Idul Adha, Modal Spiritual, dan Modal Sosial

Idul Adha, Modal Spiritual, dan Modal Sosial
Ilustrasi MI(MI/Seno)

SYUKUR alhamdulillah marilah kita terus panjatkan kepada Allah SWT atas kesempatan yang diberikan untuk menikmati momentum Idul Adha hari ini. Marilah kita wujudkan rasa syukur itu dengan selalu meningkatkan kualitas takwa kepada Allah SWT. Derajat kita di mata Allah semata-mata hanya karena kualitas ketakwaan.

Pada pagi ini, khatib ingin mengajak jemaah sekalian pada sebuah tema, yakni Idul Adha, modal spiritual, dan modal sosial; landasan transformasi bangsa yang berkeadilan. Tema ini penting untuk disajikan seiring dengan dinamika bangsa yang kini tengah mengalami sejumlah tantangan, baik dalam bidang ekonomi, lingkungan, politik, maupun sosial budaya.

Idul Adha identik dengan Idul Kurban yang mengingatkan kita kepada sebuah peristiwa sejarah penting, yang menunjukkan pelajaran amat sangat berharga. Bayangkan, seorang bapak yang sangat mencintai anak yang sudah sekian lama dinanti-nanti, tiba-tiba diperintahkan untuk menyembelih anak tersebut. Inilah salah satu ujian terberat yang dialami Nabi Ibrahim AS dan Ismail. Di sinilah kecintaan kepada Allah SWT dipertaruhkan ketika dihadapkan kepada kecintaan kepada seorang anak. Dilema ini harus segera diakhiri dan ternyata Nabi Ibrahim menempatkan kecintaan kepada Allah SWT di atas segala-galanya, termasuk harus mengorbankan nyawa putra yang dicintainya. Tetapi, Allah berkehendak lain, bahwa keputusan yang diambil Nabi Ibrahim telah dinilai sebagai bentuk pengorbanan secara ikhlas atas kecintaan kepada Allah SWT sehingga Allah menggantikannya dengan seekor kibas untuk disembelih.

Eksis sejumlah pelajaran yang bisa dipetik dari peristiwa itu. Pertama, hidup selalu dihadapkan pada ujian berupa pilihan-pilihan yang kadang dilematis. Dasar keputusan untuk memilih jalan dalam menghadapi ujian tersebut sangat menentukan tepat tidaknya keputusan itu. Nabi Ibrahim telah menempatkan kecintaan kepada Allah sebagai dasar untuk mengambil keputusan. Rasa cinta inilah yang mendasari sikap rela berkorban atas kekayaan terpenting yang Nabi Ibrahim miliki.

Kedua, Nabi Ibrahim telah mengajarkan kepada kita sikap sabar yang luar biasa. Kesabaran Nabi Ibrahim telah terbukti sejak peristiwa ketika beliau belum dikaruniai seorang anak untuk sekian lama. Kemudian berlanjut saat dikaruniai anak lalu harus berpisah karena Ibrahim harus meninggalkan sang anak, Ismail, dan istrinya Siti Hajar, hanya berdua di sebuah padang pasir yang tandus di antara bukit Safa dan Marwah.

Situasi gersang dengan minim air dan pepohonan di daerah seperti itu tentu membuat daya juang untuk hidup semakin dituntut tinggi. Hingga untuk mencari air pun Siti Hajar harus berlari-lari kecil tujuh kali di antara bukti Safa dan Marwah hingga ditemukan sumber air yang kita kenal dengan zam-zam. Itulah yang selanjutnya diabadikan dalam ritual sa’i saat ibadah haji dan umroh.

 

Rasa cinta, keikhlasan

Kesabaran selanjutnya dituntut saat dihadapkan pada perintah untuk menyembelih anak yang sangat ia cintai. Nabi Ibrahim juga seorang manusia yang memiliki perasaan seperti kita semua. Tetapi, kesabaran yang ia tunjukkan telah meluluskannya sebagai hamba yang Allah cintai dan Allah jadikan kisah penting dalam Al Quran untuk dijadikan rujuka hidup bagi kita semua. Kesabarannya harus menjadi teladan bagi kita, yakni sebuah kesabaran hakiki yang semata didasari rasa cinta kepada Allah SWT. Tentu kesabaran juga dimiliki Ismail.

