Ilusi Polarisasi versus Fakta Kohesi Sosial

Ilusi Polarisasi versus Fakta Kohesi Sosial
Gambar 1.5 Dimensi Kohesi Sosial.(Litbang MI)

LANGDON Winner adalah guru besar ilmu politik yang mengajar di sebuah universitas swasta bergengsi di Negara Bagian New York, Amerika Perkumpulan. Berbarengan istrinya, dia tinggal di kota kecil di luar ibu kota Albany. Langdon dan istrinya sudah tinggal di kota tersebut selama 20 tahun lebih. Kota itu sangat nyaman dan hanya berjarak 20 menit dari tempat Langdon mengajar.

 

Fenomena polarisasi

Akan tetapi, ada satu hal yang mengganjal. Salah satu tetangga Langdon sangat tidak menyenangkan. Langdon dan tetangganya tersebut sering tidak akur. Mereka tidak saling menyapa, tidak saling memberi salam Hari Thanksgiving dan Natal. Tetapi, yang paling menjengkelkan buat Langdon ialah ketika musim pemilu datang. Tetangganya itu adalah pendukung Partai Republik dan sangat fanatik dengan Donald Trump. Ketika Donald Trump menang tahun 2016, tetangga tersebut berteriak kegirangan dan sangat mengganggu Langdon dan keluarganya. Dia mengolok-olok Langdon yang mendukung Hillary Clinton. Tetapi yang lebih parah ketika Trump kalah tahun 2020. Dia nyaris menyerang tetangga lain yang diketahuinya mendukung Joe Biden.

Cerita di atas menunjukkan satu fenomena yang cukup jamak terjadi di masyarakat Amerika Perkumpulan, yakni polarisasi. Seperti ditulis banyak ilmuwan (McCarty, Poole, dan Rosenthal, 2016; Fiorina dan Abrams, 2008), polarisasi di Amerika Perkumpulan sudah lama terjadi, tapi belakangan menjadi lebih parah. Polarisasi ini berawal dari kontestasi politik antara Partai Republik dan Partai Demokrat yang kemudian berujung pada keterbelahan masyarakat Amerika Perkumpulan baik dalam cara pandang tentang agama dan ras maupun peran negara dalam menyediakan layanan kesehatan (Abramowitz dan Saunders, 2008). Apa yang terjadi antara Langdon Winner dan tetangganya adalah implikasi serius tentang bagaimana polarisasi politik menjelma menjadi polarisasi sosial yang merusak hubungan antarwarga dalam skala mikro.

Hari-hari ini, istilah polarisasi menjadi salah satu kata yang paling sering diucapkan dan diungkapkan dalam pembicaraaan politik di Indonesia. Isu polarisasi muncul di berbagai tingkatan. Mulai dari pidato presiden, dengar pendapat di DPR, debat antarpengamat politik di televisi dan kanal podcast, hingga pembicaraan pekerja dan emak-emak di warung kopi dan pasar. Pembicaraan yang muncul berangkat dari satu narasi umum bahwa Indonesia sedang mengalami polarisasi secara akut yang dapat membelah bangsa. Lebih spesifik lagi, wacana polarisasi ini selalu dikaitkan dengan Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 yang kemudian berlanjut di Pilpres 2019, walaupun sebenarnya fenomena polarisasi sudah terasa sejak Pilpres 2014.

Riuhnya pembicaraan polarisasi sayangnya tidak dibarengi dengan penjelasan mengenai apa sebenarnya polarisasi itu, setidaknya dalam konteks Indonesia. Kita belum pernah mendapatkan penjabaran yang objektif dan ilmiah seperti apa polarisasi itu terjadi, di mana dia terjadi, dan kenapa fenomena ini muncul. Lebih penting lagi, belum ada satu pun bukti dan data yang solid serta valid yang menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sedang mengalami pembelahan yang sangat masif. Yang ada cuma klaim, tuduhan, dan anggapan yang bersifat intuitif dan imajinatif.

Dalam dunia akademik, polarisasi merupakan topik yang sangat serius dipelajari dan diamati oleh banyak ilmuwan, khususnya ilmu politik dan sosiologi. Ini artinya, polarisasi itu memang fenomena yang nyata dan bisa diukur secara objektif melalui paramater dan variabel yang sesuai dengan karakteristik dari polarisasi tersebut. Tetapi, ada dua hal yang patut dicatat dari studi ilmiah tentang polarisasi.

Pertama, polarisasi memiliki banyak jenis dan tingkatan. Mulai dari polarisasi politik, polarisasi ekonomi, polarisasi sosial, polarisasi agama, dan sebagainya. Intinya, polarisasi muncul sebagai konsekuensi dari adanya dua kelompok di masyarakat yang saling bertolak belakang dan membentuk dua kutub (polar). Dan, dua kelompok ini memiliki massa pendukung/pengikut yang relatif sama besarnya atau sama kuatnya. Polarisasi tidak akan terjadi jika salah satu kelompok lebih dominan dan akhirnya mengendalikan kelompok lainnya. Yang terjadi ialah stratifikasi.

