Humor yang Mencerdaskan

SAYA penggemar humor. Saya pernah membaca sejumlah Naskah humor, seperti Tewas Ketawa ala Rusia, juga Naskah Tewas Ketawa ala Madura. Saya juga kerap mendengar rekaman kaset komedi, dari Srimulat, Warkop Prambors dan Warkop DKI, Surya Group, Kwartet S, Kartolo Cs, juga Djunaidi Cs.

Saya juga kerap mendengar ceramah dari para dai yang dalam ceramah mereka juga dibumbui humor. Eksis ceramah KH Zainuddin MZ, KH Kosim Nurseha, KH Bahaudin Nursalim (Gus Baha), Gus Muwafiq, KH Mustofa Bisri, KH Yasin Yusuf, KH Ma’ruf Islamudin, KH AR Fahruddin, juga Mendikdasmen Abdul Mu’ti. Sesekali saya mendengar ceramah dari Ustaz Abdul Somad.

Sekalian humor dan ceramah yang saya baca dan dengar itu segar menyegarkan. Enggak Eksis yang meremehkan atau merendahkan orang lain. Tanpa harus mengolok-olok orang lain pun, humor-humor atau ceramah berbumbu humor itu sukses Membikin saya terpingkal-pingkal. Padahal, sebagian isinya malah banyak bercerita atau menertawakan diri sendiri.

Saya Lewat teringat filosofi humor menurut Presiden Keempat RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Mantan Ketua Standar PBNU itu pernah mengatakan bahwa humor tertinggi dan paling cerdas ialah menertawakan diri sendiri. Sementara itu, humor terburuk ialah menertawakan orang lemah.

Cek Artikel:  Inspektorat Daerah Dibina(sakan)

Maka itu, saya jadi mafhum mengapa candaan Gus Dur amat cerdas, berkelas, dan nagih alih-alih menyakitkan. Rupanya Gus Dur berpegang pada filosofi humor yang mencerdaskan itu. Bukan candaan yang merendahkan dan menghinakan.

Humor Gus Dur pun disebut cukup dikenal luas di Jerman. Menariknya, humor menjadi salah satu jembatan yang Membikin orang-orang Jerman mengenal Gus Dur. Pada banyak Naskah, dalam jejak digital media sosial, juga Demi memberikan ceramah di berbagai tempat, selera humor Gus Dur tetap terjaga.

Seorang profesor Ahli literatur dan bahasa Asia Tenggara di Jerman, Arndt Graf, Tiba tertarik membukukan humor-humor Gus Dur dalam karyanya bertajuk Lachen Mit Gus Dur, Islamischer Humor Aus Indonesien. Dalam bahasa Indonesia, judul Naskah yang pertama kali diterbitkan pada 2005 itu kira-kira berarti Tertawa Berbarengan Gus Dur, Humornya Kyai Indonesia.

Naskah itu cukup menjadi satu bahan Surat keterangan bagi beberapa orang Jerman Demi Menyantap Indonesia. Jadi, boleh dikata humor Gus Dur menjadi salah satu jendela pemahaman tentang Indonesia bagi sebagian Kaum Jerman.

Cek Artikel:  Demokrasi Tertutup

Begitulah, humor Rupanya menentukan kecerdasan sesorang. Bahkan pernah Eksis sebuah penelitian di Austria yang menemukan bahwa orang-orang yang Menggemaskan, terutama mereka yang menyukai humor gelap atau lelucon yang agak sarkas dan pedas, biasanya Mempunyai IQ yang lebih tinggi daripada yang tak punya selera humor. Tetapi, tentu saja humor yang segar, Enggak cabul, Enggak merendahkan orang lain.

Lewat, bagaimana bila sebaliknya? Berlindung di balik humor atau bercanda, tapi mengeluarkan kata-kata Enggak Layak, bahkan merendahkan orang lain. Itu bukan humor namanya. Itu penghinaan. Itu Enggak mengikuti filosofi humor ala Gus Dur.

Itu bahkan perangai Enggak baik yang mesti dihindari. Di kalangan pesantren, (mestinya) Dapat membedakan mana candaan dan mana hinaan. Mereka berpedoman pada petuah: aslamatul insaan fii hifdhzil lisaan (keselamatan sesorang ditentukan oleh lisannya atau perkataannya).

Saya memahami banyak yang marah Demi Utusan Spesifik Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Sarana Keagamaan Miftah Maulana Habiburrahman (Gus Miftah) mengaku sedang bercanda Demi mengolok-olok Sunhaji, pedagang es teh di pengajian, dengan kata-kata kasar dan menyudutkan.

Cek Artikel:  Intelektual Lupa Jalan Pulang

Saya membaca pernyataan kegeraman dari Variasi tokoh, salah satunya Alissa Wahid, putri Gus Dur, atas tindakan Gus Miftah itu. Mbak Lisa, begitu putri Gus Dur itu disapa, tentu sudah sangat sering mendengar humor dari bapaknya. Maka itu, ia Mengerti membedakan mana humor mana olok-olok yang menghina.

Rupanya Gus Miftah mesti belajar banyak dari para santri, ulama, para dai yang punya selera humor tinggi. Gus Miftah mesti mengenali filosofi humor Gus Dur. Ia mesti menyelami kedalaman ilmu humor cerdas para santri dan guru-guru serta dai yang sukses menyampaikan dakwah segar tanpa harus merendahkan orang lain.

Setelah mengundurkan diri dari jabatan Utusan Spesifik Presiden, tentu Gus Miftah punya waktu Demi menarik garis sebentar, mengevaluasi perangainya selama ini, mengenali humor-humor sufi, atau humor yang lain. Atau, merenungi ungkapan klasik orang Betawi: punya mata jangan selihat-lihatnya; punya kuping jangan sedengar-dengarnya; punya mulut jangan seomong-omongnya.

 

 

Mungkin Anda Menyukai