USULAN sesat, tak masuk akal, juga nirnalar, datang dari anggota DPR yang semestinya mengedepankan kewarasan serta mengutamakan akal dan nalar. Usulan itu ialah agar praktik money politic alias politik uang diwajarkan saja.
Terdapatlah anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Hugua, yang mengajukan usulan tersebut. Dalam rapat konsultasi antara pembentuk undang-undang dan penyelenggara pemilu terkait dengan Peraturan Komisi Pemilihan Lazim (PKPU) mengenai Pilkada 2024, kemarin, ia meminta KPU melegalkan politik uang.
Menurut Hugua, dewasa ini money politic telah menjadi keniscayaan. Kata dia, tanpa politik uang, masyarakat tidak akan memilih kontestan yang ikut berkontestasi. Baginya, lebih baik KPU memperjelas dalam PKPU besaran politik uang yang dibolehkan, apakah Rp20 ribu, Rp50 ribu, Rp1 juta, atau bahkan Rp5 juta. Dengan begitu, Badan Pengawas Pemilu dapat lebih tegas menindaknya jika tak sesuai dengan ketentuan.
Member DPR memang harus punya banyak ide. Sebagai wakil rakyat yang digaji oleh rakyat, yang mendapatkan beragam kemewahan dari negara, ia mesti punya gagasan rupa-rupa. Tetapi, ide dan gagasan itu harus yang baik-baik, yang berfaedah buat rakyat dan negara, bukan sebaliknya.
Harus kita katakan, usulan agar KPU melegalkan politik uang bukan gagasan yang apik melainkan ide buruk, sangat buruk. Politik uang adalah racun demokrasi. Karena itu, melegalkan politik uang sama saja mengantarkan demokrasi ke liang kematian.
Politik uang adalah musuh paling berbahaya bagi demokrasi. Oleh sebab itu, mewajarkan politik uang berarti pula menghamparkan karpet merah baginya untuk menghabisi demokrasi.
Mustahil dimungkiri, politik uang memang kian menjadi-jadi dari kontestasi ke kontestasi. Di Pemilu 2024 yang baru lewat, calon anggota legislatif harus punya modal jauh lebih tebal karena biaya yang mesti dibayar semakin mahal, utamanya ongkos untuk ‘membeli’ suara pemilih lewat serangan fajar. Kian banyak dari mereka yang terpilih karena lebih royal ketimbang para rival meski dari segi kualitas, dari kadar kenegarawanan, jauh tertinggal.
Tetapi, fenomena memprihatinkan itu bukanlah alasan untuk kemudian melegalkan politik uang hanya dengan pertimbangan agar tidak ada lagi kucing-kucingan. Fenomena mengenaskan itu semestinya justru menjadi penambah energi untuk berkolaborasi, bersama-sama memberantas politik uang.
Usulan melegalkan politik uang serupa dengan mewajarkan pencuri atau garong cuma karena sepak terjang mereka kian merajalela. Mewajarkannya berarti memupuk korupsi, membiakkan calon-calon koruptor, dan menyuburkan kandidat penggasak uang rakyat. Bukankah korupsi tak mati-mati, salah satunya lantaran biaya politik yang kelewat mahal?
Ide melegalkan politik uang amatlah berbahaya bagi masa depan bangsa. Apalagi ide itu datang dari elite yang semestinya intoleran terhadap sekecil apa pun praktik politik uang.
Berbahaya betul eksistensi demokrasi dengan adanya sikap toleran terhadap politik uang seperti yang ditunjukkan Hugua. Terlebih, publik juga semakin permisif dengan money politik. Survei sebelum Pemilu 2024 menyebutkan, lebih dari 40% responden menilai wajar jika capres atau caleg memberikan uang atau hadiah agar pemilih memilih mereka. Kalau dihitung-hitung, dari 204 juta pemilih, hampir 100 juta orang yang menganggap politik uang sebagai sesuatu yang lumrah, bukan masalah, bukan tabu.
Mewajarkan politik uang adalah ide sesat dan menyesatkan. Ia usulan yang harus ditolak, pantang diberikan tempat.