Cek Artikel:  Elemen Esensial, Strategi, dan Identitas

Di masyarakat yang heterogen, apa pun dapat menjadi sumber polarisasi. Dalam situasi ketika dua kelompok berseberangan memiliki kekuatan yang sama, polarisasi akan terpicu. Misalnya, polarisasi antara kelompok yang pemakan bubur yang diaduk dan pemakan bubur yang tidak diaduk. Atau misalnya, kelompok pendukung Niki versus pendukung Agnez Mo. Tetapi tentu saja polarisasi seperti ini tidak terlalu signifikan dampaknya dalam membelah masyarakat. Poinnya ialah bahwa polarisasi itu sangat mudah dikonstruksi, tetapi tidak berarti memiliki makna serius dalam kehidupan sosial.

Karena itu, kita masuk ke poin kedua dari studi tentang polarisasi. Yakni, bahwa polarisasi baru benar-benar terjadi ketika pembelahan itu dirasakan langsung dalam kehidupan sehari-hari dan termanifestasi dalam perilaku masyarakat di tingkat akar rumput.

Di sini kita bisa mengidentifikasi polarisasi dari berbagai faktor dan variabel. Misalnya dengan mengukur tingkat ketidaksukaan (resentment) satu kelompok dengan kelompok lainnya. Pendekatan ini dilakukan oleh Burhanuddin Muhtadi dan Seth Soderborg dalam tulisan yang dimuat di kolom ini (6/9/2021). Biarpun tulisan tersebut mengungkap fakta menarik tentang ketidaksukaan satu kelompok populasi terhadap kelompok populasi lain, pengukuran polarisasi seperti ini masih bersifat afektif (perasaan) yang belum tentu terkonversi dalam perilaku sehari-hari. Karena itu, dibutuhkan satu pendekatan empirik yang dapat mengukur polarisasi tidak semata-mata dari aspek cara pandang dan perasaan, tetapi langsung pada perilaku masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.

 

Gambar 2. Skor Total Kohesi Sosial DKI

Gambar 3. Komparasi Kondisi Jakarta

 

Kohesi sosial sebagai antitesis polarisasi

Salah satu pendekatan yang dapat dipakai untuk menguji ada tidaknya polarisasi yang dalam di masyarakat ialah dengan mengunakan kerangka kohesi sosial. Dalam ilmu sosiologi, konsep kohesi sosial sudah ada sejak era Emile Durkheim. Dipengaruhi oleh mazhab fungsionalisme yang dikembangkan oleh Talcott Parson, teori dan konsep kohesi sosial berkembang dengan pesat di abad ke-20 dan menjadi instrumen sosiologis yang sangat efektif untuk memahami banyak persoalan di masyarakat modern (Friedkin, 2004).

Secara definitif, kohesi sosial adalah suatu kondisi di mana setiap individu yang merupakan anggota dalam suatu komunitas memiliki ikatan yang kuat kepada anggota yang lain (Chan, To, dan Chan, 2006). Ikatan ini terwujud dalam berbagai bentuk perilaku, misalnya sikap dan rasa peduli, tolong-menolong, saling menyapa, hingga rasa percaya satu sama lain. Kohesi sosial menjadi instrumen sangat penting khususnya di dalam ruang urban di mana densitas populasi sangat memengaruhi kohesi sosial yang terbentuk (Forrest dan Kearns, 2001). Karena sifat kohesi sosial yang membentuk ikatan dan hubungan antarwarga yang begitu dalam, maka konsep ini sangat efektif dipakai untuk mengukur polarisasi.

Eksis empat premis yang kami pakai untuk menguji polarisasi melalui konsep kohesi sosial. Pertama, polarisasi dapat dikatakan terjadi jika masyarakat benar-benar terbelah dalam dua kutub yang berseberangan. Kedua, polarisasi dapat diindikasikan dari nilai kohesi sosial yang rendah yang menunjukkan adanya jarak sosial antar-subkelompok dalam masyarakat. Ketiga, analisis kohesi sosial dapat mendeteksi gejala-gejala polarisasi yang terbentuk di akar rumput. Dan keempat, semakin tinggi serta semakin kuat kohesi sosial, semakin lemah dan semakin kecil kemungkinan polarisasi untuk muncul secara masif.