Kesabarannya telah membuahkan hasil bahwa Allah kemudian mendatangkan seekor kibas untuk dijadikan hewan kurban. Itu ialah buah dari keikhlasan. Ismail juga seorang yang memiliki keikhlasan sangat tinggi sehingga siap mempertaruhkan nyawanya demi perintah Allah. Akhirnya peristiwa ini diperingati melalui momentum Idul Adha dan kita pun diperintahkan untuk berkurban dengan menyembelih domba atau sapi.

Cek Artikel:  Mengapa Harus Publisher Rights

Dalam konteks kekinian ada beberapa pelajaran dari momentum Idul Adha ini; pertama, Idul Adha telah mendorong kita untuk mengingat dan mengambil pelajaran dari kisah kesabaran Nabi Ibrahim dan Ismail dalam perjalanan cintanya kepada Allah SWT. Kesabaran transendental ini merupakan modal spiritual yang sangat berarti. Demi konteks keindonesiaan saat ini, kita mestinya mentransformasi kesabaran individual sebagaimana ditunjukkan Ibrahim menjadi kesabaran kolektif atau kesabaran sosial. Dimensi persoalan yang kita hadapi semakin kompleks dan menuntut kesabaran kolektif yang tinggi.

Kesabaran kolektif juga kita tunjukkan saat kita kini menghadapi dunia yang penuh dengan volatility, uncertainty, complexity, ambiguity (VUCA) yang telah mengubah kehidupan kita. Karena itu, kesabaran kolektif bukanlah sebuah sikap pasif, melainkan sebuah sikap proaktif. Kesabaran kolektif bukanlah bentuk kepasrahan tanpa aksi, melainkan situasi jiwa kolektif kita yang penuh kesadaran bahwa Allah tengah menguji sejauh mana kita mampu mengerahkan daya upaya secara maksimal untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut.

Kesabaran yang ditunjukkan Ibrahim, Ismail, dan Siti Hajar bukanlah dalam bentuk kepasrahan tanpa aksi. Siti hajar harus bekerja keras untuk mencari air hingga setelah tujuh kali berlari antara bukit Safa dan Marwah sehingga akhirnya Allah memberi jalan dengan mengaruniai air zam-zam.

Kerja individual Siti Hajar seperti itu harus kita transformasi menjadi sebuah kerja kolektif untuk konteks kekinian. Definisinya, sekali lagi kita harus tunjukkan kesabaran kolektif kita dengan kerja keras, kerja cerdas, dan kerja ikhlas secara kolektif. Dimensi transendental kesabaran kolektif kita ini bisa kita tunjukkan melalui kerja ikhlas. Kerja ikhlas ialah sebuah kerja karena sebuah panggilan. Kerja ikhlas ialah kerja yang dimaknai sebagai ibadah yang senantiasa mencari rida Allah SWT.

Kerja keras dan ikhlas secara kolektif harus terus kita tingkatkan sebagai wujud kesabaran kita untuk perubahan yang lebih baik. Hal ini karena Allah telah menegaskan bahwa perubahan hanya bisa terjadi bila kita mau dan mampu mengubahnya sendiri. Sebagaimana firman Allah SWT pada QS Ar-Ra’d:11 ‘Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.’

Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.

Kedua, Idul Adha mengajarkan kepada kita untuk membangun solidaritas sosial melalui mekanisme saling berbagi. Pembagian hewan kurban kepada yang berhak hanyalah simbol pentingnya semangat berbagi.

 

Bantu yang lemah

Mestinya semangat berbagi tidak hanya saat Idul Adha, tetapi juga pada hari-hari yang lain. Allah memberikan nikmat rezeki kepada kita yang harus kita syukuri dengan semangat berbagi. Barang siapa yang bersyukur maka akan ditambah nikmatnya(QS Ibrahim: 7). Ayat tersebut sekaligus menegaskan bahwa bersyukur atas nikmat akan memberikan efek pengganda (multiplier effect) yang akan menguntungkan kita. Dengan semangat berbagi maka nikmat-nikmat tersebut akan semakin dirasakan umat secara kolektif dan pada akhirnya menjadi pintu menuju keadilan sosial, rasa persatuan, dan kemakmuran.

