Ijtihad Pancasila Kiai Wahid Hasyim

Ijtihad Pancasila Kiai Wahid Hasyim
Syaiful Arif Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila, kader muda NU(Dok. Pribadi)

BERDASARKAN Keputusan Presiden No 24/2016 tentang Hari Lahir Pancasila, Begitu ini kita tengah merayakan ‘lebaran’ Pancasila, terentang sejak 1 Juni hingga 18 Agustus 2023. Hal itu didasarkan pada fakta sejarah bahwa Pancasila lahir pada 1 Juni hingga disahkan menjadi dasar negara pada 18 Agustus 1945.

Proses Kelahiran Pancasila terjadi pada 1 Juni 1945 melalui pidato Soekarno pada sidang pertama (29 Mei-1 Juni 1945) Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Pidato Soekarno Lampau ditetapkan BPUPK sebagai bahan Istimewa perumusan dasar negara oleh Panitia Kecil. Panitia itu awalnya berjumlah delapan orang (Panitia Delapan). 

Pada masa reses, Soekarno sebagai Ketua Panitia Kecil membentuk Kembali Panitia Sembilan yang melakukan rapat pada 22 Juni 1945 dan menghasilkan naskah Piagam Jakarta. Piagam tersebut Lampau direvisi dan disahkan menjadi Pembukaan UUD 1945 dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945, di dalamnya terdapat rumusan Pancasila Formal.

Dengan demikian, meskipun Begitu ini kita memperingati Harlah Pancasila pada 1 Juni, peringatan tersebut sebenarnya melebar hingga 18 Agustus. Hal itu disebabkan proses perumusan Pancasila yang memanjang dari pidato Soekarno hingga sidang PPKI. Kesinambungan antara rumusan Pancasila 1 Juni, 22 Juni, dan 18 Agustus 1945 telah ditegaskan dalam Konsideran Menimbang Huruf E, Keppres No 24/2016 tersebut. 

 

Peran tokoh Islam

Hal yang perlu dipahami, selain peran pidato 1 Juni Soekarno, ialah peran para tokoh Islam dengan salah satu tokoh sentralnya, Kiai Wahid Hasyim dari Nahdlatul Ulama (NU). Hal itu perlu dipahami karena peran ayahanda Kiai Abdurrahman Wahid itu luput dari penulisan sejarah Pancasila. 

Apabila kita baca dalam Risalah Sidang BPUPKI-PPKI, peran Kiai Wahid terdapat dalam banyak tempat. Ia merupakan Member BPUPK, Member Panitia Delapan, Member Panitia Sembilan, Member Panitia Perancang Hukum Dasar, peserta lobi dengan Bung Hatta, dan Member PPKI. Artinya, peran Kiai Wahid terdapat di Sekalian fase Kelahiran, perumusan, dan pengesahan Pancasila, tanpa terkecuali. 

Dalam Panitia Sembilan, Kiai Wahid masuk kategori Grup Islam Serempak dengan Agus Salim, Kahar Muzakkir, dan Abikusno Cokrosuyoso. Grup Islam inilah yang Memajukan sila ketuhanan, dari posisinya sebagai sila kelima dalam rumusan 1 Juni, menjadi sila pertama. Grup Islam juga berperan dalam mengubah sila ketuhanan, dari ketuhanan Yang Maha Esa dalam usulan Soekarno pada 1 Juni, menjadi ketuhanan yang bersyariat Islam. 

Cek Artikel:  Upaya Menjaga Independenitas Media

Pada sidang kedua BPUPK (10-17 Juli 1945), dalam rapat perumusan Hukum Dasar (Batang Tubuh UUD), Kiai Wahid tampil memperjuangkan sila ketuhanan bersyariat tersebut. Ia mengajukan dua argumentasi. Pertama, agar terbangun Rekanan teologis antara umat Islam dan negara. Apabila syariat menjadi bagian dari dasar negara, umat Islam Mempunyai Dalih teologis Kepada menaati negara. Kedua, sifat syariat Islam yang inklusif dan melindungi kebebasan Religi lain (Setneg, 1995). 