 

Survei kohesi sosial di Jakarta

Dengan premis ini, kami melakukan studi empirik untuk mengukur kohesi sosial sebagai proxy terhadap polarisasi. Studi ini dilakukan di Jakarta dengan dua alasan. Pertama, pengukuran kohesi sosial akan jauh lebih bermakna jika dilakukan dalam skala urban, dan bukan dalam skala nasional. Kedua, selama ini Kota Jakarta dianggap sebagai episentrum polarisasi dan keterbelahan masyarakat khususnya sebagai dampak dari Pilkada 2017. Karena itu, sangat relevan untuk membuktikan sejauh mana polarisasi di Jakarta terjadi. Dan, jika memang ada, di wilayah sosial mana keterbelahan itu sedang menganga dan bagaimana warga Jakarta menghadapinya dalam kehidupan sehari-hari.

Cek Artikel:  Mahkamah Konstitusi dan Penyelamatan Pemilu 2024

Studi ini berdasarkan survei yang kami lakukan di Jakarta bekerja sama dengan UPT Tetaptik Diskominfotik Pemerintah Provinsi DKI. Survei ini merupakan bagian dari proyek penelitian yang dikepalai oleh penulis pertama dengan dana penelitian dari Singapore Ministry of Education. Survei dilakukan dari 23 Januari hingga 14 Februari 2022. Kami menggunakan metode stratified random sampling di mana responsen dipilih melalui tiga tingkatan. Pertama, seluruh Kota Jakarta dibagi ke dalam lima wilayah kota administratif, yakni Jakarta Utara, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, dan Jakarta Timur.

Loyalp wilayah lalu dibagi berdasarkan jumlah kecamatan dan kemudian jumlah kelurahan. Jumlah sampel yang dipilih secara acak disesuaikan dengan proporsi populasi di setiap strata, yakni kelurahan. Ini memungkinan analisis secara lebih mikro. Dengan bantuan enumerator dari UPT Tetaptik, survei diselenggarakan secara tatap muka di lapangan di mana data dimasukkan ke dalam perangkat digital yang telah disiapkan. Seluruh data yang terkumpul dimasukkan ke dalam platform Qualtrics untuk dilakukan kurasi dan analisis statistik. Dataset disimpan dalam pustaka data NTU dengan alamat https://doi.org/10.21979/N9/LC9Q4V.

Eksis lima variabel utama yang kami gunakan untuk mengukur tingkat kohesi sosial di Jakarta, yakni trust, recognition, reciprocity, participation, dan insertion. Tiap-tiap variabel dipecah menjadi 2 pertanyaan dengan opsi jawaban skala Likert. Total skor dari setiap pertanyaan kemudian diagregasi dalam Gambar 1. Hasil dari setiap variabel yang diukur menunjukkan secara cukup meyakinkan ikatan sosial yang kuat di antara warga Jakarta pada tingkat akar rumput. Misalnya, jumlah responden yang percaya menitipkan rumah kepada tetangga sangat tinggi. Kecenderungan sama terlihat di variabel insertion bahwa sebagian besar responden merasa nyaman tinggal bersama komunitas di mana mereka berada. Dari seluruh pertanyaan, yang nilainya cukup rendah ialah aspek keterlibatan di komunitas, yakni ada sekitar 19%. Poin ini akan kami angkat lagi di bagian belakang tulisan.

Secara keseluruhan, nilai skor kohesi sosial secara agregat ialah 67,6%. Nomor ini didapatkan dari skor setiap responden terhadap 10 pertanyaan yang diajukan. Skor tersebut lalu dibagi ke dalam 5 ketagori: sangat kuat, kuat, sedang, lemah, dan sangat lemah. Skor total kami hitung berdasarkan persentase responden yang masuk ke kategori sangat kuat dan kuat. Hasilnya menunjukkan tingginya kohesi sosial yang terbentuk dalam komunitas warga di Jakarta secara umum. Dengan nilai kohesi sosial yang tinggi ini maka kita bisa mengatakan bahwa pembelahan sosial tidak muncul karena mayoritas masyarakat Jakarta memiliki ikatan sosial yang kuat sesama mereka. Mereka saling percaya, saling bantu, saling menyapa, dan hidup secara nyaman satu sama lain. Dan, karena itu, gejala polarisasi tidak terlihat dan terdeteksi, setidaknya dari data survei yang kami kumpulkan.

Elemen sosial budaya apa saja yang memengaruhi kohesi sosial di Jakarta? Dengan menggunakan metode Spearman’s Rho, kami melakukan analisis korelasi terhadap 4 faktor. Pertama ialah identitas etnik. Data kami menunjukkan korelasi positif yang signifikan antara kohesi sosial dan identitas etnik. Semakin kuat identitas etnik menempel pada seseorang, semakin kuat ikatan sosial dia terhadap orang di sekitarnya. Definisinya, komunitas etnik yang banyak bertebaran di Jakarta menjadi kantong-kantong kohesi sosial yang sangat efektif.