Cek Artikel:  Paras Buram Kampanye Program

Salah satu pesan Rasulullah SAW pada saat tiba di Madinah ialah keharusan membantu orang-orang yang ekonomi lemah agar mereka tidak mengalami kesulitan. Berulang kali beliau menyampaikan pesan moral terkait orang-orang lemah. Bahkan, saat-saat menjelang wafat, beliau mewasiatkan pesan terakhir, jangan tinggalkan salat dan tolonglah orang-orang yang lemah. Bila kepedulian menjadi sebuah gerakan sosial maka niscaya kemiskinan akan mudah ditanggulangi.

Semangat berbagi ialah sebuah modal sosial penting bagi keberlanjutan

kehidupan kita. Fukuyama penulis buku Trust yang sangat populer juga mengatakan bahwa kemajuan bangsa ditentukan sejauh mana kekuatan modal sosial masyarakatnya. Bila masyarakat tersebut memiliki jaringan sosial yang kuat, norma-norma yang diikuti, dan tergolong high-trust society maka masyarakat tersebut memiliki modal sosial. Jadi, semangat berbagi di antara kita bisa mendorong jaringan sosial yang makin kuat dan tumbuhnya rasa saling percaya dan ini semua bekal sosial yang sangat penting bagi kemajuan kita.

Tentu semangat berbagi juga telah menjadi perhatian Al Quran seperti tercantum dalam Surah Saba:39. Katakanlah; “Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya).” Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.

Itulah janji Allah bahwa semangat berbagi sebenarnya bukanlah cost atau biaya, melainkan sebuah investasi. Hasil investasi dari kemurahan hati kita akan dibayar lunas Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Bahkan, orang yang selalu memberi akan dijanjikan selalu mendapat kemudahan, sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Lail: 5-21.

(5) Eksispun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, (6) dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), (7) maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.

Safiri-nilai pengorbanan, keikhlasan, dan semangat berbagi merupakan modal spiritual dan modal sosial untuk kemajuan bangsa ini. Eksis tuntutan ilahiah agar kita semua kaum mukminin terus bertransformasi menjadi umat terbaik dan terus-menerus tanpa lelah melakukan transformasi untuk kemajuan bangsa ini. “Anda adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (Ali Imron: 110)

Menurut tafsir Ibnu Katsir, umat terbaik ialah manusia yang paling bermanfaat buat umat manusia. Bermanfaat berarti ada nilai tambah (added value) yang kita tebarkan. Sebagaimana diriwayatkan Imam Ahmad, seorang lelaki berdiri menunjukkan dirinya kepada Rasulullah SAW yang saat itu berada di atas mimbar dan lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang terbaik?” Nabi menjawab, “Orang terbaik ialah yang paling pandai membaca Alquran dan paling bertakwa di antara mereka kepada Allah, serta paling gencar dalam amar ma’ruf nahi munkar, dan paling gemar di antara mereka dalam bersilaturahmi.”

Dengan kata lain umat terbaik ialah yang mampu menyeimbangkan hablu minallah dan hablu minannaas. Anjuran bersilaturahim sekaligus menunjukkan bahwa interpersonal skill ialah kemampuan yang harus kita miliki dan kita asah. Silaturahim tersebut akan berhasil bila kita memliki emotional intelligence yang baik, yaitu dengan kemampuan self awareness, self management, empathy, dan relationship management yang tinggi.

 

Transformasi sosial

QS Ali Imron 110 di atas merupakan kepercayaan Allah kepada kita untuk menjadi umat terbaik yang selalu melakukan transformasi. Amar ma’ruf ialah tindakan transformasi yang proaktif dan nahi munkar ialah tindakan transformasi reaktif. Keduanya ibarat dua sisi mata uang yang saling terkait. Masing-masing bisa dilakukan dalam berbagai level, baik individual maupun institusional dan dalam berbagai bentuk, baik tingkat ide, tindakan sosial maupun kebijakan.