Pembelaan Kiai Wahid terhadap syariat merupakan idealisme Islam yang harus ia perjuangkan ketika kondisi memungkinkan. Hanya, idealisme itu Lampau ia revisi ketika kondisi Tak memungkinkan berdasarkan pertimbangan kebaikan yang lebih luas.

Revisi atas idealisme tersebut ia lakukan dalam rapat kecil dengan Bung Hatta dan tiga tokoh Islam, yakni Ki Bagus Hadikusumo, Mr Kasman Singodimedjo, dan Teuku Muhammad Hasan, pada 18 Agustus 1945. Rapat kecil tersebut diadakan menjelang sidang PPKI. Tujuan rapat kecil itu ialah permintaan Hatta agar para tokoh Islam berkenan menghapus ‘tujuh kata’ Piagam Jakarta dan menggantinya dengan sila ketuhanan YME. 

 

Kehadiran Kiai Wahid

Soal rapat kecil dengan Hatta tersebut, banyak pihak yang meragukan kehadiran Kiai Wahid. Keraguan itu awalnya ditulis tokoh Masyumi, Prawoto Mangkusasmito, dalam Naskah Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi (1970). Menurut Prawoto, Kiai Wahid Tak hadir dalam rapat kecil dengan Hatta karena sedang ke Jawa Timur. Pandangan Prawoto itu Lampau ditulis ulang Endang Saifuddin Anshari dalam tesisnya, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 (1981). 

Tulisan Endang yang didasarkan pada Naskah Prawoto Lampau menjadi rujukan Istimewa Kepada menyatakan ketidakhadiran Kiai Wahid, termasuk dalam Naskah Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila (2011) karya Yudi Indah. Dalam catatan kaki halaman 83 Naskah Negara Paripurna, Indah menyatakan, “Barangkali Hatta lupa bahwa Wahid Hasyim berhalangan hadir.”

Sayangnya, pernyataan Indah yang didasarkan pada studi Endang tersebut didasarkan pada tulisan Prawoto. Padahal, tulisan Prawoto Mempunyai kelemahan. Pertama, pernyataan tentang ketidakhadiran Kiai Wahid Tak Mempunyai Surat keterangan. Hal itu disebabkan sifat tulisannya yang bukan tulisan akademik, melainkan pembukuan atas tulisan di media. Kedua, Prawoto bukan pelaku sejarah rapat kecil dengan Bung Hatta. Sementara itu, dalam menyatakan ketidakhadiran Kiai Wahid, Prawoto Tak mendasarkan pada kesaksian pelaku sejarah. Ia menyatakan Hasil sejarah tanpa sumber sejarah!

Cek Artikel:  Apa Sulitnya Membebaskan Pilot Susi Air

Pernyataan Prawoto dan Endang tentang absennya Kiai Wahid ditujukan Kepada menunjukkan bahwa penghapusan ‘tujuh kata’ Tak Absah karena Tak dihadiri oleh Member Grup Islam mantan Panitia Sembilan Asal Mula hanya Kiai Wahid, tokoh Islam Member Panitia Sembilan, yang hadir dalam rapat kecil dengan Hatta. Dengan menyatakan bahwa Kiai Wahid Tak hadir, para penulis islamis tersebut Mau menyatakan bahwa penghapusan ‘tujuh kata’ Tak Absah.

Pernyataan beberapa tokoh itu Rupanya bertentangan dengan kesaksian para pelaku sejarah. Bung Hatta sendiri, Bagus dalam Naskah Sekeliling Proklamasi (1969) maupun Memoir (1979), menyatakan bahwa rapat kecil tersebut diadakan dengan empat tokoh Islam, termasuk Kiai Wahid. Kesaksian itu ia tegaskan kembali dalam Mohammad Hatta, Biografi Politik (1990) karya Deliar Noer. Hatta menyatakan, “Wahid Hasyim hadir karena saya Lagi ingat pendapatnya bahwa sila ketuhanan YME berarti tauhid.” (Noer, 1990: 255). 

