Indonesia di BRICS Babak Baru atau Keterikatan Baru

Indonesia di BRICS: Babak Baru atau Keterikatan Baru?
(Dok. Pribadi)

PENGUMUMAN Indonesia sebagai Personil penuh BRICS disampaikan secara Formal oleh Brasil pada 6 Januari 2025 waktu setempat, atau Selasa, 7 Januari 2025 waktu Indonesia. Langkah itu membawa Indonesia ke dalam blok negara berkembang yang sering diklaim sebagai penyeimbang Penguasaan ekonomi dan politik Barat.

Tetapi, di balik retorika ‘solidaritas Dunia South’ yang digaungkan, keputusan ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah BRICS Betul-Betul menjadi solusi bagi kepentingan nasional Indonesia, atau Malah menjadi jebakan struktural yang mempersempit ruang manuvernya di Podium Global?

Krusial Demi mempertanyakan langkah ini dengan kritis. Dalam banyak aspek, BRICS lebih menyerupai simbolisme politik daripada platform ekonomi yang efektif. Sebagai negara middle power, Indonesia kini menghadapi tantangan berat Demi menjaga relevansinya dalam struktur yang didominasi oleh kekuatan besar seperti Tiongkok dan Rusia.

 

 

BRICS: paradoks solidaritas

BRICS sering digambarkan sebagai blok yang menantang tatanan dunia yang didominasi Barat. Dengan kontribusi Nyaris 25% terhadap PDB Dunia dan populasi gabungan 40% dunia, ia tampak sebagai kekuatan kolektif yang menjanjikan. Tetapi, Realita berbicara lain. Perdagangan intra-BRICS, misalnya, hanya mencakup 15% dari total perdagangan mereka (IMF, 2022), Nomor yang jauh di Rendah potensi maksimal.

Sementara itu, Bank Pembangunan Baru (New Development Bank)—didirikan sebagai alternatif bagi Bank Dunia—hanya Bisa menyalurkan US$30 miliar sejak pendiriannya pada 2014. Nomor itu bahkan Tak cukup Demi memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur Indonesia yang diperkirakan mencapai US$500 miliar hingga 2030 (ADB, 2020).

Cek Artikel:  Kepemimpinan Minus Kemaslahatan Publik

Ketimpangan internal BRICS juga menjadi hambatan besar. Tiongkok, dengan PDB yang menyumbang lebih dari 70% dari total ekonomi blok, Mempunyai pengaruh yang mendominasi. Rusia, di sisi lain, menggunakan BRICS Demi mencari legitimasi Global di tengah isolasi akibat invasi ke Ukraina. Dalam struktur seperti ini, negara-negara middle power seperti Indonesia hanya menjadi pelengkap, tanpa kapasitas Konkret Demi memengaruhi agenda.

 

Risiko ketergantungan ekonomi

Keanggotaan Indonesia di BRICS memperbesar risiko ketergantungan ekonomi pada Tiongkok. Pada 2022, ekspor Indonesia ke negara-negara BRICS mencapai 19% dari total ekspor nasional, tetapi 74% di antaranya hanya ke Tiongkok. Struktur perdagangan ini didominasi oleh komoditas Esensial seperti batu bara dan minyak sawit—sebuah pola yang memperkuat posisi Indonesia sebagai penyedia bahan mentah tanpa nilai tambah. Ketergantungan ini menciptakan kerentanan yang signifikan, terutama dalam menghadapi fluktuasi pasar Dunia atau perubahan kebijakan ekonomi Tiongkok.

Selain itu, Indonesia Tak Mempunyai posisi tawar yang kuat dalam perdagangan dengan Tiongkok. Defisit perdagangan yang Lanjut membengkak, sebesar US$8,6 miliar pada 2022, menunjukkan bahwa Interaksi ekonomi ini Tak simetris. Dalam teori ketergantungan (dependency theory), Cardoso dan Faletto), pola Interaksi ini mencerminkan ketidakseimbangan struktural di mana negara-negara berkembang seperti Indonesia tetap terjebak sebagai periferi dalam rantai nilai Dunia yang didiktekan oleh kekuatan besar.