Cek Artikel:  Profesor Minim Karya Ilmiah

Sebagaimana ditulis Kuntowijoyo (1991), Muhammad Iqbal pernah menyampaikan tentang peristiwa Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Seandainya Nabi itu seorang sufi tentu beliau tidak ingin kembali ke bumi karena telah merasa tenteram bertemu dengan Allah dan berada di sisiNya. Nabi kembali ke bumi untuk menggerakkan perubahan sosial, untuk mengubah jalannya sejarah. Beliau memulai suatu transformasi sosial.

Dewasa ini proses transformasi ini semakin penting kita perhatikan seiring dengan dinamika perubahan sosial yang begitu masif, seiring perkembangan teknologi akibat revolusi industri 4.0, perubahan iklim, perubahan demografis, dan globalisasi. Dinamika ini akan membawa bangsa kita hanya menjadi follower manakala kita tidak punya langkah proaktif yang kuat. Sebaliknya, kita akan mampu menjadi leader atau trend setter mana kala kita memiliki sejumlah inisiatif.

Demikianlah khatbah singkat untuk memetik hikmah dari ibadah Idul Adha. Marilah kita berdoa semoga Idul Adha kali ini menjadi momentum untuk meningkatkan modal spiritualitas dan modal sosial untuk perubahan

Indonesia yang lebih baik. Semoga kita semua dikaruniai benih semangat berbagi yang terus meningkat. Semoga kita semua dikaruniai semangat untuk selalu proaktif mampu menyelesaikan persoalan bangsa kita.

Akhirnya, marilah kita tutup khotbah ibadah Ied kita pada hari ini dengan berdoa bersama; Ya Allah, tolonglah kami, sesungguhnya Engkau ialah sebaik-baik pemberi pertolongan. Menangkanlah kami, sesungguhnya Engkau ialah sebaik-baik pemberi kemenangan. Ampunilah kami, sesungguhnya Engkau ialah sebaik-baik pemberi pemberi ampun. Rahmatilah kami, sesungguhnya Engkau ialah sebaik-baik pemberi rahmat. Berilah kami rezeki, sesungguhnya Engkau ialah sebaik-baik pemberi rezeki. Tunjukilah kami dan lindungilah kami dari kaum yang zalim dan kafir.

Ya Allah, perbaikilah agama kami untuk kami karena ia merupakan benteng bagi urusan kami. Perbaiki dunia kami untuk kami yang ia menjadi tempat hidup kami. Perbaikilah akhirat kami yang menjadi tempat kembali kami. Jadikanlah kehidupan ini sebagai tambahan bagi kami dalam setiap kebaikan dan jadikan kematian kami sebagai kebebasan bagi kami dari segala kejahatan.

Ya Allah, anugerahkan kepada kami rasa takut kepada-Mu yang membatasi antara kami dan perbuatan maksiat kepada-Mu dan berikan ketaatan kepada-Mu yang mengantarkan kami ke surga-Mu dan anugerahkan pula keyakinan yang akan menyebabkan ringan bagi kami segala musibah di dunia ini. Ya Allah, anugerahkan kepada kami kenikmatan melalui pendengaran, penglihatan, dan kekuatan selama kami masih hidup dan jadikanlah ia warisan bagi kami. Dan jangan Engkau jadikan musibah atas kami dalam urusan agama kami dan janganlah Engkau jadikan dunia ini cita-cita kami terbesar dan puncak dari ilmu kami dan jangan jadikan berkuasa atas kami orang-orang yang tidak mengasihi kami.

Ya Allah, ampunilah dosa kaum muslimin dan muslimat, mukminin dan mukminat, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar, dekat, dan mengabulkan doa. Ya Allah, anugerahkanlah kepada kami kehidupan yang baik di dunia, kehidupan yang baik di akhirat, dan hindarkanlah kami dari azab neraka.

Mungkin Anda Menyukai