DI tengah karut-marut tren di era post truth, yang biasanya dalam pemberian pertimbangan atas suatu pernyataan atau keputusan lebih banyak didasarkan pada opini atau persepsi publik, saya jadi teringat dengan pendapat Ratib al-Nabulsi tentang ilmu dan bagaimana kita bersikap dengan ilmu itu.
Seorang cendekiawan dan pendakwah dari Damaskus itu menyifati ilmu dengan beberapa kategori, Merukapan bermanfaat (nafi’), mengasyikkan atau dapat Membikin nyaman (mumti’), dan menyelamatkan (mus’id). Sembari Membikin kategori tersebut, sang alim dari negeri yang dulu bernama Syam itu buru-buru Membikin pernyataan: Tak Seluruh ilmu yang bermanfaat dan mengasyikkan itu menyelamatkan. Tetapi, ketika ilmu itu mus’id, Niscaya ilmu tersebut nafi’ dan mumti’.
Bagaimana kategori-kategori ilmu di atas Pandai dijelaskan dengan gamblang? Secara Spesifik: apa, bagaimana, dan Ketika ilmu itu menyelamatkan? Tulisan ini membahasnya dari sudut pandang Arti bahasa dikaitkan dengan realitas sosial kemasyarakatan dan keilmuan.
ILMU BERMANFAAT
Disebut ilmu karena didefinisikan sebagai informasi yang meyakinkan. Ilmu itu ialah keyakinan yang disertai dengan sederet data yang disusun menjadi argumentasi solid yang diproses dengan Mekanisme ketat sehingga dapat dipertahankan menjadi teori yang paten. Teori yang paten itu jangan disalahpahami sebagai olahan data yang hanya bersifat wacana. Itu disebabkan sejatinya ilmu itu Mempunyai basis kombinasi unsur-unsur yang terdiri atas: data yang Presisi, argumentasi rasional yang solid, dan pengalaman Konkret yang dialami secara langsung.
Ilmu dalam Arti seperti disebutkan di atas berbeda dengan opini (ra’y). Opini hanya mendasarkan kerangka pikir dari persepsi atau penglihatan yang Tak komprehensif. Tak disusun oleh data yang Presisi, Tak ditopang oleh rasionalitas argumentatif, serta Tak berlandaskan pada pengalaman yang empiris. Dalam hal ini, opini Tak dapat melahirkan teori dan Tak dapat pula melahirkan keyakinan atau informasi yang meyakinkan.
Opini hanya Menyantap dari sudut pandang yang sepintas terhadap realitas objek. Persepsi yang dihadirkan juga Tak dilandasi data yang dapat diobservasi dan divalidasi kebenarannya. Dalam kaitan ini, persepsi publik, apalagi persepsi individu, Tak dapat dijadikan sebagai pijakan penilaian (judgement) dan pertimbangan (consideration) atas suatu kejadian. Oleh karena itu, opini atau persepsi itu, tingkat kebenaran dan rigiditasnya dapat dipersoalkan sebagai Intervensi ilmiah. Opini, dengan demikian, bukanlah Intervensi ilmiah, secanggih apa pun opini tersebut disajikan.
Selanjutnya, lebih rendah dari opini ialah Prasangka (zhan). Meski dalam istilah ilmiah Terdapat hipotesis, zhan yang dimaksudkan Tak sama dengan hipotesis. Zhan biasanya merupakan Prasangka tanpa data. Oleh karena itu, dalam tradisi Islam, kalau Tak punya data, lebih Berkualitas membangun Prasangka yang Berkualitas (husn al-zhan) daripada menilai dengan Prasangka Jelek (su’ al-zhan). Dengan Bahasa lain, opini dan Prasangka bukanlah ilmu. Kalaupun terpaksa disebut ilmu, model opini dan Prasangka belum dapat disebut ilmu yang meyakinkan. Bolehlah disebut pseudo science (ilmu abal-abal).
Oleh karena itu, ilmu yang bermanfaat terletak pada tiga pilar Primer. Pertama, ilmu itu disebut ilmu bila orang yang berkecimpung dalam bidang ilmu tersebut menguasai ruang lingkup, objek, proses, dan Mekanisme dari ilmu tersebut secara komprehensif. Semakin menguasai bidang keilmuan, seseorang akan semakin solid dapat menguraikan ilmunya di hadapan siapa pun yang membutuhkannya. Orang yang menguasai bidang keilmuannya biasanya ditandai oleh penguasaan teorinya, siapa tokoh pencetus ilmu bidang tersebut, penguasaan aplikasi keilmuan dalam kerangka detail teori dan analisis aplikasi teori di ruang publik.