Cek Artikel:  Pemuda dan Kedaulatan Perumahan

 

Geopolitik BRICS: ancaman bagi diplomasi bebas aktif

Keputusan Demi bergabung dengan BRICS juga membawa implikasi geopolitik yang serius. Dengan bergabungnya negara-negara seperti Iran dan Arab Saudi, BRICS semakin diasosiasikan dengan poros Tiongkok-Rusia yang bersikap konfrontatif terhadap Barat. Indonesia, yang selama ini memproyeksikan dirinya sebagai negara dengan diplomasi bebas aktif, kini menghadapi tantangan berat Demi mempertahankan netralitasnya.

Amerika Perkumpulan dan Uni Eropa tetap menjadi Kawan dagang Esensial Indonesia. Pada 2022, surplus perdagangan Indonesia dengan AS mencapai US$15,8 miliar, sementara Uni Eropa merupakan salah satu tujuan Esensial ekspor nonmigas. Persepsi bahwa Indonesia condong ke poros Tiongkok-Rusia dapat merusak Interaksi strategis ini. Dalam skenario terburuk, hal itu dapat memicu tarif perdagangan baru atau pengurangan investasi dari Barat, yang pada akhirnya akan merugikan ekonomi Indonesia.

BRICS juga membawa risiko diplomasi simbolis yang Hampa. Indonesia, yang baru bergabung, Tak Mempunyai pengaruh Konkret Demi mengubah arah agenda BRICS. Sebaliknya, Indonesia berisiko menjadi pengikut agenda Tiongkok dan Rusia, yang sering kali bertentangan dengan kepentingan nasional dan stabilitas Dunia.

 

Menavigasi keanggotaan dengan cermat

Keanggotaan penuh di BRICS adalah Realita yang Tak dapat diubah. Tetapi, Indonesia Tetap Mempunyai Kesempatan Demi meminimalkan risiko dan memaksimalkan manfaat. Dalam konteks teori soft balancing

 (Robert Pape dan T.V. Paul, 2005), Indonesia dapat menggunakan BRICS sebagai instrumen Demi menyeimbangkan kekuatan besar tanpa harus terlibat dalam konfrontasi langsung.

Pertama, Indonesia harus mendorong agenda yang bersifat Dunia tetapi Tak kontroversial, seperti transisi Kekuatan, ketahanan pangan, dan infrastruktur hijau. Dengan memprioritaskan isu-isu itu, Indonesia dapat membangun narasi bahwa keanggotaannya di BRICS adalah bagian dari strategi pragmatis, bukan keberpihakan ideologis.

Cek Artikel:  Tudingan Miring Jenis Anggaran Korupsi dan Potensi Penistaan Partai Politik

Kedua, Indonesia harus memperluas Interaksi ekonomi di dalam BRICS. India dan Brasil, misalnya, menawarkan Kesempatan besar sebagai Kawan strategis di sektor teknologi dan agrikultur. Dengan diversifikasi tersebut, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada Tiongkok dan meningkatkan daya tawarnya dalam blok.

Ketiga, Indonesia harus memperkuat Interaksi bilateral dengan AS dan Uni Eropa. Kerja sama di sektor pendidikan, kesehatan, dan mitigasi perubahan iklim dapat membantu mengurangi persepsi bahwa Indonesia condong ke poros tertentu. Langkah itu juga akan memastikan bahwa Interaksi dengan Kawan tradisional tetap kuat.

Kendati demikian, meskipun skeptisisme mendominasi analisis terhadap BRICS, sedikit ruang Demi optimisme tetap Terdapat. Keanggotaan ini memberikan Kesempatan bagi Indonesia Demi memperluas jaringan diplomasi dan memperjuangkan reformasi tata kelola Dunia yang lebih inklusif. Tetapi, manfaat ini hanya akan terwujud Kalau Indonesia Bisa memainkan peran aktif dan strategis di BRICS, tanpa terjebak dalam orbit kekuatan besar seperti Tiongkok dan Rusia.

Kalau langkah ini Tak dikelola dengan hati-hati, keanggotaan di BRICS hanya akan menjadi simbolisme Hampa yang memperdalam ketergantungan. Tetapi, Kalau berhasil dimanfaatkan dengan strategi yang matang, langkah ini dapat menjadi katalis Demi memperkuat posisi Indonesia di Podium Global. Pilihan Terdapat di tangan Indonesia—apakah akan menjadi pemain strategis atau sekadar pengikut dalam dinamika geopolitik Dunia.

 

Mungkin Anda Menyukai