Independenitas Jokowi Jangan Hanya Omong-Omong

BERULANG kali Presiden Joko Widodo mengimbau aparat negara, perangkat pemerintahan dari tingkat bawah hingga level pusat untuk menegakkan netralitas. Begitu pun tidak kalah juga seringnya imbauan Jokowi kepada penyelenggara pemilu, baik Komisi Pemilihan Lumrah maupun Badan Pengawas Pemilu, di seluruh tingkatan untuk menjaga prinsip netralitas.

Sialnya, berulang kali pula Jokowi menerabas prinsip-prinsip ketidakberpihakan tersebut. Jokowi akhirnya tidak kuat juga untuk menjaga komitmen netralitas yang diucapkannya. Ia berulang kali menyiratkan keberpihakan untuk pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Inilah faktanya dari Presiden yang akan mengakhiri tugasnya 10 bulan lagi. Banyak yang mengkritik etika dan fatsun politik sudah tidak lagi menjadi patron utama. Etika hampir tidak lagi menjadi pegangan.  Begitu pula, klaim netralitas yang selama ini digembar-gemborkan, semakin jauh dari realitas. 

Padahal, Jokowi tidak ada kaitannya sama sekali dalam kontestasi demokrasi saat ini, selain berstatus orang tua dari seorang calon wakil presiden, dan urusan memastikan pemilu berlangsung sukses. Posisi Jokowi bukanlah pengurus partai yang merupakan peserta pemilu. Jokowi bukanlah peserta pemilihan presiden atau masuk dalam tim pemenangan salah satu pasangan calon. 

Cek Artikel:  Deminya OKI Menjinakkan Israel

Malah tugas utama Jokowi saat ini, sebagai kepala negara, harus memastikan pemilu berjalan dengan lancar, serta berlangsung jujur dan adil tanpa adanya intervensi apa pun. Memastikan para peserta pemilu bertarung dengan leluasa dalam koridor demokrasi, tanpa ikutan cawe-cawe atas kompetisi para kandidat.

Sayangnya, ternyata Jokowi tidak kuasa menahan hasratnya untuk membela paslon nomor urut 2, usai debat capres yang digelar Minggu (7/1). Jokowi ikutan berkomentar merespons jalannya debat calon presiden dengan dua kaca mata.

Di satu sisi, ia mengkritik debat malam itu tidak memperlihatkan substansi dari visi tiap capres dan malah cenderung saling menyerang. Presiden mengatakan debat seperti itu kurang memberikan pendidikan dan edukasi bagi masyarakat. Apalagi, itu sudah menyerang secara personal dan tidak ada hubungannya dengan substansi debat.

Cek Artikel:  Pilpres Dua Putaran Selamatkan Demokrasi

Di sisi lain, Jokowi dengan terbuka membela Prabowo yang keteteran menjelaskan kinerjanya sebagai menteri pertahanan yang dalam debat itu memang terus dibombardir oleh capres nomor urut 1 Anies Baswedan dan nomor urut 3 Ganjar Pranowo.

Menyaksikan kenyataan tersebut, bahkan Jokowi pun ingin format debat diubah. Tentu publik tidak ingin alasan permintaan Jokowi itu karena didasari keberpihakan,  dilatar belakangi keinginan untuk membuat format debat yang nyaman bagi paslon nomor urut 2.

Pembelaan Jokowi kian kentara ketika ia setuju dengan argumentasi Prabowo yang menolak membuka data dengan alasan rahasia negara. Padahal, persoalan yang diperdebatkan sama sekali bukan ranah rahasia negara. Sejumlah data bahkan diunggah oleh laman resmi Kementerian Pertahanan.

Sinyal keberpihakan Jokowi sebetulnya mulai diperlihatkan ke publik saat melakukan pertemuan empat mata bersama tiga ketum parpol pengusung pasangan Prabowo Gibran, yakni Prabowo sebagai Ketua Lumrah Partai Gerindra, Ketum Golkar Airlangga Hartarto, dan Ketum PAN Zulkifli Hasan dalam tiga hari berturut.

Cek Artikel:  Harta, Takhta, Pilkada

Hal inilah yang membuat publik bertanya-tanya tentang makna dan komitmen netralitas yang terus ia instruksikan. Fakta yang terjadi saat ini terlihat bahwa klaim netralitas jokowi semakin jauh dari realitasnya. Kalau dalam bahasa Prabowo dalam debat terakhir, hanya ‘omon-omon’, sekadar bagus dalam omongan.

Padahal, ketidaknetralan Jokowi sangat mungkin dibaca para bawahan untuk habis-habisan untuk ikut menyokong kemenangan paslon yang didukung Presiden, yakni Prabowo-Gibran.

Dan, sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, Jokowi punya kuasa dan otoritas terhadap sejumlah lembaga dan badan-badan strategis yang mampu mengintervensi bahkan mengubah jalannya pemilu 2024. Negeri ini butuh pemimpin autentik, yakni pemimpin yang satu kata dengan perbuatan.

Mungkin Anda Menyukai