Indef Inflasi Rendah Pertanda Permintaan Domestik Melemah

Indef: Inflasi Rendah Pertanda Permintaan Domestik Melemah
KEPALA Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman.(Dok. Antara)

KEPALA Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman berpandangan rendahnya inflasi menunjukkan lemahnya permintaan domestik. Beberapa sektor mencatat deflasi atau penurunan inflasi tajam, terutama sektor makanan, minuman, dan jasa keuangan.

Hal ini, lanjutnya, mengindikasikan bahwa daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih, meskipun harga Dunia Kepada komoditas seperti emas dan minyak goreng tetap memberikan sedikit tekanan inflasi. Pernyataan Rizal ini merespons sikap Presiden Prabowo Subianto yang memuji capaian inflasi nasional yang berhasil ditekan di Dasar Bilangan 3% di tengah ketidakpastian Dunia

“Meskipun inflasi rendah sebagai pencapaian kebijakan, Tetapi Elemen kelesuan ekonomi selama 6 bulan berturut-turut perlu diwaspadai. Permintaan domestik Tetap melemah,” ujar Rizal kepada Media Indonesia, Selasa (10/12).

Cek Artikel:  Donasi Pangan Beras Diklaim Pandai Tekan Laju Inflasi

Bahkan Apabila dilihat lebih dalam Tengah, Rizal menuturkan kelesuan ekonomi  terlihat dari data Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia yang bertahan di Area kontraksi selama lima bulan terakhir sejak Juli 2024. Dengan berada di level 49,6, PMI manufaktur Indonesia pada November 2024 menjadi 3 negara indeks terendah di Asean. Ini menunjukkan adanya penurunan aktivitas industri akibat permintaan domestik dan ekspor yang lesu.

“PMI manufaktur yang berada di Dasar 50 terjadi penurunan output dan pesanan baru, sementara inventaris barang jadi meningkat karena rendahnya permintaan pasar,” ungkapnya.

Ekonom Indef itu menuding belum Terdapat kebijakan pemerintah yang secara langsung mendorong konsumsi, utamanya kelas menengah yang mengalami penurunan signifikan dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta orang pada 2024, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS). Pemerintah dianggap tak becus membuka lapangan usaha secara masif dan program indikatif jangka pendek yang Tetap belum berjalan secara efektif.

Cek Artikel:  PLN Operasikan PLTS di 4 Daerah Terpencil Kepulauan Madura

“Termasuk Tak Bisa menahan atau menangguhkan implementasi kebijakan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12% di 2025,” katanya.

Kepada menghadapi tantangan ini, pemerintah diminta segera mengambil langkah konkret, yakni menggenjot konsumsi domestik yang menjadi tulang punggung produk domestik bruto (PDB). Lampau, meningkatkan stimulus fiskal yang terarah, seperti belanja infrastruktur, mendukung sektor-sektor dengan potensi pertumbuhan tinggi seperti transportasi dan pergudangan, serta menjaga daya beli masyarakat melalui program Sokongan sosial. Pemerintah juga didorong Kepada memperluas Bonus bagi investasi langsung di sektor manufaktur dan diversifikasi pasar ekspor.

“Langkah ini dapat membantu mengurangi ketergantungan pada pasar tertentu dan mendorong pertumbuhan berkelanjutan,” pungkas Rizal. (Z-9)

Cek Artikel:  OJK Blokir 4.921 Rekening Bank Punya Judi Online

Mungkin Anda Menyukai