Elemen kedua ialah identitas agama. Banyak yang menganggap bahwa agama memiliki peran yang sangat signifikan dalam kehidupan sehari-hari di Jakarta. Faktanya kami menemukan bahwa faktor agama tidak memiliki korelasi yang signifikan terhadap kohesi sosial. Safiri korelasinya sangat kecil sehingga dapat diabaikan. Meski demikian, kami mencoba melihat nilai kohesi sosial antara kelompok muslim dan nonmuslim. Hasilnya cukup menarik karena terdapat perbedaan signifikan di antara kedua kelompok bahwa nilai kohesi sosial kelompok nonmuslim lebih rendah daripada kelompok muslim yang merupakan mayoritas.

Cek Artikel:  Menghidupkan Semangat Pancasila

Demi mengidentifikasi penyebabnya, kami mengamati setiap skor dari 5 variabel kohesi sosial yang kami ukur. Kami mendapati satu variabel penyebab rendahnya kohesi sosial, yakni recognition, yang terdiri atas dua subvariabel: keterlibatan dalam komunitas dan frekuensi mereka bergaul dengan tetangga. Selain itu, skor variabel trust khususnya percaya menitipkan rumah kepada tetangga juga relatif rendah.

Demi mencari penjelasannya, kami mengacu pada data demografi, khususnya lokasi tempat tinggal yang kami bagi dalam 5 kategori: 1) jalan raya, 2) jalan besar, 3) jalan kecil, 4) gang, dan 5) gang sempit. Data agregat kami menunjukkan bahwa mayoritas kelompok muslim tinggal di gang (49,69%) dan di jalan kecil (31,55%), dengan jarak antar-rumah sangat dekat. Sebaliknya mayoritas kelompok nonmuslim tinggal di jalan besar (32,69%) dan jalan kecil (28,85%) yang lebih renggang jarak antar-rumah. Selain itu, jumlah kelompok nonmuslim yang tinggal di jalan raya (7,69%) jauh lebih besar ketimbang kelompok muslim (2,16%).

Kondisi ruang urban berbeda ini yang menurut kami memengaruhi kenapa kohesi sosial kelompok nonmuslim relatif lebih rendah daripada kelompok muslim. Di daerah urban, jarak antar-rumah adalah indikasi kemampuan finansial seseorang. Mereka yang berpenghasilan tinggi akan cenderung memilih untuk tinggal di perumahan yang renggang satu sama lain atau di kompleks apartemen yang warganya tidak saling menyapa. Argumen ini diperkuat oleh analisis korelasi antara penghasilan dan kohesi sosial. Data kami menunjukkan bahwa semakin tinggi penghasilan seseorang, semakin rendah kohesi sosial yang dimilikinya.

Kualitas hidup di Jakarta adalah faktor korelasi yang kami ukur terhadap kohesi sosial. Hal ini penting mengingat kehidupan sosial di ruang urban sangat sensitif terhadap kualitas lingkungan, infrastruktur, dan kondisi sosial ekonomi warga kota. Kesemuanya ini memfasilitasi interaksi antarwarga yang pada akhirnya memperkuat kohesi sosial. Data kami menunjukkan adanya korelasi positif antara kohesi sosial dan kualitas hidup di Jakarta, khususnya dalam 10 tahun terakhir. Gambar 3 menunjukkan 78,90% responden merasakan kualitas yang membaik dalam kurun waktu satu dekade. Definisinya, Jakarta telah mengalami perbaikan setidaknya menurut sebagian besar warga DKI.

Eksis dua kesimpulan utama yang bisa kita garis bawahi dalam survei kohesi sosial ini. Pertama, secara keseluruhan dapat kita katakan bahwa Jakarta memiliki kohesi sosial yang kuat. Ini menjadi indikasi ketatnya ikatan sosial yang terjadi pada tingkat mikro, yakni pada ruang urban di mana warga Jakarta menjalani hidup sehari-hari. Data survei menunjukkan suatu pola interaksi yang sangat positif yang terjadi antarwarga di berbagai aspek kehidupan kolektif. Lebih penting lagi, tingkat kepercayaan antarwarga yang tinggi memungkinkan warga Jakarta untuk membangun fondasi ketahanan sosial yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi berbagai krisis urban yang dapat terjadi kapan saja. Fondasi ketahanan sosial ini dapat menjadi sumber daya sosial yang sangat penting dalam kemajuan Jakarta sebagai kota berbasis kesetaraan.

Dalam kondisi dengan kohesi sosial yang kuat, adakah ruang bagi fenomena polarisasi untuk muncul? Ini adalah kesimpulan kedua yang lebih penting. Sesuai dengan data yang dijelaskan di atas, dengan yakin kita dapat mengatakan bahwa pembelahan tidak terdeteksi terjadi di ruang-ruang sosial di Jakarta. Dan, karena itu, polarisasi Jakarta masih bersifat imajinatif, belum tervalidasi dengan data dan bukti.

Mungkin Anda Menyukai