Kedua, tersebarnya ilmu itu diajarkan oleh orang yang memang ahlinya. Penyebaran ilmu oleh orang yang Betul-Betul menguasai bidang keilmuan yang digeluti tentu akan membawa pengetahuan yang maksimal. Oleh Alasan itu, penyebaran ilmu oleh orang yang Betul Niscaya membawa manfaat yang juga hebat. Terakhir, penguasaan ilmu oleh orang-orang yang Spesialis di bidangnya itu Niscaya dapat membawa maslahat Buat seluruh khalayak yang membutuhkannya.
ILMU MENGASYIKKAN
Pernahkah dalam suatu komunitas ilmiah tertentu kita mengalami sikap salah tingkah, plonga-plongo, dan kayak orang kesasar dengan Paras bingung? Biasanya situasi demikian terjadi pada orang yang otaknya Hampa dari informasi yang meyakinkan. Situasi seperti tersebut dialami oleh orang yang Tak pernah membaca literatur tentang tema yang Lazim dibahas dalam komunitas ilmiah tertentu tersebut. Itulah kondisi yang mungkin dialami oleh dua model orang, Merukapan: mereka yang ilmunya nanggung dan mereka yang tak punya data sedikit pun, alias otak Hampa dari objek yang dikaji dalam komunitas ilmiah tertentu tersebut.
Penguasaan ilmu secara mendalam dan meyakinkan akan Membikin seseorang mengalami pengalaman yang nyaman dan mengasyikkan Alasan orang dengan model ini dapat berkontribusi dalam sharing of ideas yang digelar oleh komunitas ilmiah tertentu tersebut. Orang dengan model ini, dapat mengikuti alur cerita dan alur argumen teoretis yang dibedah oleh komunitas ilmiah tertentu tersebut.
Orang model ini dapat mendiskusikan dan berdebat tentang isu-isu Krusial yang diadakan oleh komunitas ilmiah tertentu itu. Dengan kata lain, seseorang dengan ilmunya menjadi nyaman dan mengasyikkan ketika telah menguasai, mendalami, dan mengaplikasikan ilmu yang diperoleh dengan penuh kesadaran.
Ilmu yang bermanfaat dan mengasyikkan itu Pandai ilmu dalam bidang apa saja. Pandai ilmu Keyakinan, ilmu alam, ataupun ilmu sosial. Yang dibutuhkan agar ilmu tersebut bermanfaat dan mengasyikkan ialah penguasaan akan ruang lingkup mendasar, tujuan, objek spesifik yang dikaji, serta teori-teori dan aplikasinya dalam realitas kehidupan kita. Semakin mendalam penguasaan suatu ilmu, semakin tinggi nilai kebermanfaatan dan kenyamanan ilmu itu kepada Spesialis ilmu tersebut. Penguasaan ilmu secara mendalam dan dengan wawasan luas dapat membawa ahlinya kepada soliditas dan kesetiaan kepada ilmu serta nilai-nilai yang Kekal.
Dalam penguasaan ilmu oleh seseorang, Terdapat beberapa prinsip yang harus diimplemetasikan. Pertama, prinsip penguasaan teoretis. Kedua, prinsip penguasaan medan dan pengalaman yang dilakukan Lanjut-menerus. Ketiga, prinsip penguasaan detail tentang teori dan pengalaman yang dikombinasikan menjadi Intervensi baru yang lebih maslahat. Terakhir, prinsip kemaslahatan publik, suatu prinsip tentang kemaslahatan ilmu yang Tak hanya dapat dinikmati oleh individu yang berilmu, tetapi juga kemaslahatan yang dapat berdampak Buat kebaikan Berbarengan.
