangat disayangkan jika tidak di manfaatkan di dalam negeri.
“Kami mendukung kebijakan pemerintah terkait hilirisasi. Indonesia harus mengambil peluang dari defisit komoditas tembaga di dunia,” imbuh Rachmat.
Rachmat mengatakan, Indonesia akan disegani dunia karena memiliki tiga atau empat cadangan tembaga besar yang akan berproduksi di masa mendatang.
Dengan produksi Indonesia yang besar di kala global sedang defisit maka nantinya kita memiliki leverage terhadap komoditas ini.
“Dengan potensi tambahan tambang tembaga baru yang berproduksi maka indonesia punya peran besar di dunia, saat ini Indonesia memproduksi sekitar 3-5 persen tembaga dunia dan diyakini dapat mencapai 7-10 persen dalam beberapa tahun mendatang dan itu pun defisit tembaga global diperkirakan masih terjadi,” ujar Rachmat.