Selain Hatta, pelaku sejarah yang menyatakan kehadiran Kiai Wahid ialah Mr Kasman Singodimedjo dalam biografinya (1982). Artinya, meskipun Kasman merupakan tokoh Muhammadiyah, ia menyampaikan kejujuran sejarah. Fakta bahwa Kiai Wahid hadir dalam rapat kecil tersebut juga terdapat dalam daftar hadir Member PPKI yang mana nama Kiai Wahid tercatat di dalamnya. Bagaimana mungkin Kiai Wahid ke Jawa Timur, sedangkan rapat kecil dengan Hatta diadakan selama 15 menit menjelang sidang PPKI dimulai?

 

Ijtihad Pancasila

Berdasarkan kesaksian Hatta, Kiai Wahid ialah tokoh yang memaknai sila ketuhanan YME sebagai tauhid. Maka itu, dalam konteks inilah peran Kiai Wahid bersifat sentral Asal Mula pemaknaan tersebut menjadi pendorong para tokoh Islam lain Kepada menerima sila ketuhanan YME sebagai pengganti ‘tujuh kata’ Piagam Jakarta. 

Cek Artikel:  Problem Perundungan di Ruang Pendidikan

Dalam kaitan ini, Kiai Wahid menggunakan kaidah fikih Kepada menerima sila ketuhanan YME sebagai pengganti sila ketuhanan bersyariat Islam. Pertama, menghindari kerusakan diutamakan daripada mengejar kebaikan (dar al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih). Artinya, menghindari pecahnya Indonesia lebih diutamakan daripada tetap memperjuangkan penerapan syariat dalam dasar negara. Kedua, apa yang Tak Dapat didapatkan Sekalian jangan ditinggal Sekalian (mala yudraku kulluhu la yutraku kulluhu). Artinya, Apabila syariat Tak Dapat diterapkan, jangan Tamat Sekalian nilai-nilai Islam Tak hadir dalam dasar negara.

Menurut Yudian Wahyudi, Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Kiai Wahid Malah berpandangan bahwa nilai Islam Tak hilang dengan dihapusnya ‘tujuh kata’ Piagam Jakarta. Itu disebabkan sila ketuhanan YME, bagi umat Islam, ialah tauhid. Dengan demikian, pengganti dari sila ‘ketuhanan bersyariat’ adalah ‘ketuhanan bertauhid’, sedangkan tauhid ialah sumber bagi syariat (Yudian, 2010). 

Dengan demikian, meskipun redaksi syariat dihapus dari Pancasila, substansi syariat tetap terjaga dalam ‘sila tauhid”. Hal itu diperkuat Dekret Presiden Soekarno Copot 5 Juli 1959 yang mana ditegaskan bahwa Piagam Jakarta merupakan Berkas historis yang menjiwai Pancasila dan UUD 1945. Penegasan dalam Konsideran Menimbang Dekret tersebut memungkinkan pembentukan hukum Islam sebagaimana terjadi pada Begitu ini, seperti tersusun dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). 

Pemaknaan Kiai Wahid bahwa sila ketuhanan YME berarti tauhid merupakan ijtihad yang memungkinkan terbentuknya rumusan Pancasila Formal. Pada awalnya, sila ketuhanan YME diusulkan Soekarno pada pidato 1 Juni. Ia Lampau kembali masuk dalam rumusan Formal Pancasila berdasarkan ijtihad Kiai Wahid tersebut. Disebut ijtihad karena Kiai Wahid berusaha menembus kebuntuan perumusan dasar negara perspektif Islam. Ketika Islam Tak dijadikan dasar negara secara tekstual, substansi tauhid dalam sila ketuhanan YME telah menegakkan substansi Islam dalam dasar negara.

 

Ijitihad Kiai Wahid inilah yang diresmikan oleh Munas Alim Ulama NU 1983 dalam Deklarasi Islam dan Pancasila. Poin Istimewa deklarasi tersebut ialah pemahaman NU bahwa sila ketuhanan YME merupakan cerminan tauhid dan sila-sila lainnya merupakan Metode umat Islam dalam mengamalkan syariat. Berdasarkan hal itu, Tak Terdapat Dalih menolak Pancasila atas nama Islam.

Mungkin Anda Menyukai