ILMU KESELAMATAN
Ratib al-Nabulsi Betul-Betul menegaskan bahwa ilmu bermanfaat dan mengasyikkan belum tentu membawa kepada keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Ilmu yang bermanfaat dan mengasyikkan Pandai saja disukai dan diminati oleh banyak orang. Tetapi, sekali Kembali, belum tentu dapat menjadi wasilah penilaian terhadap landasan keselamatan dan kebahagiaan di dunia akherat. Intervensi ilmiah saja belum tentu menyelamatkan. Apalagi Intervensi yang didasarkan pada opini, persepsi, lebih parah Kembali dengan zhan.
Pertanyaan pentingnya: apa, bagaimana, serta Ketika ilmu keselamatan dan kebahagiaan dapat diraih dan diterapkan dalam kehidupan sosial keagamaan kita. Terhadap pertanyaan ini, jawabannya ialah: pertama, ilmu yang menyelamatkan ialah ilmu yang Konsentrasi berpijak kepada niat ikhlas lillah, sejak masa pencarian ilmu, pembelajaran, implementasi, Pengkajian, dan kembali Kembali menjadi pencari ilmu, Lanjut berputar Tamat akhir hayat.
Kedua, ilmu yang menyelamatkan ialah ilmu yang didasarkan pada sudut pandang ma’rifatullah dan pemahaman akan tauhid. Ketiga, ilmu yang menyelamatkan ialah ilmu yang digerakkan menjadi nilai-nilai tauhid yang dapat mempengaruhi orang yang berilmu, orang yang diajarinya, dan siapa pun yang berjumpa dengannya agar selalu berpikir tentang implementasi kemaslahatan Buat Seluruh. Ilmu yang menyelamatkan adalah ilmu tentang diri, sikap, dan intelektualitas dilandasi kalimat tauhid.
Misalnya, anak didik kita atau anak kita, dalam kaitan ilmu yang menyelamatkan, perlu diajari tentang tauhid secara murni dan aplikatif. Dengannya, diharapkan lahir kesadaran tentang ilmu, bahwa berilmu ialah aktivitas yang tak Pandai lepas dari tauhid. Performanya ialah sangat antusias ketika beribadah, sangat menikmati apa yang dikerjakannya. Maka itu, ke pasar orang harus bertauhid, ke masjid juga bertauhid, ke laut pun harus dengan tauhid. Tauhid sebagai kesadaran dalam kerangka implementasi nilai-nilai keilmuan Al-Qur’an ialah fondasi Primer seseorang dalam membangun tradisi ilmu yang menyelamatkan.
Seperti Bachtiar Nasir yang mengharapkan implementasi tauhid dalam keilmuan dengan sesuatu yang sederhana, Merukapan: setinggi apa pun keilmuan, pangkat derajat, dan kedigdayaan seseorang yang harus difokuskan pada hatinya ialah tauhid, dengan misal Giat berjemaah ke masjid, diikuti secara serius ketekunan membaca dan membaca. Supaya ilmunya mantap, matang, dan luas. Bukan sekadar berdasar opini, katanya dan katanya.
Dengan kalimat lain, ilmu ini menjadi landasan moralitas yang berasal dari tauhid, berbuah akhlak karimah, yang Tak hanya Konsentrasi pada Sopan santun diri sendiri, tetapi juga Sopan santun yang telah menjadi tradisi yang Berkualitas bagi Seluruh orang. Ilmu berlandaskan tauhid ujungnya diharapkan menjadi landasan akhlak publik. Sama seperti pandangan Ibn Maskawaih yang bertanya apakah ilmu dengan landasan tauhid yang menjadi landasan moralitas itu hanya Buat kepentingan diri sendiri di hadapan Allah.
Jawaban filsuf etika ini ialah penegasan, bahwa ilmu dengan landasan tauhid yang menjadi dasar moralitas, Tak Pandai berlaku bila hanya Buat kepentingan diri sendiri.
Ilmu tersebut harus Buat kepentingan kemaslahatan publik. Seperti galibnya moralitas dan akhlak mulia, Tak mungkin teruji Kalau hanya Buat diri sendiri. Bagaimana mungkin seseorang disebut Mempunyai ilmu yang dapat menyinari akhlaknya yang mulia kalau dia beradab dan berakhlak hanya Buat diri sendiri. Terujinya ilmu keselamatan ialah ketika ilmu itu berbuah akhlak mulia dan teruji di publik. Bukan ketika sendiri dan Buat kepentingan diri sendiri. Wallahu a’lam.

