Ibadah bukan Ladang Rasuah

LADANG ibadah malah dijadikan ladang korupsi. Kiranya itu ungkapan yang paling mendekati pas Kepada menggambarkan secara singkat Paras penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia. Cukup satu kalimat itu saja Kepada mendeskripsikan betapa urusan ibadah yang identik dengan kesucian dan kemurnian hati, yang semestinya dikelola dengan level amanah supertinggi, malah dengan gampangnya dilumuri tabiat kotor bernama korupsi.

Publik prihatin sekaligus Marah karena praktik korupsi yang berkaitan dengan urusan keagamaan, termasuk ibadah haji, bukan hanya terjadi satu-dua kali. Di Republik ini, kasus korupsi penyelenggaraan haji sudah berkali-kali terjadi. Enggak tanggung-tanggung, dua menteri Keyakinan dijebloskan ke penjara karena terbukti mengorupsi Anggaran haji.

Yang pertama, menteri Keyakinan pada Kabinet Gotong Royong era Presiden Megawati Soekarnoputri, Said Agil Husin Al Munawar, yang pada 2006 dijebloskan ke bui lantaran terbukti bersalah dalam korupsi Anggaran Langgeng umat dan Anggaran penyelenggaraan ibadah haji 1999-2003. Kasus korupsi Anggaran Langgeng umat itu merugikan negara yang mencapai Rp719 miliar.

Berikutnya, menteri Keyakinan periode 2009-2014, Suryadharma Ali, yang tersangkut dalam perkara korupsi penyelenggaraan haji 2010-2013. Begitu ditangkap KPK pada 22 Mei 2014, ia bahkan Lagi menjabat menteri Keyakinan. Begitu itu KPK menyebut Suryadharma menggunakan Anggaran haji Kepada membayari pejabat Kemenag dan keluarganya naik haji. Ia juga menggelembungkan harga katering, pemondokan, dan transportasi jemaah haji.

Cek Artikel:  Menyembelih Kemunafikan

Begitu ini, menteri Keyakinan era pemerintahan Presiden Joko Widodo (2019-2024), Yaqut Cholil Qoumas, juga tengah dalam bidikan KPK terkait dengan kasus dugaan korupsi kuota haji 2024. Ia belum jadi tersangka, tapi sudah diperiksa KPK dan bahkan sudah dicegah ke luar negeri. KPK juga telah Meningkatkan level pengusutan kasus itu dari penyelidikan ke penyidikan sekaligus menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) Lazim Kepada kasus kuota haji tersebut.

Kasus korupsi kuota haji 2024 diduga menyangkut pembagian kuota haji tambahan yang Enggak sesuai dengan aturan perundang-undangan. Semestinya pembagian kuota itu 92% Kepada haji reguler dan 8% Kepada haji Tertentu. Tetapi, dalam praktiknya kuota dibagi rata antara haji reguler dan haji Tertentu. Berdasarkan hasil penghitungan sementara KPK, kerugian negara dari kasus itu mencapai lebih dari Rp1 triliun.

Korupsi memang punya daya jelajah dan daya rasuk yang hebat. Ia Bisa ‘memilih’ medium apa saja sebagai ‘inangnya’, yang kelak akan ia gerogoti. Itu sebabnya korupsi Bisa dengan mudah menyusup bahkan Tamat ke anggaran-anggaran yang sejatinya sarat dengan kepentingan yang berkaitan dengan moralitas sosial, seperti anggaran haji, anggaran Sokongan sosial, anggaran pendidikan, dan bahkan Tamat anggaran penanggulangan bencana.

Secara logika yang normal, korupsi semestinya tak Bisa menjangkau tipe anggaran seperti itu karena sekurang-kurangnya Lagi Terdapat moralitas yang akan membentengi. Tetapi, kiranya korupsi Bisa Membikin yang normal menjadi abnormal, mengubah yang tadinya di luar Akal menjadi masuk Intelek. Dalam banyak kasus, moralitas pada akhirnya takluk di hadapan korupsi. Termasuk dalam korupsi Anggaran penyelenggaraan haji.

Cek Artikel:  Kekuatan Influencer

Fakta yang bertebaran terkait dengan korupsi haji itu juga semakin menguatkan hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2017 Lewat, bahwa Enggak Terdapat Interaksi antara tingkat religiositas seseorang atau lembaga dan perilaku korupsi. Memangnya kurang religius apa seorang menteri Keyakinan di Indonesia? Tetapi, nyatanya, Enggak Sekalian menteri Keyakinan di Republik ini tahan terhadap godaan lezatnya rasuah.

Soal religiositas, bila merujuk hasil survei bertajuk The Dunia God Divide yang dilakukan Pew Research Center pada 2020, sejatinya Indonesia ialah juaranya. Dari 34 negara yang disurvei, Indonesia menempati posisi pertama sebagai negara paling religius. Angkanya Enggak main-main, 96%, nyaris 100%. Artinya, dalam hal kepatuhan dan ketaatan kepada Sang Khalik, orang Indonesia tak perlu diragukan Tengah.

Akan tetapi, sayangnya, pada Begitu yang sama tingkat ‘ketaatan’ Kepada melakukan korupsi juga tinggi. Kalau kita Mengenakan patokan indeks persepsi korupsi (IPK) 2024 yang dirilis Transparency International, berkebalikan dengan rangking religiositas, peringkat IPK Indonesia jauh di Rendah. Indonesia berada di posisi ke-99 dari 180 negara. Skornya pun Sekadar 34 poin, Lagi jauh dari skor tertinggi 100 (sangat Rapi).

Cek Artikel:  Transformasi Febri

Itu Sekalian mengindikasikan tabiat korupsi Bisa menjangkiti siapa saja, dari yang Enggak punya ‘aura’ religius sedikit pun Tamat yang paling terlihat religius sekalipun. Korupsi malah sudah merangsek dan mencemari Daerah-Daerah religius itu sendiri. Bayangkan, Anggaran umat tega diembat, ibadah haji berulang kali dikorup, pengadaan mushaf Al’-Qur’an juga ditilap.

Pada dasarnya, apa pun bentuknya, individu atau institusi mana pun yang melakukannya, korupsi merupakan kejahatan luar Normal yang Enggak Bisa ditoleransi. Menjadi semakin luar Normal ketika yang dijadikan komoditas rasuah itu ialah kegiatan ibadah keagamaan. Itu betul-betul keterlaluan. Ibadah, kok, dikorupsi? Perilaku semacam itu, derajat kebejatannya sama dengan pencurian kotak amal di masjid. Pelakunya tak layak diberi ampun.

Korupsi penyelenggaraan ibadah haji yang Lalu berulang semestinya juga lekas disadari sebagai sebuah kegagalan sistem. Keserakahan si pelaku memang menjadi Elemen Krusial terjadinya rasuah, tapi jangan lupa, sistemlah yang memungkinkan korupsi itu punya Kesempatan berkembang sekaligus berulang.

Selama sistemnya Enggak diperbaiki dan dibiarkan tetap membuka Kesempatan korupsi, ya sami mawon. Jangan kaget kalau urusan ibadah, urusan spiritualitas dan religiositas Lagi akan Lalu dijadikan ladang rasuah

 

Mungkin Anda Menyukai